Antara Cuan, Cincai dan Cengli, Rahasia Bisnis Sukses ala Tionghoa

Cuan

“Bisnis memang tidak melulu soal hitung-hitungan cuan. Berinvestasi dalam bisnis juga harus diiringi dengan cincai untuk menebarkan kebaikan atau minimal dengan tidak merugikan orang lain.”

Perayaan Cap Go Meh yang meriah dengan atribut didominasi warna merah belum lama ini usai. Meskipun kali ini saya hanya bisa menyaksikannya secara daring, pertunjukan barongsai yang akrobatik serta liong yang meliuk-liuk turun naik itu memang menarik. 

Beruntung budaya Tionghoa kini bisa kita saksikan secara bebas, setelah kabarnya sempat dilarang pada era pemerintahan Suharto. 

Belum lama ini, tanpa sengaja saya menemukan  daftar orang terkaya di Indonesia pada sebuah portal berita online, Robert Budi Hartono yang bernama asli Oei Hwie menduduki peringkat pertama. Saya tak pernah tertarik dengan berita semacam itu sebelumnya, namun karena sedang senggang, saya iseng menelusurinya satu demi satu. Siapa tahu bisa memberikan motivasi. 

Daftar orang terkaya Indonesia versi Forbes itu tidak panjang. Dan di antara daftar pendek itu terselip satu orang keturunan India, Sri Prakash Lohia, pemilik Indorama Corp yang bergerak di bidang tekstil dan bahan kimia. Namun selebihnya didominasi oleh warga negara Indonesia keturunan Tionghoa.

Di Indonesia, memang banyak pengusaha sukses yang merupakan keturunan Tionghoa. Saya tertarik untuk mengulik rahasia yang membuat mereka sukses di berbagai bidang usaha itu, tapi tak pernah menemukan jawabannya. Meskipun sudah banyak  referensi yang saya baca, tak ada artikel yang dengan jelas menyebutkan kiat-kiatnya. Padahal, saya sudah siap untuk mengambil, meniru, dan memodifikasinya untuk kepentingan pribadi. Supaya balungan kere saya ini bisa berubah jadi balungan priyayi.

Saya kemudian mengamati tetangga di kampung yang sukses menjadi juragan sembako, serta kenalan lama saya yang sukses berjualan kue basah. Keduanya adalah warga keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di Indonesia. Namun, dari mereka pun saya tak berhasil menemukan rahasia yang membuat usaha mereka sukses dan laris. Saya hanya berhasil menemukan 3 filosofi ala Tionghoa yang selalu mereka bicarakan.

# Cuan

Sejatinya dalam berbisnis semua orang pasti mengharapkan cuan. Bukan hanya keturunan Tionghoa saja yang ingin mengeruk keuntungan dari bisnis yang dilakoninya. Bedanya, sebelum berbisnis, orang Tionghoa diajarkan untuk menghitung berapa keuntungan yang bisa didapatkan.

Bila bisnis tidak mendatangkan cuan, mereka akan menggantinya dengan usaha lain yang lebih menguntungkan. Bisnis yang tidak menghasilkan cuan itu namanya bukan bisnis, tapi kerja bakti!

Setiap bisnis memang harus bisa menghasilkan cuan, bukan hanya sekedar break even atau balik modal. Keuntungan dari bisnis harus cukup untuk menggaji diri sendiri dan orang lain. Sisa cuan yang ada pun bisa diputar lagi menjadi modal untuk memperbesar usaha. Tak heran bila bisnis kecil-kecilan pun menjadi semakin besar.

# Cincai

Menghitung keuangan dengan cermat dalam berbisnis memang penting, namun bukan berarti harus hitung-hitungan dalam segala hal. Sesekali perlu juga mengalah untuk menang atau cincai saja dengan pelanggan, pegawai atau sesama pengusaha yang menjadi rekan bisnis.

Cincai dengan mengurangi sedikit cuan untuk memberikan diskon pada pelanggan pada saat-saat tertentu bisa menjadi pengikat tali bisnis yang manis dan mencegah pelanggan melirik toko sebelah.

Demikian pula cincai kepada pegawai yang rajin dengan cara memberikan bonus, sudah pasti akan meningkatkan kinerja dan loyalitasnya.

# Cengli

Dalam berbisnis, orang Tionghoa tidak bergaya preman yang maunya menang sendiri. Mereka memegang teguh prinsip bahwa berbisnis itu harus adil dan tahu diri. Dengan menaati aturan dan tidak merugikan orang lain demi keuntungan sendiri, mereka percaya bahwa bisnis justru akan menjadi lebih lancar dan bisa bertahan lama.

Masuk akal juga sebenarnya. Bayangkan bila kita berbisnis dengan cara preman yang main sikut kanan-kiri dan hanya mementingkan keuntungan pribadi, siapa yang mau menjadi pelanggan? Paling-paling sekali beli langsung kapok dan nggak bakalan balik lagi. Kalau nggak ada pembelian ulang dari pelanggan, bagaimana bisnis bisa bertahan?

***

Bisnis memang tidak melulu soal hitung-hitungan cuan. Berinvestasi dalam bisnis juga harus diiringi dengan cincai untuk menebarkan kebaikan atau minimal dengan tidak merugikan orang lain. Namun yang terpenting untuk membuat bisnis tetap langgeng adalah dengan cara cengli alias tetap mengikuti aturan main.

Itulah 3 filosofi yang saya perkirakan menjadi rahasia bisnis sukses ala Tionghoa. Sebagai orang Indonesia yang bukan keturunan Tionghoa, saya memang hanya bisa mengira-ngira. Perkara benar atau tidaknya perkiraan saya ini, masih menjadi misteri. 

Kelak akan terbukti bila saya berhasil masuk daftar orang terkaya di Indonesia. Meskipun bukan versi Forbes, tapi versi keluarga besar saya. Hahaha. [red/pas-bp]

Margaretha Lina Prabawanti, penulis musiman: kadang nulis, kadang main.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *