Site icon ghibahin.id

Yakin Healing? Mungkin Kita hanya Perlu Refleksi

Saat dikejar-kejar deadline atau tugas-tugas yang tak kunjung usai, kerap kali saya merindukan suasana pedesaan yang tenang. Ngobrol di saung bambu, di tengah pepohonan hijau. Kopi hitam dan rokok kretek menjadikan orkestra ketenangan itu semakin lengkap. Lalu, saya membayangkan apakah orang zaman dahulu hidupnya lebih bahagia? 

Saya menebak-nebak, mungkin persoalan hidup mereka tidak jauh dari sekedar cara bertahan hidup. Tentang bagaimana mendapatkan makanan atau terhindar dimangsa hewan buas. 

Berbeda dengan era modern, persoalan hidup serasa begitu kompleks. Kehidupan yang identik dengan teknologi dan segala sesuatu yang serba instan itu, tidak serta merta menjadikan kita surplus waktu luang. Kenapa begitu? Karena nyatanya untuk bisa mengakses dan menikmati berbagai kemanjaan yang diberikan teknologi, kita harus menebusnya dengan harga yang sepadan. 

Memang benar teknologi memberikan kita berbagai kemudahan. Belanja, membayar tagihan, memesan makanan dan banyak hal dapat dilakukan hanya melalui gawai di genggaman kita. Namun itu hanya berlaku kalau dompet digital kita memiliki saldo yang cukup. Dan agar kita selalu punya saldo yang cukup, tak jarang pergi pagi-pulang malam harus menjadi rutinitas kita. 

Setelah rutinitas monoton dan melelahkan itu, banyak orang yang tetap tidak mendapatkan apa-apa. Atau, bagi mereka yang berhasil meraih apa yang diimpikannya, tak sedikit hidupnya masih diliputi keresahan. Masih merasa banyak masalah. Karena memang masalah bukanlah tentang berapa banyak harta yang kita miliki. 

Setiap kita pasti punya masalah. Apapun profesi kita, berapa pun usia kita, tidak pernah luput dari masalah. Pengangguran punya masalah, karyawan juga punya masalah. Jomblo punya masalah, yang punya pasangan juga punya masalah. Begitulah hidup, masalah akan selalu hadir mengisi bait-bait kehidupan dengan berbagai warna dan bentuknya. 

Ketika kita lelah dengan himpitan masalah, untuk menjernihkan pikiran dan mengembalikan semangat, mungkin sudah saatnya healing time. Tentu saja healing yang saya maksud bukan healing yang sebenarnya. Yang saya maksud adalah healing yang banyak diperbincangkan di media sosial. Tentang memanjakan diri. 

Ada beragam cara beragam dalam memanjakan diri. Ada yang bisa kembali tertawa dengan hanya menikmati semangkok bakso. Ada yang kembali bisa tersenyum setelah pergi nonton. Ada juga yang perlu jalan-jalan keluar negeri dulu. Apakah setelah healing masalahnya selesai? Mungkin saja. Karena boleh jadi dalam keadaan senang itu, kita memproduksi ide-ide cemerlang yang bisa menjadi solusi masalah-masalah kita. 

Namun ketika berbagai upaya healing telah kita lakukan, tapi ternyata masalahnya tidak kunjung selesai, mungkin yang kita butuhkan bukan healing. Tidak ada salahnya kita mengambil jeda dari rutinitas yang menyibukan kita. Sesekali cobalah berpikir mendalam. Sebuah tradisi yang mulai ditinggalkan oleh kebanyakan orang yang hidup di dunia modern. 

Berpikir mendalam adalah refleksi. Seperti penebang pohon yang mengambil jeda untuk mengasah kapaknya. Saat jeda itu kita menakar kesesuaian antara rencana dan realisasi. Bukan memperlambat pencapaian melainkan untuk membuat kita semakin produktif.

Berpikir mendalam berarti kita kita memikirkan kembali tujuan hidup kita. Memikirkan ulang dari mana kita berasal dan kemana kita menuju. Memang terdengar sedikit klise. Tapi tidak setiap orang benar-benar pernah melakukannya. Terkadang kita hanya mengambil begitu saja produk pemikiran yang telah diakui kebenarannya oleh kebanyakan orang, yang belum tentu cocok dengan diri kita. Karena setiap kita unik, seunik sidik jari kita. Jadi tak perlu kita membandingkan pencapaian kita dengan pencapaian orang lain. 

Berpikir mendalam sama dengan berpikir runut menata ulang pikiran kita. Memetakan masalah, mengurai mana sebab mana akibat. Karena sering kali kita berada pada kondisi merasa banyak masalah tapi tidak benar-benar tahu masalahnya apa.

Dengan berpikir mendalam kita akan digiring pada kesadaran, ternyata masalah hidup yang meresahkan itu, lahir dari perbedaan antara kondisi ideal dan kenyataan. Ideal-ideal dalam pikiran kita, yang merupakan hasil kontruksi sosial melahirkan keinginan-keinginan. Keinginan yang seringkali tidak didasari oleh kebutuhan, melainkan karena terinspirasi oleh orang-orang di sekitarnya. Misalnya karena melihat teman dekat kita memiliki gawai baru, kita pun menginginkannya.

Masalahnya di era modern teman kita banyak. Selain teman di dunia nyata, kita juga berteman di medsos yang justru jumlahnya lebih banyak. Hampir setiap hari, mereka silih berganti hadir dengan postingannya. Sialnya postingan-postingan itu langsung atau tidak berpengaruh terhadap mood kita. Tidak hanya itu, di medsos orang-orang juga begitu “dekat” dengan artis idolanya yang dengan mudah untuk mengamati aktivitasnya. Makan di restoran mewah, belanja barang mahal atau jalan-jalan keluar negeri. Alhasil, ini menjadi sumber daftar panjang keinginan-keinginan kita.

Bisa jadi keinginan-keinginan inilah yang menjadi sumber keresahan kita. Tentu bukannya kita tidak boleh punya keinginan. Yang harus kita sadari bahwa pada faktanya kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan. Karena kehidupan memiliki hukumnya sendiri. Dan buat Sohib yang pernah nonton film The Room (2019), bila setiap keinginan kita dapat terwujud, justru itu adalah bencana.

Roy Waluyo. Pengajar, tinggal di Bogor.

[red/rien]

Exit mobile version