Site icon ghibahin.id

Paskah, Jumat Agung dan Peringatan Tentang Virus Munafik yang Makin Akut

Sebelum peristiwa penyaliban Yesus, para imam kepala, orang Farisi, dan ahli Taurat, sedang berpikir keras untuk menghentikan pelayanan Yesus. Mereka menganggap Yesus sebagai ancaman nyata bagi eksistensi dan kehormatan para imam.

Bagaimana tidak? Yesus secara terang-terangan mengkritik tingkah polah para ahli Taurat dan orang Farisi di masa itu. Ia berkata kepada orang banyak dan para murid,

“Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya.” (Matius 23:1-3).

Dalam bahasa sederhana, Yesus menganggap para ahli Taurat dan orang Farisi sebagai kaum yang ‘jarkoni’, iso ngajar ora iso nglakoni (bisa mengajar tapi tidak bisa melakukan).

Kuping siapa yang tidak panas dengan perkataan Yesus tersebut?

Belum lagi saat Yesus marah di bait Allah. Ia mengusir para pedagang hewan dan penukar uang di area tersebut. Para pedagang tersebut menawarkan hewan-hewan persembahan untuk ditukar dengan hewan yang dibawa oleh para jemaat. Dalam praktik tersebut, mereka menawarkan harga yang begitu tinggi, sehingga alih-alih membantu kalangan kecil, mereka dianggap ‘mencekik leher’ rakyat. Dan, para imam ternyata mendapat bagian dalam transaksi tersebut.

Wajar jika kemudian Yesus mencela praktik tersebut, mengusir para pedagang dan penukar uang, serta membuat para imam merasa dirugikan.

Kesabaran para imam dan orang Farisi pun semakin menipis. Mereka mencari cara untuk mempersalahkan Yesus, dan membawanya ke pengadilan. Mereka tidak ingin memakai tangan sendiri untuk menghukum Yesus, melainkan menggunakan tangan kekaisaran Romawi masa itu. Betapa munafik.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Yudas, murid Yesus yang juga sering bermasalah dengan uang, tiba-tiba menawarkan diri untuk menyerahkan Yesus. Mereka pun membuat rencana matang agar penangkapan Yesus berjalan dengan smooth. Yudas mendapat 30 uang perak atas deal tersebut.

Singkat cerita, Yesus pun ditangkap di taman Getsemani, selepas menaikkan doa di taman indah tersebut. Pada gilirannya, Yesus diarak ke pengadilan, dan akhirnya dijatuhi hukuman mati di kayu salib.

Di sisi lain, Yudas yang tidak mengira Yesus akan diperlakukan sedemikian kejam, menyesal dan memilih untuk mengembalikan uang yang diterimanya. Akhirnya ia mengakhiri hidup dengan cara gantung diri.

Alih-alih memasukkan uang tersebut sebagai persembahan di bait suci, para imam menggunakan uang tanah itu untuk membeli sebidang tanah yang disebut hakal-dama (tanah darah). Para imam menganggap uang itu adalah uang yang ‘berdarah’ karena mengakibatkan Yesus mati di kayu salib.

Dari kisah tersebut, kita dapat melihat betapa akutnya kemunafikan para imam. Mereka tidak merasa berdosa ketika memberikan uang tersebut kepada Yudas, sebagai upah untuk menyerahkan Yesus. Namun, setelah Yudas mati bunuh diri, dan Yesus disalib, mereka merasa uang tersebut tidak layak untuk dimasukkan ke kotak persembahan bait suci, karena telah mengakibatkan kematian berdarah-darah.


Layaknya virus, kemunafikan cenderung cepat menyebar dan membuat orang lain ikut-ikutan munafik.

Pertunjukan para politisi di Senayan, misalnya. Mereka begitu ramai beradu argumen dan saling membantah satu sama lain, seakan merasa diri sebagai yang paling benar. Namun, pada akhirnya mata publik tercerahkan saat politisi PDI Perjuangan, Bambang Pacul, mengatakan bahwa sebenarnya yang menjadi penentu arah kebijakan adalah sabda dari sang ketua umum.

Maka, berbagai masalah mulai dari pembahasan Undang-Undang yang kontroversial, sengkarut komisi pemberantasan korupsi, sampai penolakan Piala Dunia U-20 sejatinya tergantung dari kebijakan para penguasa (ketua umum) di negeri ini.

Dalam wawancara dengan Najwa Shihab pun kita dapat melihat (atau memaklumi) ketidakberdayaan Ganjar Pranowo, seorang kepala daerah, yang notabene adalah petugas partai, cum bawahan (secara struktural) dari Presiden Joko Widodo, di hadapan titah sang ketua umum. Alih-alih berkomunikasi dengan Presiden, yang merupakan atasan strukturalnya, Ganjar memilih untuk ikut pada suara partai, yang menolak kehadiran timnas sepakbola Israel pada Piala Dunia U-20 yang rencananya dilaksanakan di Indonesia.

Maka, menjelang pemilu 2024, kita akan disodori berbagai pilihan calon presiden, calon kepala daerah, maupun calon wakil rakyat. Calon-calon tersebut akan menawarkan berbagai program dan janji manis bagi masyarakat. Dan, seperti yang sudah disampaikan di atas, kita akan kesulitan untuk mendapat calon yang tidak munafik. Tidak munafik dalam arti tetap melaksanakan janji dan programnya, meski berbeda dengan titah sang ketua umum. Tapi ya, apa ada calon yang seperti itu?

Tak heran, seperti pemilu-pemilu sebelumnya, jurus mengucurkan ‘uang kaget’ bagi para pemilih masih akan sangat diandalkan oleh para calon. Di sisi lain, sikap skeptis di antara kalangan idealis juga makin menyeruak. Beberapa teman saya sudah memutuskan untuk golput. Dan bahkan ada yang sudah memilih untuk golput selama beberapa pemilu terakhir.


Sebagai gereja, tantangan untuk terhindar dari kemunafikan pun cukup berat. Saya pribadi melihat bagaimana para politisi dan calon kepala daerah berlomba datang ke gereja-gereja untuk menjanjikan berbagai penyediaan sarana prasarana, atau perbaikan di sana-sini, andai gereja mau mengarahkan jemaatnya untuk memilih mereka.

Di tingkat nasional, kita juga pernah mendengar berita tentang aras nasional yang secara terang-terangan mengarahkan dukungannya pada capres tertentu. Bahkan, saat itu sudah disiapkan acara syukuran atas kemenangan capres tersebut. Eh lha kok syukurannya tidak jadi, karena ternyata lembaga survey yang memenangkan perhitungan suara capres tersebut adalah lembaga yang abal-abal.

Saya rasa, pemilu mendatang juga tidak akan banyak berubah. Akan ada tawaran dan deal di sana-sini. Jika calon yang didukung menang, tak heran gereja tersebut akan mendapat kucuran dana ‘ucapan syukur’ atau difasilitasi untuk mengadakan acara-acara tertentu, bekerjasama dengan pemerintah setempat.

Betapa virus munafik sudah menjalar begitu rupa, sampai-sampai kotbah kepada jemaat pun bisa dibantah begitu rupa oleh tindak tanduk dari si pengkotbah itu sendiri.

Dan kalau pengorbanan Yesus di kayu salib saja belum bisa menyembuhkan orang yang terjangkit virus ini, entah harus dengan cara bagaimana lagi gereja disadarkan!

Ah, jangan-jangan saya pun termasuk orang yang perlu disembuhkan!

Selamat memperingati Jumat Agung dan merayakan Paskah!

Exit mobile version