Site icon ghibahin.id

Makanan Kita dan Perjalanan Maknanya

Makanan

Foto oleh Artem Beliaikin dari Pexels

“Jika mau direnungkan sebentar saja, makan sejatinya adalah pengalaman yang dikonstruksi oleh orkestrasi takdir yang melibatkan banyak pihak.”

Bulan April 2020, ketika pandemi membuat semua orang ketakutan, saya dan keluarga justru pindah ke Bali karena sesuatu yang tak bisa kami tolak. Awalnya, Bali begitu sepi, beberapa kawasan bahkan bagaikan kota hantu. Seiring berjalannya waktu, Bali mulai menggeliat kembali. Wisatawan domestik mulai berdatangan di akhir pekan, tampak dari padatnya pengunjung tempat wisata, restoran, dan juga pusat-pusat perbelanjaan.

Tidak sulit untuk beradaptasi ketika tinggal di Bali, setidaknya selama pikiran mau terbuka terhadap perbedaan. Namun di antara banyak hal berbeda yang saya rasakan, yang paling terasa adalah bahwa di Bali segala hal seakan berlangsung lebih lambat.

Awalnya, saya mengira ini cuma semacam ilusi perbedaan zona waktu. Tapi ternyata memang demikian adanya. Tidak banyak orang yang tampak tergesa-gesa ketika berangkat kerja, tidak banyak suara klakson kendaraan yang ngotot diprioritaskan, begitu tenang seakan-akan atmosfer Bali dan nuansa liburan itu memang tunggal dan tak terpisahkan.

Bagaimanapun, sulit untuk tidak membandingkan apa yang saya rasakan di Bali dengan pengalaman saya sebelumnya ketika bekerja di Jakarta. Bagi saya, Jakarta dan Bali adalah dua ekstrem yang kontrasnya punya hikmah dan kebaikannya masing-masing, yang memberikan saya sesuatu untuk diamati dan direnungkan.

Salah satu hal yang berkesan adalah betapa berbeda cara saya memaknai makan di kedua tempat ini. Ya, betul, saya sedang membicarakan aktivitas makan. Mungkin, saking tak terpisahkannya makan dengan kehidupan kita sehari-hari, ia menjadi perkara yang diremehkan, sehingga banyak dari kita tak menyadari bahwa kegiatan makan yang kita lakukan setiap hari pada dasarnya merupakan pengalaman kebudayaan. 

Makan ternyata bukanlah sekadar membuka mulut, menuangkan nasi dan lauk untuk mengisi perut yang lapar. Jika mau direnungkan sebentar saja, makan sejatinya adalah pengalaman yang dikonstruksi oleh orkestrasi takdir yang melibatkan banyak pihak. 

Mulai dari bahannya saja, petani dan peternak merawat bahan-bahan makanan kita dengan penuh dedikasi dan bahkan pertaruhan hidup. Bahan makanan dijual di pasar setelah melewati perjalanan panjang yang melelahkan, hingga terdistribusi dan diolah menjadi makanan yang siap disajikan. Kemudian, perihal oleh siapa, bagaimana, dan di mana makanan itu dibuat, semuanya adalah serangkaian detil yang ikut menentukan pengalaman makan kita sehari-hari.

Pengalaman setiap individu yang terlibat dalam masing-masing proses tadi membentuk sebuah pola yang dilakukan terus menerus, dengan segala perkara etos dan teknisnya, membentuk kebudayaan atas makanan. Bahkan ketika makanan disajikan, kebudayaan juga menentukan apakah kita akan menyantapnya dengan perkakas makan lengkap, atau dengan tangan kosong saja.

Namun yang juga sering terlewat dari aspek kebudayaan ini adalah bagaimana kita memaknai makan. Bicara budaya pasti tak lepas dari pembicaraan tentang makna, kan? Dan cara kita memaknai makan  juga dipengaruhi oleh kebudayaan yang berputar di sekitar kita, melalui hal-hal yang kita hadapi sehari-hari.

Dengan kehidupan yang lebih santai jika dibandingkan dengan Jakarta, kegiatan makan di Bali bisa dibilang straight to the point sebagai kegiatan budaya. Dalam tataran masyarakat lokalnya saja, kegiatan makan sangat lekat dengan perayaan. 

Di antara rapatnya jadwal upacara adat di Bali, kegiatan makan sering menjadi bagian dari ritual. Setelah upacara adat selesai, para anggota keluarga berkumpul dan menikmati makanan yang secara khusus dihidangkan untuk kesempatan tersebut. Kegiatan makan masih melekat dengan adat, termasuk juga bahan-bahan dan teknik memasaknya, menjadi bagian dari tradisi yang merunut pada pakem tertentu yang disepakati.

Begitupun bagi para wisatawan, berbagai macam kedai dan restoran yang tersedia seantero Bali tak ubahnya bagai perayaan citarasa dari berbagai kebudayaan, baik yang lokal maupun yang asing. Bagi yang punya keleluasaan finansial dan gemar mencoba hal-hal baru, maka kegiatan makan di Bali pun dapat memberikan kebaruan pengalaman yang tak ada habisnya.

Pun bagi para pendatang yang kantongnya lumayan cekak seperti saya, makanan juga masih mudah dijangkau. Biaya hidup di Bali, jika tidak memaksakan diri untuk hidup hedonis, sesungguhnya tidak mahal.

Harga bahan-bahan makanan pada dasarnya cukup terjangkau, mungkin—sebagaimana yang saya lihat—karena banyak di antara bahan-bahan ini juga dibudidayakan dan diolah di Bali. Jenis bahan makanan yang tersedia di pasar juga beragam, mengakomodasi bermacam kebudayaan yang hidup bersama di dalamnya.

Oleh karena itu, kegiatan makan disyukuri tidak hanya karena makanan di Bali sangat beragam dan jarang gagal secara citarasa, tapi juga karena kemudahannya untuk memperoleh makanan yang berkualitas.  

Untuk urusan keragaman makanan, Jakarta tak kalah dengan Bali. Jika Bali dikunjungi pelancong dari berbagai belahan dunia, Jakarta juga merupakan tempat bertemunya berbagai kepentingan dari berbagai suku bangsa, yang melalui interaksinya satu sama lain berpengaruh pada keragaman jenis makanannya.

Meski demikian, keragaman makanan di Jakarta agaknya tidak membuatnya menjadi suatu hal yang dirayakan seperti di Bali. Bagi banyak kelas pekerja Jakarta, yang sebagian di antaranya adalah perantau, makan punya makna yang lebih pragmatis.

Jakarta adalah tempat di mana semua orang berpacu untuk mempertahankan penghidupannya. Aroma kompetisi tercium kuat bahkan saat mereka berangkat kerja, bersaing ketika memasuki bus Trans-Jakarta maupun kereta komuter. Karena dunia Jakarta terpusat pada urusan kerja, maka hal-hal lain di sekitarnya pun tersedia dan dimanfaatkan secara pragmatis sebagai penunjang keberlangsungan kerja. Termasuk urusan makan.

Dengan semangat pragmatisme inilah, peran warteg menjadi menjadi sentral dalam budaya makan kelas pekerja Jakarta. Bagi mereka, makan di warteg jelas lebih mangkus dan sangkil ketimbang masak sendiri, bahkan melampaui restoran cepat saji. Rasa makanan warteg seringkali bukan yang teramat lezat, tapi cukup “aman”, sehingga tidak membuat yang merogoh kocek menyesali apa yang dia makan. 

Rasa tidak lagi penting dan menjadi sesuatu yang dirayakan, karena—dalam semangat pragmatisme—yang penting rasa makanan warteg dapat mengakomodasi lidah pembelinya yang berasal dari berbagai latar belakang. Terbukti, konsumen warteg datang dari berbagai suku, etnis, dan juga kelas sosial yang berbeda-beda. 

Semangat pragmatisme ini pulalah yang menyebabkan penjual nasi goreng, bakmi, dan nasi gila di Jakarta punya rasa yang bagaikan template, nyaris sama di setiap gerobaknya. Perbedaan penyajian dan kekhasan rasa menjadi tak penting lagi, karena yang penting mereka mudah dijangkau, baik secara harga maupun perihal kesearahan lokasinya dengan tempat tinggal dan kantor.

Meski makanan di Bali dan Jakarta punya “ideologi” yang berbeda, pengalaman makan di Jakarta bisa jadi terasa sama nikmatnya dengan makan di Bali. Pasalnya, makanan apapun akan terasa sangat nikmat, ketika dimakan setelah seharian menghadapi padatnya pekerjaan di kantor, beratnya tekanan sosial, dan kerasnya jalanan Jakarta. Nggak percaya? Coba saja sendiri, hehehe. 

Bhagaskoro Pradipto, Stay at home dad, redaktur ghibahin.id, menulis sambil memikirkan yang tidak-tidak.

Exit mobile version