Site icon ghibahin.id

Trauma itu Ibarat Selamat dari Kecelakaan tapi Cacat Seumur Hidup, Benarkah?

Siapa sih yang tidak tahu kata trauma, mungkin setiap orang sudah pernah mendengar. Namun, tidak semua orang mengerti dengan arti trauma yang sebenarnya. 

Setiap orang memiliki traumanya sendiri. Namun, kadar trauma yang dimiliki setiap orang itu berbeda-beda berdasarkan bagaimana ia melewati setiap kejadian atau pengalaman tidak menyenangkan, buruk atau menyakitkan. Karena setiap kejadian atau pengalaman buruk yang dilewati, dapat memicu trauma di dalamnya, terlebih jika sampai mengancam nyawa.

Salah satu unggahan akun ra @sudahmati_ di Twitter mengatakan bahwa “Trauma itu ibarat selamat dari kecelakaan, tapi cacat seumur hidup.”

twitter : @sudahmati

Hmm, apakah benar seperti itu? Atau jangan-jangan hanya “katanya” saja? Tanpa berlama-lama, yuk kita bahas pengertian trauma dari sisi psikologis.

Trauma merupakan kondisi yang terjadi sebagai akibat dari kejadian atau pengalaman yang menyakitkan. Jika trauma tersebut menimpa seseorang, maka berdampak terhadap fisik maupun mental. 

Kejadian atau pengalaman buruk itu, dapat membuat orang yang mengalaminya merasa tidak aman dan tidak berdaya dalam menghadapi dunia yang penuh bahaya.

Kondisi Seseorang yang Memiliki Trauma

Saat mengalami atau memiliki trauma, seseorang akan tersiksa dengan emosi, ingatan, dan kecemasan pada  kejadian traumatis hingga mengganggu kehidupan sehari-hari. Bahkan, orang tersebut bisa menjadi orang yang tidak dapat percaya lagi sama orang lain (trust issue). 

Sebenarnya, terdapat banyak kejadian yang dapat menyebabkan trauma, misal sesuatu yang mengancam nyawa. Namun, situasi yang membuat kita kewalahan terhadap perasaan tertentu (overwhelmed) atau merasa terpinggirkan juga dapat menyebabkan trauma.

Perasaan trauma tidak dapat diukur dari kejadian yang dialami. Namun dibedakan dari bagaimana respon seseorang dalam menanggapi kejadian traumatis. Artinya, 2 orang yang berbeda dapat saja mengalami kejadian yang sama, tetapi hanya salah satu saja yang merasa atau memiliki trauma. Kondisi kesehatan fisik dan mental, dukungan dari orang terdekat, dan kemampuan diri sendiri dalam menghadapi situasi tersebut dapat mempengaruhi respon atau tanggapan seseorang terhadap kejadian traumatis. 

Kejadian Traumatis

Contoh kejadian traumatis yang mengancam keselamatan fisik seseorang antara lain: kecelakaan kendaraan bermotor, bencana alam (misal tsunami atau gempa bumi), pengeboman (seperti kejadian di Starbucks Thamrin beberapa waktu yang lalu), dan konflik bersenjata (contohnya di Aceh).

Sedangkan contoh kejadian traumatis yang merenggut harga diri seseorang misalnya: pemerkosaan atau pelecehan seksual, relawan atau petugas polisi yang sering terpapar melihat korban bencana alam. Seseorang yang sering mendengar cerita dari orang lain yang mengalami kekerasan seksual misalnya juga  bisa mengalami trauma. 

Lalu, bagaimana dengan orang yang sudah mengalami trauma? Apakah artinya akan cacat seumur hidup?

Jadi, berdasarkan pengetahuan yang saya miliki dari sisi psikologis, trauma itu tidak dapat sembuh secara total. Namun, trauma dapat diatasi dengan baik, jika tahu cara mengatasinya agar tidak ke-trigger  kejadian traumatis lagi. Dengan meminta bantuan profesional (psikolog/psikiater) untuk menyembuhkan trauma, maka profesional tersebut akan membantu untuk dapat menghadapi trauma saja. Namun, ketika kejadian traumatis terulang lagi, seseorang dapat mengatasinya dengan baik tanpa bantuan profesional lagi. 

Mengapa profesional tidak menyembuhkan traumanya? Bukannya menyembuhkan itu telah menjadi tugas mereka?

Profesional bukan tidak bisa menyembuhkan trauma pada klien. Namun, trauma itu tidak dapat sembuh secara total, seperti ketika kita  mengalami sakit fisik (batuk, pusing, dan sebagainya). Kita dapat sakit lagi dengan jenis penyakit yang sama seperti sebelumnya. Misalnya, jika kita banyak makan gorengan, kurang istirahat, dan sebagainya. Begitu juga dengan trauma, sewaktu-waktu dapat muncul lagi jika terdapat pemicunya. 

Cara mengatasi trauma, dapat dilakukan dengan mencari tahu hal apa yang dapat membuat trauma, kemudian cari tahu juga emosi atau perasaan apa yang timbul ketika kejadian traumatis terulang lagi, kemudian diregulasi proses emosi atau perasaan yang timbul, dan sebisa mungkin menghindari hal yang dapat men-trigger trauma tersebut.

Bagaimana kalau tidak dapat dihindari?

Jika tidak dapat dihindari, satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah dengan menghadapinya, melawan dan menghilangkan emosi atau perasaan negatif yang timbul. Memang susah, tetapi bukan berarti tidak dapat dilakukan. 

Karena jika kita sendiri tidak dapat menghadapinya, lalu siapa lagi yang dapat menolong kita?  Bagaimanapun kita menghindari segala sesuatu yang berkaitan dengan kejadian traumatis, suatu saat bisa bertemu lagi. Karena setiap hari kita akan bertemu dengan orang yang berbeda maupun sama dan dengan kejadian yang berbeda atau sama di setiap harinya. 

Trauma dapat sembuh. Walau tidak dapat sembuh secara total asal  berani keluar dari zona nyaman dan berani melawan emosi atau perasaan negatif akan trauma. Jika tidak maka trauma itu akan semakin parah.

Sakit sebagai Pembelajaran 

Tidak semua rasa sakit itu buruk, ada rasa sakit yang dapat membangun, ada rasa sakit yang dapat memperburuk. Semua itu tergantung dari bagaimana tanggapan kita terhadap rasa sakit. Sebenarnya, rasa sakit itu dapat mengajarkan kita banyak hal, terutama dalam hal pembentukan diri  agar dapat menjadi pribadi dengan versi terbaik dari versi sebelumnya. Asalkan kita dapat menerima rasa sakit dan mengubah rasa sakit menjadi suatu pembelajaran hidup.

Kita tidak dapat mengubah orang lain sesuai dengan apa yang kita inginkan, kecuali mengubah diri kita sendiri. Perlakuan, sikap, dan sifat orang lain terhadap kita adalah di luar kendali kita. 

Respon atau tanggapan kita atas perlakuan yang dilakukan oleh orang lain adalah sesuatu yang dapat kita kendalikan. 

Kendalikan apa yang dapat kita kendalikan, abaikan apa yang tidak dapat  dikendalikan. Jangan membuang waktu berharga kita dengan terus fokus pada apa yang tidak dapat dikendalikan.

Menurut saya, rasa sakit itu ibarat obat pahit yang harus diminum bagi orang yang sedang sakit. Jika orang yang sedang sakit, tidak minum obat pahitnya, maka orang yang sedang sakit tidak dapat sembuh dari rasa sakit yang dialaminya. Jadi, hubungan sakit dengan obat pahit adalah kita harus dapat minum obat pahitnya (menerima rasa sakitnya), agar sakitnya bisa sembuh (rasa sakitnya hilang). 

Kesembuhan juga tidak dapat secara instan. Tetapi membutuhkan proses panjang. Proses menuju sembuh juga berbeda-beda, ada yang beberapa hari, minggu, bulan, bahkan bertahun-tahun. Semua itu merupakan hal yang wajar, tidak ada yang aneh. 

Jangan pernah menyerah dan membandingkan proses kita dengan orang lain. Karena hal tersebut dapat menghambat bahkan memperburuk proses menuju kesembuhan. Percaya pada proses dan hasil, karena proses tidak pernah mengkhianati hasil. 

Segala sesuatu di dunia ini, tidak ada hasil yang bisa didapat secara instan, bahkan mie instan juga membutuhkan proses agar menjadi mie instan yang dapat dimakan bukan?

Tidak ada proses, tidak ada hasil. Jadi, hal yang perlu kita lakukan adalah cukup berproses dan menikmati proses penyembuhan trauma kita. 

Jika merasa butuh bantuan profesional (psikolog/psikiater), segera datang ke psikolog/psikiater.  Karena mereka dapat membantu mengobati trauma kita. 

Pesan saya untuk teman-teman di luar sana yang sedang berjuang menghadapi atau melepaskan trauma: semangat, jangan menyerah, serta tidak lupa untuk mengapresiasi diri sendiri, karena support system terbaik adalah diri sendiri. Memiliki trauma memang merupakan hal yang berat bagi orang yang memilikinya. Namun, bukan berarti menjadikan trauma sebagai alasan untuk menyerah. 

Kita tidak dapat menjadi versi terbaik dari diri kita yang sebelumnya, jika  tidak pernah merasakan sakit.

Semangat!

Jocelyn Ivana, mahasiswi psikologi dengan kepala penuh ilmu psikologi.

[red/rien]

Exit mobile version