Site icon ghibahin.id

Perspektif Masyarakat Mengenai Fenomena Childfree

ghibahin

ghibahin

SoHib tahu nggak? Childfree itu sebenernya nggak sama lho dengan childless. Childfree bisa dikatakan ketika mereka yang mampu secara finansial dan biologis, orang tua yang memilih untuk bebas anak memilih untuk tidak memiliki anak. Sementara childless biasanya digunakan untuk menggambarkan mereka yang ingin memiliki anak tetapi tidak mampu karena alasan biologis tertentu (Tessarolo, 2006).

Seperti yang kita ketahui,  trend bebas anak saat ini sedang berkembang di Indonesia. Masyarakat umum mulai marak membahas sejumlah kelebihan, kekurangan, dan hak masyarakat untuk memilih apakah akan memiliki anak atau tidak. Kenapa sih orang tetep nikah kalau memang dia berujung nggak mau punya anak?

Berikut ini adalah beberapa alasan dan pandangan masyarakat menyoal pilihan childfree. 

#1 Alasan Pasangan Memilih Childfree

Maraknya fenomena bebas anak di lingkungan tersebut telah memperkuat angka kelahiran Indonesia yang menurun. Alasan utama mengapa begitu banyak pasangan memutuskan untuk tidak memiliki anak adalah tidak siap menjadi orang tua, pertimbangan ekonomi, pertimbangan lingkungan, dan bahkan pertimbangan fisik.

Penjelasan pertama berkaitan dengan masalah kesehatan atau ketidaknyamanan yang diwariskan. Menurut beberapa pasangan, tanda paling signifikan bahwa seseorang akan menjadi orang tua adalah kondisi medis. Jika pasangan itu percaya bahwa mereka secara fisik tidak dapat memiliki anak, mereka dengan cepat memutuskan untuk tidak memiliki anak bahkan tanpa perlu mencoba.

Penyebab kedua bersifat psikologi. Beberapa subjek mengaku tidak siap dan memiliki masalah kesehatan mental. Banyak orang memutuskan untuk tidak memulai sebuah keluarga karena hubungan masa kecil mereka yang tidak bahagia dengan orang tua mereka. Mereka sadar akan ketidakmampuan mental mereka dan memutuskan untuk tidak memiliki anak karena takut suatu hari mereka akan mewariskan “hubungan beracun” orangtua-anak kepada keturunan mereka.

Penyebab selanjutnya berasal dari faktor ekonomi. Beberapa pasangan mengaku memilih untuk tidak memiliki anak karena takut kehabisan uang dan tidak ingin memiliki kehidupan yang sulit.

#2 Keputusan Masyarakat Mengenai Childfree

Menurut beberapa penelitian, para peneliti membaca beberapa literatur mengenai topik childfree.  Keputusan untuk memilih tidak memiliki anak dimotivasi karena berbagai alasan, termasuk pribadi, keuangan, latar belakang keluarga, kepedulian terhadap perkembangan anak, masalah lingkungan, dan alasan “naluri” emosional sang ibu. 

Pilihan ini cukup individual. Ini juga  memungkinkan timbulnya sejumlah efek, seperti adanya reputasi buruk di masyarakat dan bahkan di dalam keluarga. Juga, karena stigma ini, pasangan yang telah membuat keputusan untuk melupakan memiliki anak mungkin menghadapi tekanan sosial.

Jika tidak akan memiliki anak, mengapa menikah? 

Hal ini tidak terlepas dari perspektif budaya kita. Setelah mencapai usia dewasa, sudah menjadi kebiasaan di masyarakat untuk bertanya kepada pengantin baru apakah mereka sudah memiliki anak. Pilihan ini dibuat karena sejumlah alasan, seperti yang dinyatakan sebelumnya.

Salah satu penjelasan yang menarik berkaitan dengan kesulitan atau masalah lingkungan. Namun, seiring perkembangannya, generativitas tidak hanya terbatas pada ranah pernikahan dan menjadi orang tua. Akibatnya, orang-orang yang memilih untuk hidup sendiri atau tanpa anak-anak biasanya mengekspresikan generativitas mereka melalui berbagai pekerjaan, seperti menjadi sukarelawan, menjadi aktivis lingkungan, bekerja di dunia kerja, atau berpartisipasi dalam kegiatan sosial, politik, atau agama.

Pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak. Perasaan sedih dan kecewa tak terelakkan di awal pernikahan bagi beberapa yang merasakan tekanan kuat dari keluarga besar mereka untuk memiliki anak. 

Kemudian, beberapa pasangan memutuskan untuk mengutamakan pekerjaan mereka, yang menjadikan mereka berpaling satu sama lain. Hubungan beberapa pasangan dinilai cukup tidak memuaskan dengan kondisi ini, yang menunjukkan bahwa tidak ada keintiman emosional dengan pasangannya dan pernikahan mereka cenderung kurang harmonis.

Meskipun keadaannya kurang ideal, pasangan itu masih percaya bahwa pernikahan mereka layak untuk dilestarikan. Kemampuan pasangan untuk hidup damai, memenuhi semua kebutuhan dasar mereka, dan menjaga hubungan positif dengan keluarga mereka adalah hal yang paling mereka hargai tentang pernikahan mereka saat ini. 

Juga, mereka memandang tidak adanya anak sebagai kesempatan untuk berkonsentrasi pada kebahagiaan pasangan mereka. Hal ini diungkapkan oleh banyaknya kesempatan untuk melakukan hal-hal bersama dengan pasangan sehingga berdampak pada semakin dekatnya hubungan dengan pasangan. Pasangan ini merasa diuntungkan secara finansial dengan tidak perlu khawatir membesarkan anak-anak karena mereka menghemat uang untuk biaya pengasuhan anak dan dapat menggunakannya untuk berinvestasi dan melakukan hal-hal lain.

Tidak semua orang tua ingin memanfaatkan “hadiah” memiliki anak. Beberapa orang tua percaya bahwa memiliki anak itu sulit karena berbagai alasan, termasuk hilangnya kendali atas kehidupan dan masa depan seseorang, kebutuhan akan dukungan keuangan, beban tanggung jawab tambahan, efek pada keharmonisan perkawinan, kepuasan tujuan lain, dan akhirnya kewajiban moral dan sosial. 

Kemanusiaan adalah untuk orang lain. Hasil ini menunjukkan bahwa keputusan hidup yang kompleks sering dipengaruhi oleh berbagai motivasi, termasuk kurangnya keinginan untuk anak, keadaan unik dan aspirasi karir, masalah fisik dan kesehatan, dan keyakinan individu tentang tidak menambah populasi.

Martina Noviandra, tinggal di Palembang.

[red/rien]

Exit mobile version