Perempuan-perempuan di Kepala Istriku

“Aku sudah meninggalkannya di seberang sungai. Mengapa kau masih membawanya kemari?” Mungkin kalimat itu yang akan kukatakan pada istriku seandainya dia masih mengungkit-ungkit pertemuanku dengan Wury siang tadi.

Sayangnya, dia tak pernah bertanya. Hanya menatapku curiga dengan mata coklatnya yang bulat itu. Aku jadi terpaksa menahan diri dan tak punya kesempatan untuk mengolok-oloknya dengan kalimat favoritku itu.

Kalimat itu kudapatkan dari sebuah cerita tentang dua orang biksu. Biksu yang pertama membantu perempuan muda yang ketakutan menyeberang sungai dengan cara menggendongnya, lalu menurunkannya di seberang. 

Biksu kedua, rupanya tidak setuju dengan cara itu dan mulai mempersoalkan mengenai ketidakpantasan seorang biksu menggendong seorang perempuan muda. 

Kalimat itu kemudian diucapkan oleh biksu pertama kepada biksu kedua yang tak berhenti mengungkit-ungkit kejadian itu.  Aku lupa dimana membaca cerita itu,  mungkin dari buku karya Anthony de Mello koleksi istriku.

Kecemasan biksu kedua dalam cerita itu hampir sama seperti istriku. Dia masih mempermasalahkan hal yang sama, sejak aku bertemu Wury, mantanku, pada reuni SMA enam bulan lalu. 

Terlebih siang tadi, ketika ada salah seorang teman SMA meninggal dunia, dan Wury mengajakku melayat bersamanya. Tentu saja istriku tidak mau ikut. Alasannya, dia tak kenal teman-temanku. Lagipula sudah ada Wury yang menemani. Karena tak ingin berdebat dengannya di tengah suasana duka, aku pun tetap pergi bersama Wury.  Ketika tiba di lokasi, sudah banyak teman SMA yang sudah berkumpul di sana sehingga aku memisahkan diri dari Wury. Istriku mungkin tak tahu, sehingga sepulangku dari dari acara itu, dia menjadi irit bicara denganku.

Bukankah wajar bila dua orang yang dulu pernah dekat dan lama tidak berjumpa bisa kembali akrab dalam sekejap? Wury seperti itu padaku. Setelah bertemu dalam reuni enam bulan lalu, hampir setiap hari dia menghubungiku. Ada saja yang dibicarakannya denganku. Mungkin baginya aku masih orang yang sama seperti pada masa SMA.

Istriku cemberut setiap kali teleponku berdering dan suara Wury terdengar di seberang sana. Untuk mengurangi kecurigaan istriku, aku selalu dengan sengaja memasang speaker sehingga istriku bisa ikut mendengarkan pembicaraanku dengan Wury. Lagipula, tak ada yang perlu dirahasiakan. 

Wurry sedang membangun rumah. Dia meminta pendapatku sebagai seorang arsitek tentang proses pembangunan rumahnya yang dirasanya berjalan sangat lambat sehingga biayanya membengkak. Aku hanya memberikan saran sebagai seorang profesional yang memiliki keahlian dalam bidang konstruksi. Tentu saja istriku boleh ikut mendengarkan. Namun karena dia tak terlalu paham dengan materi pembicaraan tentang pekerjaan konstruksi, biasanya diam-diam dia memilih pergi, meninggalkanku bicara berdua dengan Wury.

Namun sesudahnya, istriku akan cemberut dan bersungut-sungut, “kamu kok bisa-bisanya akrab dengan mantan. Aku tidak seperti kamu ketika bertemu Wanto.” 

Wanto adalah mantan pacar istriku ketika SMA dulu. Istriku memutuskannya ketika Wanto ketahuan selingkuh. Tidak tanggung-tanggung, Wanto menggandeng Jeny, sahabat istriku, di depan matanya. Pantas saja hingga sekarang istriku masih menyimpan dendam pada mantannya itu.

Ketika acara reuni di sekolahnya akhir tahun lalu, istriku sama sekali tak berbicara dengan Wanto. Aku melihatnya dari kejauhan ketika dia juga sengaja menghindari Jeny, sahabatnya sendiri. 

Mengetahui istriku gusar melihatku masih berteman dengan mantan, aku hanya tertawa saja. Sebuah reaksi yang salah. Sejak saat itu, istriku terlihat tidak bahagia. Kau tahu bukan, bila perempuan tidak bahagia di rumahnya, maka seisi rumah bisa terkena imbasnya?

Rumah pun menjadi mirip neraka. Tak ada lagi sarapan hangat yang tersedia di meja ketika aku bangun kesiangan. Hal itu sangat mengganggu bila ada jadwal meeting pagi yang membuatku tak punya waktu untuk mengisi perut terlebih dahulu. Padahal aku paling tidak bisa berpikir bila perutku kosong. 

Pakaian kerja yang disiapkan istriku ketika sedang marah juga berbeda dengan seleraku. Bila biasanya dia menyiapkan kemeja masa kini yang telah disetrikanya dengan rapi dan wangi, maka ketika amarahnya tak terkendali,  dia  hanya menyiapkan kemeja batik seadanya, itu pun tidak disetrika. Aku jadi terlihat seperti bapak-bapak yang kuyu dan tidak bermutu. Padahal aku paling suka tampil rapi dan trendi.

Belum lagi air hangat yang biasanya selalu tersedia setiap aku pulang kerja selepas senja, digantinya dengan air dingin yang membuatku menggigil dan enggan berlama-lama. Padahal mandi berendam sambil membaca buku adalah hobiku untuk melepas kepenatan sepulang kerja. Terasa seperti neraka, bukan? Segalanya menjadi berbeda.

“Kenapa kau tidak menikahi Wury saja waktu itu?”

 Istriku pernah bertanya, ketika Wury mengakhiri sesi konsultasinya di telepon. Bibirnya maju beberapa mili. Telapak tangannya bersilangan menggenggam siku.

“Karena aku mencintaimu.”

 Aku memasang tampang lucu untuk menggoda istriku. Biasanya dia langsung tertawa melihat mimik mukaku yang sengaja kusetel memelas, lalu memukul pelan bahuku dengan wajah tersipu-sipu setiap kali aku mengatakan kalimat itu.

“Kau juga mencintai Wury, dulu.” Reaksinya kali ini tak seperti yang kuharapkan. Dia malah semakin marah. 

“Iya, dulu. Sekarang enggak lagi.”

“Bohong. Kalau kalian asyik ngobrol, aku dicuekin.”

“Kan kamu sendiri yang nggak mau nimbrung? Padahal sudah aku speaker-in.”

“Ngapain aku ngobrol sama mantanmu?”

“Aku kan juga ngobrol sama Wanto waktu reuni sekolahmu du…. “, sebelum aku menyelesaikan kalimatku, terdengar hempasan keras daun pintu, menandai kepergian istriku. 

Istriku selalu pergi setiap kali konflik akan dimulai. Bila tidak untuk menangis sendiri di teras belakang, biasanya dia pergi mandi. Istriku memang unik. Aku pernah bertanya, mengapa dia selalu mandi ketika sedang marah. Jawabnya, dia perlu mendinginkan kepalanya yang panas supaya bentuknya tetap indah.

Bicara tentang kepala, istriku memiliki bentuk kepala yang bagus, bulat telur yang sempurna. Dia menyukai bentuk kepalanya, sehingga selalu berusaha menjaganya. Istriku memang berbeda dari perempuan-perempuan lainnya, yang lebih mengkhawatirkan berat badan atau kerutan di kulit mereka. 

Meskipun unik, istriku sebenarnya perasa. Dia juga perempuan sederhana. Mudah sekali membuatnya senang. Bila dia marah, terkadang cukup dengan dibawakan martabak sepulang kerja, dia akan kembali ceria.

Hanya saja, sejak ikut yoga dan menyadari bahwa di antara teman-temannya, hanya dia yang memiliki bentuk badan kurang ideal untuk melipat-lipat badan dalam berbagai pose yoga, dia mulai melarangku membawakannya martabak. 

Walaupun begitu dia tak pernah menolak keripik kentang yang kubeli di ujung jalan. Jadi aku mengganti martabak dengan keripik kentang yang apabila dihitung dari jumlah kalorinya, sebenarnya masih sama tingginya.

Istriku mudah marah, namun dia juga perempuan rasional. Meskipun dia tahu bahwa Wury adalah satu-satunya perempuan yang hatinya pernah kusinggahi selain dirinya, namun karena kisahku dengan Wury terjadi jauh sebelum aku mengenalnya, dia menerimanya sebagai fakta yang tak bisa diubah lagi. Sambil mengomel, tentu saja, tapi hanya di depanku. Bila ada Wury, dia selalu menampilkan dirinya sebagai seorang istri yang sabar dan penuh pengertian.

Itu juga hal yang aku sukai dari istriku. Dia bisa berpikir logis, tak mau pusing memikirkan masalah yang bukan urusannya. Tak pernah ikut bergunjing dengan tetangga. 

Rumah terasa sepi. Suara air yang semula terdengar dari kamar mandi telah berhenti. Mungkin istriku telah selesai mendinginkan kepalanya. 

Benar saja, beberapa waktu kemudian, istriku keluar dari kamar mandi, dengan rambut basah. Dia membiarkan saja air yang menetes-netes dari ujung rambutnya. Istriku senang bila rambutnya basah, sehingga dia tak pernah mengeringkannya usai keramas.

Dengan bibir mengerucut, dia menjatuhkan tubuhnya di sebelahku tanpa mengatakan sepatah kata.

“Kamu tidak marah karena tadi siang aku melayat bersama Wury, kan?” tanyaku, sekadar memecah kesunyian yang membuat suasana menjadi canggung.

Istriku menatapku tajam. Kepalanya mungkin sudah dingin, namun bara di matanya masih panas membakar.

“Bukan Wury yang jadi masalah.”

“Lantas?”

“Mira. Dita. Siska.”

“Hah?” Aku terkejut setengah mati mendengar istriku tiba-tiba menyebutkan nama-nama perempuan itu. Aku membeku saja, tanpa tahu harus bereaksi seperti apa.

“Mereka sering mengirimimu pesan, kan? Kenapa kau tidak menunjukkan pesannya juga padaku supaya aku tidak curiga, sama seperti caramu berbicara dengan menyalakan speaker bila Wury telepon?”

Aku sungguh tak habis pikir dengan kecerdasan istriku. Entah bagaimana caranya menyembunyikan perempuan-perempuan itu di kepalanya selama ini. Terlebih lagi, aku sungguh tak paham bagaimana dia bisa menebak dengan tepat semua nama perempuan yang di memori telepon genggamku telah kuubah menjadi Moro, Ditto dan Siswanto?

***

Margaretha Lina Prabawanti, perempuan dari Salatiga dengan isi kepala yang penuh berisi kata.

[red/TC]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *