Begini Perasaan Orang Tua saat Anaknya Tinggal di Asrama

parenting ghibah

“Padahal pergi dari rumah adalah salah satu cara untuk belajar”

“Mama ga perlu menjenguk sering-sering kesini, ya.” Perkataan anak saya tersebut diungkapkan saat saya berkunjung ke pesantren tempat dia bersekolah. Kata-kata tersebut muncul mungkin karena seringnya saya menjenguknya selama dia masuk pesantren. Tapi saya yakin, bukan saya saja orang tua yang bersikap berlebihan terhadap anak-anaknya yang bersekolah berasrama. Saya juga menyadari bahwa perasaan-perasaan ini muncul pada orang tua lainnya.

Emosional, merasa rapuh, dan kesepian itulah yang dirasakan oleh orang tua terutama emak-emak seperti yang anaknya sedang menempuh pendidikan di boarding school.  Perasaan ini akhirnya muncul saat saya sudah merasakan sendiri bagaimana campur aduknya perasaan saya saat berjauhan dengan anak, padahal masih terjangkau dalam satu wilayah.

Saya tidak bisa membayangkan apa saja perasaan yang dialami oleh ibu saya saat saya bersekolah di luar kota, dimana ibu saya tidak dapat berkunjung setiap waktu karena jaraknya membutuhkan waktu 12 jam perjalanan darat hanya untuk menjenguk saya sebentar.

#1 Rasa Khawatir

Rasa khawatir yang dialami oleh para ibu lebih kepada bagaimana si anak mempersiapkan kebutuhannya sendiri selama jauh dari rumah. Kebiasaan-kebiasaan di rumah seperti menaruh pakaian bersih dan pakaian kotor, mengambil kain kering di jemuran, dan keperluan lainnya. Bagi sebagian keluarga yang mempunyai rezeki berlebih maka membereskan hal-hal tersebut tentunya telah diurus oleh asisten khusus. Sehingga tidak terbiasa mengurus printilan kecil merupakan masalah bagi sebagian anak-anak.

Pengalaman saya dulu, untuk urusan pakaian adalah yang paling sering bermasalah. Pakaian hilang di jemuran, atau pakaian sudah direndam tetapi tidak sempat dicuci sampai pakaian menjadi rusak karena kelamaan di dalam air rendaman. Saya juga bertanya kepada anak saya pakaian-pakaian yang dimilikinya. Pakaian hilang bagi penghuni asrama adalah sebuah keniscayaan.

Belum lagi saling bertukar pakaian. Alasannya belum sempat mencuci, atau tidak ada warna yang cocok, bahkan tidak mempunyai pakaian tertentu yang dibutuhkan saat itu. Tukar-menukar pakaian ini bukan masalah bagi si anak, tapi bagi orang tua muncul kekhawatiran seperti munculnya penyakit kulit yang mudah menular.

Kekhawatiran lainnya adalah soal makanan. Seperti diketahui bahwa makanan di asrama berbeda dengan makanan rumahan. Bagi anak-anak yang sulit untuk makan tentunya bisa menimbulkan penyakit pencernaan. Bahkan ada sebagian anak yang dikeluarkan dari asramanya karena telah menderita sakit yang parah.

Banyak orang tua jika menyekolahkan anak-anaknya di asramayang terjangkau dengan rumah maka akan sering berkunjung sekaligus membawa makanan yang dapat membantu anak-anaknya untuk menambah selera makannya dan mencegah munculnya sakit yang dikhawatirkan. Orang tua sangat mengkhawatirkan jika anaknya sakit dan tidak ada yang menjaganya.

#2 Rasa Sedih

Siapa sih yang tidak sedih berpisah dengan kesayangannya? Demikian juga orang tua akan bersedih dengan perpisahan dengan anak-anaknya. Walaupun niatnya adalah untuk menempuh  pendidikan yang lebih baik dan berdasarkan kesepakatan bersama orang tua dan anak untuk berpisah.

Ibu mempunyai rasa yang lebih peka dibandingkan ayah. Dan ibu lebih bisa mengungkapkan rasa kesedihannya. Bagi seorang ibu, apapun boleh ibu lakukan terhadap anak-anaknya bahkan memukul dengan alasan sayang, tetapi jika seorang ayah memukul anaknya maka siap-siap saja sang ayah berhadapan dengan ibu.

Ibu juga lebih cepat merasakan rindu apabila berjauhan dengan orang yang disayanginya. Sehingga saat berjauhan dengan anak-anak yang sedang bersekolah di asrama maka rasa kangen tersebut menjadi rasa sedih.

#3 Rasa Tidak Percaya dengan Kemampuan Anak

Orang tua seringkali lupa dengan situasi dan kondisinya sebelum menjadi orang tua. Salah satunya adalah perasaan tidak percaya dengan kemampuan anak. Orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya ke boarding  mempunyai impian agar anak-anak mereka menjadi mandiri. Tetapi tindakan dan perlakuan terhadap anak-anak tidak menunjukkan dukungan untuk mencapai impian tersebut.

Misalnya kasus yang tidak diberikannya kepercayaan kepada anak adalah  tentang mengelola keuangan selama berada di boarding. Orang tua memberikan uang jajan tetap menghitung dan merinci  kebutuhan anak-anaknya. Dan memberikan sesuai dengan permintaan si anak. Padahal bisa saja orang tua memberikan sejumlah uang, walaupun dalam jumlah agak besar namun sudah dihitung untuk kebutuhan dalam satu periode tertentu, misalnya untuk kebutuhan dua mingguan atau satu bulan.

Tidak mengajarkan sekaligus memberikan kesempatan untuk anak belajar adalah perasaan orang tua yang tidak kita sadari. Sehingga  rasa tidak percaya  kemampuan anak ini juga akan mempengaruhi masa depan depan anak. Orang tua tetap menganggap bahwa anak mereka hanya berpindah tempat dari rumah ke boarding dan lupa bahwa kita sebagai orang tua tidak berada disisinya selama dua puluh empat jam. Padahal disinilah kesempatannya mengajarkan kepada anak untuk mampu dan mandiri menghadapi masalah yang pastinya akan dia hadapi saat dia berada dalam kehidupan bermasyarakat kelak.

#4 Rasa Bersalah

Rasa keempat rasa yang dimiliki oleh orang tua yang anaknya sedang berada di asrama adalah rasa bersalah. Perasaan bersalah ini muncul dari anggapan masyarakat kita bahwa anak yang dimasukkan ke sekolah asrama atau khusus pesantren artinya anaknya telah dibuang karena bersikap nakal.

Tentunya perasaan ini tidak perlu dirasakan oleh orang tua jika kembali mengingat tujuan memasukkan anak-anaknya ke sekolah boarding. Rasa bersalah ini dapat dihilangkan dengan niat mengikhlaskan anak untuk belajar menuntut ilmu yang lebih baik. Tentunya niat ini diselaraskan bahwa mengingat kemampuan orang tua dalam mendidik juga masih membutuhkan lembaga lain untuk membantu memberikan pendidikan kepada anak-anak.

Rasa bersalah juga jika membandingkan dengan fasilitas yang diterima antara saat di rumah dan di asrama. Jika di rumah dapat menikmati semua fasilitas secara lengkap, serta dapat menikmati makanan mewah secara bersama-sama, sedangkan selama di asrama fasilitas tersebut tidak dapat diperoleh.

Demikianlah beberapa rasa yang dimiliki oleh orang tua yang anaknya bersekolah di asrama bahkan jika anak-anaknya telah dewasa dan pergi merantau keluar daerah. Saya telah merasakan sebagai anak yang pergi jauh dari orang tua sejak tingkat sekolah menengah pertama sampai kuliah di seberang pulau, dan rasanya kurang peka memahami rasa yang dialami oleh orang tua saya.

Sehingga saat orang tua menunjukkan rasanya kepada saya, saya merasa bahwa orang tua saya sedikit lebay. Tetapi saat sekarang saya sebagai orang tua, saya merasakan juga apa yang dirasakan oleh orang tua saya dulu. Saya bahkan lupa bahwa apa yang anak saya rasa sekarang sama dengan apa yang saya rasa dulu saat seusianya.

Padahal pergi dari rumah adalah salah satu cara untuk belajar. Seperti Imam Syafii katakan, “Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman, tinggalkan negerimu dan hidup asing  (di negeri orang)”. Ungkapan ini merupakan motivasi dari ulama tersebut untuk memberikan semangat untuk merantau. [red/nat]

Risnawati Ridwan, Ibu rumah tangga yang nyambi jadi abdi negara.

One thought on “Begini Perasaan Orang Tua saat Anaknya Tinggal di Asrama

  1. Mantap,jalan yang tetap untuk mendidik anak memilih keasrama,insyAllah kelak nanti akan bermanfaat bagi kedua orang tuanya,suku,bangsa,dan negara serta Agam dunia dan akhirat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *