Tak Semua Tangisan Lelaki adalah Tangis Buaya

Menangis

“Lelaki menangis bukanlah sesuatu yang memalukan sebatas ada sebab musababnya. Menangis tak mengurangi wibawa atau menurunkan martabat.”

Suatu hari dari sebuah penggalan video yang dikirim temanku, terlihat seorang bapak yang sedang menangis di sebuah ruangan bercat putih. Ternyata ruangan itu berada di dalam sebuah masjid kampung dan di belakang bapak tersebut ada beberapa ibu yang juga menangis. Karena penasaran, aku tuntaskan nonton video selengkapnya yang isinya pemandangan menangis secara berjamaah. 

Di hari lain, ketika aku dan rombongan keluarga besar mengantar keponakan menikah di luar kota, pemandangan bapak-bapak dan ibu-ibu menangis kembali terulang. Nangisnya bukan di perjalanan sih, tapi saat hadir dan menyaksikan prosesi ijab kabul. Sama persis dengan kejadian di masjid kampung dalam video.

***

Bagi sebagian orang menghadiri sekaligus menyaksikan akad nikah, mampu melahirkan keharuan yang amat dalam hingga meneteskan air mata. Rasa haru itu spontan muncul, tak mampu dicegah atau diantisipasi bahkan sebelum acara dimulai rasa itu sudah bergerombol menempatkan diri dalam dada, siap-siap memberi sinyal pada mata yang mulai membasah mbrebes mili.

Keharuan sering berbuntut tangis meski tidak semua orang mudah untuk menangis. Ada yang mampu menahannya sekuat tenaga dan ada pula yang memang asli nangisan alias gampang mewek. Ini tidak dimonopoli oleh kaum hawa saja tapi bapak-bapak yang tampak tegar di awal ternyata tetap ambrol juga tangisnya.

Seperti bulan lalu saat menghadiri sebuah acara pernikahan, bapak mempelai laki-laki tak mampu membendung air matanya saat sepasang pengantin beradegan sembah sungkem di panggung pelaminan. Sontak membuat para hadirin sebagian ikut menangis haru, entah benar-benar haru atau sekedar menemani sang bapak tersebut menangis. Beberapa bungkus tisu secara bersamaan diberikan untuk menyeka air mata yang membanjir di pipi dan berdampak pengantin laki-laki yang notabene putranya, jadi menangis pula. 

Di masa kecil, saya sering mendengar bahwa anak laki-laki tak boleh menangis. Padahal tangis adalah ekspresi jiwa yang tak bisa dihentikan dengan mudah tanpa tahu ilmunya. Terbukti banyak dijumpai laki-laki juga bisa dan boleh menangis. Terlepas dari sebutan tangisan buaya atau tidak, menangis sesungguhnya tidak dilarang. Bahkan sebagian dari mereka mengakui, hati menjadi lega setelah menangis.

Menangis haru karena momen-momen sakral kadang tak mampu dihindari oleh kaum laki-laki maupun perempuan. Tak semua tangisan melambangkan kesedihan. Kadang karena rasa bahagia yang tak terkira mampu membuat berderainya air mata. Seperti ketika mendapati kelahiran anak dengan lancar dan selamat, ucapan syukur sambil menangis adalah ekspresi pertama yang terjadi tanpa disadari. Dan yang paling heboh tangisnya selain bayi adalah tangis bapaknya.

Sering pula kita jumpai seorang bapak yang tampak menahan tangis di tempat umum. Air matanya memang tak sampai menetes tapi lumayan menggenang di kedua matanya. Dia merasa haru campur bangga menyaksikan putranya pada acara wisuda di sebuah kampus. Tangis semacam ini sudah jelas tak mampu untuk dicegah.

Lelaki menangis bukanlah sesuatu yang memalukan sebatas ada sebab musababnya. Menangis tak mengurangi wibawa atau menurunkan martabat. Insan mulia Rasulullah saja pernah menangis ketika putra beliau berpulang, apalagi kita sebagai insan biasa yang penuh keterbatasan.

***

Saya yakin semua orang pernah menangis. Menangis tidak mengenal usia, jenis kelamin atau pun jabatan. Sebuah tangis bisa terjadi karena bermacam sebab. Selain karena rasa sedih yang mendera, rasa pilu yang mengharu biru, rasa bangga dalam dada yang tak mampu disembunyikan juga hadirnya rasa bahagia ketika dilimpahi banyak keberkahan.

Menangis bukan hanya milik kaum perempuan saja, meski sudah menjadi kodrat bahwa perempuanlah yang paling gampang untuk menangis. Kaum lelaki juga sering menangis di saat-saat mereka tak memiliki kekuatan untuk tidak menangis. Tidak apa-apa lelaki menangis dan jika toh harus menangis bukan berarti itu tangis buaya. [red/rin]

Wurry Srie, Ibu rumah tangga yang suka menulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *