Menerka Nasib Kurikulum Merdeka Pasca 2024

“Bagaimanapun, sulit dielakkan bahwa pergantian rezim berpotensi membawa perubahan pada Kurikulum Merdeka.”

Beberapa pekan kemarin, saat saya mengikuti pembekalan calon fasilitator pendidikan guru penggerak Kemendikbud, salah seorang peserta mengajukan pertanyaan mengenai keberlangsungan Kurikulum Merdeka pasca pilpres 2024. Tentu saja, pertanyaan tersebut terlalu sering kita dengar dan bahkan sangat klise. Meskipun demikian, bukan berarti pertanyaan tersebut dapat diabaikan begitu saja, mengingat kurikulum adalah cetak biru yang menentukan arah pendidikan nasional di masa depan. 

Kurikulum Merdeka merupakan salah satu terobosan penting dalam dunia pendidikan di Indonesia, terutama sebagai respon atas kekhawatiran terjadinya learning loss pasca pandemi. Namun, sebagai implementasi kebijakan, nasib kurikulum ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah peristiwa politik di tanah air.

Dinamika Pergantian Kurikulum Nasional

Fakta menunjukkan bahwa setiap pergantian menteri hampir selalu diikuti dengan perubahan kurikulum, apalagi jika terjadi pergantian presiden. Alasan di balik perubahan ini sangat bervariasi, termasuk perbedaan visi dan misi, penekanan pada pendekatan pendidikan yang berbeda, atau munculnya pemikiran baru tentang kebutuhan siswa dan tuntutan perkembangan jaman.

Masih melekat dalam ingatan bagaimana Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) diterapkan oleh Malik Fajar di senjakala pemerintahan Presiden Megawati pada 2004. Kurikulum ini menekankan kompetensi pada tiga domain, yaitu afektif, kognitif, dan psikomotorik yang terpotret melalui perilaku keseharian murid. Dalam perjalanannya, kurikulum ini ternyata berumur sangat pendek.

Hanya selang dua tahun KBK berjalan, pada tahun 2006 terbitlah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono oleh Mendiknas Bambang Sudibyo. Kala itu, KTSP diyakini sebagai roh kebijakan desentralisasi melalui otonomi daerah. Penyusunan kurikulum tidak sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat, tetapi dilakukan secara mandiri oleh satuan pendidikan (sekolah) dengan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum dari kementerian pendidikan.

Belum genap sewindu, lahirlah Kurikulum 2013 (K-13) yang dibidani oleh Mendikbud Mohammad Nuh. Kelahiran K-13 konon diklaim sebagai penyempurnaan KTSP. Dalam pembelajaran, guru diharapkan mampu mendorong siswa untuk melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengomunikasikan hal yang telah siswa pahami setelah menerima materi pembelajaran.

Sejurus kemudian, pasca Pilpres 2014, Mendikbud baru Anies Baswedan menunda pelaksanaan K-13 karena dianggap belum siap, hingga akhirnya dijalankan kembali secara bertahap mulai tahun 2015.

Hingga akhirnya, Kurikulum Merdeka diluncurkan Mendikbudristek Nadiem Makarim pada tahun 2022 seiring dengan dicanangkannya kebijakan Merdeka Belajar. Esensi dari Kurikulum Merdeka adalah memberikan kemerdekaan bagi guru untuk memilih berbagai perangkat ajar sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan minat dan kebutuhan belajar para murid. Kurikulum Merdeka juga disertai dengan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), yang lebih fokus pada pembentukan karakter murid yang berpedoman pada nilai-nilai universal Pancasila.

Sebagai guru, saya merasakan betul bahwa secara praktis, Kurikulum Merdeka sebenarnya memudahkan guru dalam pelaksanaannya di lapangan. Guru tidak lagi dibebani dengan administrasi yang terlalu banyak dan rumit seperti kurikulum pendahulunya. Materi pembelajaran pun lebih sederhana dan kontekstual, yaitu berfokus pada materi esensial saja serta berkaitan langsung dengan kehidupan siswa sehari-hari. 

Pembelajaran berbasis masalah dan proyek juga memberikan kesempatan lebih luas kepada peserta didik untuk secara aktif mengeksplorasi isu-isu aktual, misalnya isu lingkungan dan kesehatan, untuk mendukung pengembangan karakter dan kompetensi Profil Pelajar Pancasila.

Tentu saja, untuk mencapai kondisi yang ideal, guru memang memerlukan waktu untuk beradaptasi dan belajar menerapkannya secara benar dan konsisten. Dalam hal ini, selain kesadaran guru untuk terus belajar, juga dibutuhkan dukungan yang sistemik dan sinergis dari para pemangku kebijakan.

Dorongan untuk Keberlanjutan dan Perbaikan

Tidak bisa dimungkiri bahwa lahirnya kurikulum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh situasi politik dan visi lima tahunan dari presiden terpilih. Jika presiden baru memiliki visi yang berbeda tentang arah pendidikan nasional, maka potensi adanya perubahan pada kurikulum menjadi lebih tinggi. Padahal, negara-negara maju baru mengganti kurikulum secara nasional rata-rata dalam jangka waktu lebih dari 15 tahun.

Penting untuk digarisbawahi bahwa penyusunan dan implementasi kurikulum membutuhkan waktu, sumber daya, juga sumber dana yang tidak sedikit. Perubahan drastis pada kurikulum yang terjadi setiap suksesi kepemimpinan dapat memengaruhi kontinuitas dan kestabilan proses pendidikan itu sendiri. Belum lagi efek psikologis yang menghantam para pelaksana kebijakan di tingkat paling bawah, yaitu para guru dan kepala sekolah.

Bagaimanapun, sulit dielakkan bahwa pergantian rezim berpotensi membawa perubahan pada Kurikulum Merdeka. Untuk meminimalisir resiko, langkah logis dan strategis yang bisa dilakukan cukuplah mendorong perbaikan yang berkelanjutan dalam implementasi kurikulum tersebut. Keberlanjutan kurikulum memungkinkan guru dan siswa dapat memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka bangun selama ini, sehingga apa yang telah diupayakan sebelumnya tidak menjadi sia-sia. 

Artinya, perubahan kurikulum tidak berarti harus mengganti secara keseluruhan. Evaluasi berkala, penyesuaian yang selaras dengan perkembangan kebutuhan siswa dan tuntutan dunia kerja, serta pengembangan profesionalisme guru adalah langkah-langkah penting dalam memastikan kurikulum tetap relevan dan berkualitas.

Kurikulum sepertinya perlu diatur dengan regulasi yang lebih kokoh seperti halnya Undang-Undang, sehingga memiliki orientasi yang lebih jauh ke depan. Kurikulum Merdeka harus dibuktikan dulu efektivitas dan efisiensinya dalam menyelesaikan problematika pendidikan di Indonesia, setidaknya dalam 15 tahun mendatang.

Muhammad Makhdum, guru SMP Negeri 3 Plumpang dan Penggerak Komunitas Guru Belajar Nusantara Tuban.

Editor: Bhagaskoro Pradipto

One thought on “Menerka Nasib Kurikulum Merdeka Pasca 2024

  1. Arah pendidikan tergantung situasi politik melihat dari banyak pemangku kebijakan yangempermasalahkan sekolah zonasi. Asesmen sampai banyaknya pungutan liar. Sehingga kebijakan pendidikan ke arah kedepanya mungkin bisa berubah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *