Apa Yang Akan Kau Ceritakan Tentang Kebumen?

Dalam perjalanan menuju Jalan Soekarno-Hatta kau hanya berbicara satu kalimat. Katamu, kau ingin memperkenalkan kota ini lewat cerita pendekmu. Saat itu aku tak menyahut. Bukan karena aku malas menanggapimu, tetapi menambah pembicaraan di perjalanan hanya akan mengganggu konsentrasiku mengemudi. Terlebih kita sama-sama memakai helm dan laju kendaraan lalu-lalang menambah bising di telinga.

Ibumu yang diambil Tuhan sejak kau balita, dan ayahmu yang sibuk bekerja di luar kota, memaksanya menitipkanmu pada kedua orangtuaku. Lalu begitu kau tumbuh, kau menjadi penyendiri. Entah mengapa. Apakah memang dari keturunan orangtuamu ataukah pengaruh cara ibuku merawatmu? Entahlah.

Kau sering menolak ajakanku pergi berlibur, bahkan untuk sekadar cari angin dengan mengunjungi alun-alun. Padahal aku hanya ingin kau keluar rumah dan agar kau tahu bagaimana indahnya lampu jalan di kota pada malam hari. Namun, kau hanya menyukai dunia kecilmu di dalam rumah. Bahkan teman sebayamu di sekolah pun kau tolak saat mengajakmu pergi. Maka, saat tiba-tiba kau mengajakku jalan ke kota, itu membuatku bertanya-tanya.

“Mengapa kau tiba-tiba mengajakku ke sini?” tanyaku setelah duduk di bangku panjang menghadap matahari yang semakin ke barat.

“Aku sedang libur menulis,” jawabmu.

Aku tak tahu mengapa kau mengatakan dan meniatkan hal tersebut. Yang kutahu hari-harimu selalu kau isi dengan menulis, terutama cerpen. Bahkan tak pernah kutemui dalam sehari kau tak menyentuh laptopmu. Aku sering memergokimu berdiam diri di kamar. Begitu aku masuk dan duduk di sebelahmu, kau langsung mengusirku. Jangan ganggu! Aku sedang menulis. Itu katamu.

Tentang kau yang libur menulis, mungkin karena kedatangan ayahmu siang ini. Aku yang sedang tidak berada di rumah, mendapat pesan bahwa ayahmu pulang. Tanpa pikir panjang aku langsung pulang menemui ayahmu, menanyakan keadaannya, lalu berbincang sedikit. Saat itu kau duduk di sana dengan bermuka masam dan matamu memandang ke luar, tajam. Beberapa menit kemudian kau langsung mengajakku pergi.

“Lho, bukannya tadi kau ingin menulis tentang Kebumen?”

“Ya, mungkin besok.”

“Memangnya hal menarik apa yang ingin kau ceritakan tentang Kebumen? Mengapa tak menulis tentang percintaan seperti yang sudah-sudah?”

“Bukankah kau tahu sendiri tema itu sering ditolak, Joe.”

Aku mengangguk. Tetapi apa iya karena temanya percintaan jadi ditolak? Kupikir bukan.  Karena tema percintaan cocok buatmu, terlebih kau pernah menjalaninya di sekolah. Walaupun gaya pacaranmu hanya lewat pesan singkat dan pergi juga jarang.

“Bagaimana kalau bukan karena tema? Bagaimana karena kau tak punya nama? Mungkin kau perlu mem-branding namamu, Nara,” ujarku menduga-duga.

Kau diam sesaat, kemudian kau menjawab, “Caranya bagaimana? Aku tak tahu menahu tentang branding nama. Apalah arti sebuah nama jika karya kita tak menarik? Palingan jadi sampah, bukan?”

“Kau lihat penulis yang sudah masuk media massa. Mereka punya nama, mereka dikenal. Dengan nama, mereka gampang masuk koran, bukan? Kalau kau tidak tahu tentang branding, mengapa kau ingin memperkenalkan kota ini? Padahal itu sama saja mem-branding nama.”

“Kota ini sudah dibuat bagus serupa Malioboro Jogja. Tetapi tempat ini kotor! Maaf, maksudku kau lihat bangku ini, penuh coretan oleh oknum tak bertanggung jawab. Lalu, penulis konten memanfaatkan kekotoran ini sebagai ladang dengan tulisannya. Bukankah lebih baik menceritakan keindahannya?” tunjukmu pada sandaran bangku.

“Dia kan butuh uang, dia juga ingin suaranya diterima masyarakat. Apalagi kalau rakyat kecil yang bersuara, apa akan didengar? Rakyat kecil juga ingin didengar walaupun dia tak punya nama.”

“Apa karena uang mereka lantas bisa sewenang-wenang?”

“Ya ….” Aku berpikir, lantas melanjutkan, “Tidak juga. tetapi kau juga menulis karena ingin dapat uang, kan?”

“Hei, mengapa jadi mempermasalahkan uang? Aku datang ke sini bukan untuk membahas uang!”

Kali ini aku yang diam, mungkin lebih baik aku tak memancing emosimu. Tentang cerpenmu yang tak kunjung dimuat, kupikir karena kau tak pernah belajar dari seorang mentor. Kau selama ini selalu menyuruhku membaca cerpenmu sebelum kau mengirimkannya ke media. Aku merasa karyamu sudah bagus, tentu, tetapi tentang penolakan yang terus saja datang, tentu saja para redaktur itu yang tahu. Bagaimanapun, aku tentu tidak lebih tahu dari mereka tentang kriteria tulisan yang bagus, bukan?

Aku pernah menganjurkanmu untuk masuk ke kelas cerpen online yang diharuskan membayar seratus ribu, tetapi kau menolak dengan alasan tak punya uang. Padahal belajar dengan mentor itu sangat penting. Kita akan tahu letak salah dan benarnya. Ketimbang belajar sendiri yang hanya bermodal membaca dari karya penulis yang sudah dimuat.

Kau pun berbicara lagi tentang keinginanmu mengenalkan nama kota ini dari tempat ini, lalu pantainya dengan keindahan matahari terbenam. Tetapi kubantah, “Nah, lebih aneh lagi, Bagaimana kau akan menceritakan pantai. Kau sendiri sudah lama tak ke sana, tak mungkin kau masih ingat bagaimana suasananya, keadaannya.”

“Aku bisa cari tahu lewat internet.” Kau berkilah.

“Apa benar begitu? Cerpen dengan tema percintaan yang pernah kau alami sendiri saja ditolak, apalagi hanya dengan cari di internet,” bantahku lagi, membuatmu menutup mulut.

Matamu menatap tajam. Sepertinya ada rasa tak suka karena kubantah omonganmu. Ah, sepertinya aku sudah kelewatan. Jadi bagaimana caranya mencairkan suasana dengan perempuan sepertimu. Harusnya aku tahu, karena aku sudah lama mengenalmu. Sepertinya aku selalu gagal memahamimu.

“Aku sudah capek terus-terusan ditolak. Dengan datang ke tempat ini aku ingin mengenalkan tempat ini dan akan kuabadikan dengan menceritakan kota ini dengan cerpenku. Kulihat dari karya penulis-penulis lain, kebanyakan konfliknya kehidupan sosial. Kupikir itu lebih baik dan kuharap redaktur sudi menerima karyaku nanti.”

“Apa kau serius?” tanyaku tak yakin.

Kau tak menjawab. Apakah kau akan yakin membuat cerpen dengan konflik sosial dengan datangnya ke tempat ini? Karena kutahu kau tak pernah bikin cerita seperti itu, apa tak sulit? Bila kulihat dari apa yang kutangkap darimu, kau hanya duduk dan menatap ke depan. Di tempat ini hanya ada orang yang sibuk memotret dirinya sendiri. Ada yang sekadar duduk dengan jari-jarinya yang menari-nari pada ponselnya. Karyawan toko yang sibuk mengurus para pelanggan. Kendaraan mondar-mandir di sebelah utara serta tukang parkir. Apa kau bisa menulis tentang mereka? Pasti konfliknya begitu berat bagimu. Terlebih kau yang hanya mengenal rumahku.

“Apa tak sebaiknya membumbui cerita percintaan di tempat ini? Nama kota ini biar jadi latar saja,” tanyaku lagi.

“Sepertinya mustahil, tetapi kalau percintaan bisa kuceritakan lewat pantainya, pantai Pedalem misalnya. Katanya pantai itu menghadap ke barat, sangat cocok untuk melihat matahari terbenam pada sore hari. Mungkin bisa kuceritakan kesedihan pada tokohnya.”

“Bagus, bagaimana kalau cinta yang tak direstui, dan di pantai itu nanti si tokohnya berpisah.”

“Berpisah?” Kau menoleh dengan mengulang kata di akhir kalimatku. Aku mengangguk. Kau kembali memandang ke depan.

“Berpisah itu menyakitkan. Tak ada yang mau berpisah, walaupun sebuah hubungan baik-baik saja tetapi perpisahan tak akan bisa dihindari. Dan, berpisah itu tak mengenal siapa, di mana, dan kapan. Seperti sebuah keluarga yang kehilangan salah satu anggotanya karena ajal menjemput,  lalu grup musik yang kompak bisa suatu saat berpisah karena perbedaan pendapat dan dunia ini pun akan berpisah dengan penghuninya, semuanya akan berpisah. Lalu bagaimana seterusnya ….” Kau menggantungkan kalimatmu dan berlanjut mengangkat bahu.

Aku tak menyangka kau akan mengatakan panjang lebar penuh keyakinan. Kau berhasil menutup mulutku. Aku tak mengerti apa yang kau maksud. Lalu aku menarik napas dan bertanya apa maksudnya.

“Kau tahu ayahku pulang, kan? Dia yang diam-diam pulang tanpa kabar lebih dahulu, berkata bahwa rumahnya yang dikontrakkan di Jogja sudah tak berpenghuni. Penghuninya kabur tanpa membayar kontrakan. Dan dia memintaku untuk tinggal bersama di Jogja. Kita akan berpisah … kita akan berpisah ….” Suaramu terbata-bata, lalu terdiam, lama. Kemudian kau melanjutkan, “untuk itulah aku ingin memperkenalkan kota ini, walau aku bukan orang sini.” 

“Berpisah? Kota ini?” Aku bertanya lagi, “Sebenarnya apa sih yang ingin kau ceritakan tentang Kebumen?”

Tetapi kau malah menunjukku dan selanjutnya kau mengatakan tak mau meninggalkan kota ini yang penuh dengan kenangan bersamaku. Kau terus-terusan berbicara dengan suara-suara yang naik-turun dan menggantung di tengah, seperti menahan pedih yang susah kau ungkapkan, lalu melanjutkan kembali setelah kau menarik napas dalam. Begitu terus. Entah mengapa kau tak mampu menyelesaikan kalimatmu. Yang jelas, kalimat terakhir yang kutangkap, kau berkata lirih tentang rasamu yang seharusnya tak ada di antara tali persaudaraan kita.

Muhamad Subchi, suka menulis dan kadang menggambar.

[red/TC]

One thought on “Apa Yang Akan Kau Ceritakan Tentang Kebumen?

  1. Kebumen, sebuah kota kecil yang damai. Lengkap dari gunung hingga samudera semua tersedia. Juga cinta yang berakhir sia-sia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *