Site icon ghibahin.id

Lheuh Kuliah, Pat Kerja?

26 Januari 2023 merupakan hari dimana saya diwisuda bersama wisudawan/wisudawati gelombang I Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. 

Suasana riuh dan ratusan atau mungkin ribuan orang memadati pekarangan auditorium Prof Ali Hasjmy UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Sanak saudara, kerabat dan handai taulan berdatangan dari berbagai penjuru, hadir untuk mengucapkan selamat dan foto bersama dalam suasana suka cita. 

Gemerlap cahaya dari kamera fotografer, tangis haru diiringi rasa syukur dari setiap orang tua atas selesainya pendidikan anak di tingkat strata 1, penjual buket, mainan lato-lato dan aneka makanan lainnya ikut meramaikan suasana wisuda hari itu.

Seremonial wisuda selesai, saya keluar menjumpai orang tua dan foto bersama. 

Selesai foto keluarga, orang tua pamit pulang dan saya langsung menepi, mencari warung kopi terdekat untuk beristirahat. Tidak ada yang bisa diajak untuk menikmati secangkir kopi siang itu, semua sedang euforia bersama tamu undangan dan keluarga masing-masing.

Tiga hari sebelum wisuda, saya sempat berdialog dengan diri sendiri perihal apa yang harus dibanggakan dan euforia berlebihan di hari wisuda. Saya lebih memikirkan pertanyaan orang-orang lazimnya di desa-desa, “Lheuh kuliah inan pat ka kerja? (selesai kuliah di situ, kerja di mana?)”.

Bagi sebagian besar orang desa menganggap mereka yang belajar di perguruan tinggi hingga selesai, memperoleh ijazah dan harus mendapatkan pekerjaan. Sedangkan sebagian kecil orang mabuk agama melihat orang-orang yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi adalah mereka yang mengejar dunia.

Jam menunjukkan pukul 17.15 WIB, mendung hitam perlahan menghampiri, kilauan petir menghiasi langit Aceh Besar. Saya harus segera pulang sebelum terjebak hujan.

Malam itu, sekitar pukul 22.00 WIB, saya duduk di balai desa bersama beberapa orang dengan usia yang bervariasi. Bincang-bincang ringan kami lancarkan sembari menikmati pancungan kopi. Mulai pembahasan kondisi desa, sekatan dalam masyarakat, oligarki perangkat desa hingga kontestasi pemilihan umum tahun 2024.

Satu jam berlalu, pembahasan semakin alot.  Tiba-tiba seorang bapak berusia 45 tahunan mengajukan pertanyaan kepada saya. Pertanyaan diajukan sama sekali tidak ada kaitannya dengan pembahasan yang sedang dibicarakan. Bapak tersebut seperti orang yang dibisikkan makhluk halus tak berwujud dalam satu kedipan mata.

“Hai, droe neuh bunoe wisuda ya? (Kamu tadi wisuda ya?)” tanya si bapak. Sialan, saya sempat terdiam dalam waktu 10 detik karena pertanyaan yang diajukan sama sekali tidak penting dan di luar pembahasan kami. “Nyoe Pak, betoi (Iya, betul Pak),” jawab saya.

Lheuh kuliah pat kerja ? Peu jurusan droe kuliah? (Selesai kuliah kerja di mana? Jurusan apa kamu kuliah?)”. Si bapak melanjutkan.

Saat pertanyaan itu mulai disodorkan, saya mulai tidak nyaman. Pertanyaan yang sempat saya pikirkan tiga hari yang lalu, kini menjadi kenyataan. Wajah si bapak terlihat serius dengan tatapan tajam. Saya terpaksa harus memberikan jawaban yang dapat memuaskannya.

“Jurusan ilmu politik, Pak,” jawab saya.

“Oh, berarti lheh kuliah jeut ek caleg laju kali nyoe (oh, berarti selesai kuliah langsung bisa nyaleg kali ini),” si bapak memotong jawaban saya.

Hana lah pak, pubut ek caleg tanyoe? Yang ek caleg hana mesti kuliah bak ilmu politik dan yang lulusan ilmu politik hana mesti ek caleg, lon menjak lanjut lom S2 (Nggak lah pak, ngapain nyaleg kita? Yang nyaleg tidak mesti kuliah di ilmu politik dan yang lulusan ilmu politik tidak mesti harus nyaleg. Saya mau lanjut S2),” jawab saya.

Beh, kepeu sikula mayang-manyang akhe bak akhe kan payah mita kerja cit (untuk apa sekolah tinggi-tinggi karena pada akhir tujuannya cari kerja juga),” celetuk si bapak.

Celetukan si bapak membuat suasana pecah tawa.

Doktrin dan pemahaman kurang tepat yang berkembang di masyarakat, terkadang menjadi dilema bagi golongan muda yang sedang mengarungi lautan ilmu. 

Pekerjaan dan pendidikan mestinya dilihat dari kacamata yang berbeda. Pekerjaan adalah apa yang dikerjakan sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki, sedangkan pendidikan merupakan ruang belajar untuk berbenah, mengisi, mengasah dan meningkatkan kapasitas yang ada.

Menurut saya, jika hakikat belajar dimaksud untuk memperoleh ijazah dan kemudian mendapatkan pekerjaan seperti perkantoran, mungkin ini bias dalam berpikir. Pada dasarnya belajar merupakan kewajiban bagi setiap orang, apapun dan dimanapun setiap perbuatan yang dilakukan harus berlandaskan ilmu.

Dalam kitab ta’lim muta’allim disebutkan bahwa ilmu yang paling utama untuk dipelajari adalah ilmu hal (ilmu yang dibutuhkan sekarang). Namun tidak memberi batasan bagi seseorang untuk mempelajari ilmu bermanfaat lainnya setelah ilmu wajib dipelajari terpenuhi.

Pada awal-awal kitab terdapat potongan sya’ir “Ta’allam, fainnal ‘ilma zainun liahlihi ….” yang artinya “Tuntutlah ilmu, karena ilmu merupakan hiasan bagi yang memiliki ilmu ….”

Fahruddin Faiz dalam bukunya Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika menjelaskan bahwa untuk menguasai dunia tentunya dengan ilmu, jalannya adalah belajar, senjatanya adalah menulis dan kekuatannya berasal dari membaca.

Dari beberapa sumber yang membahas tentang penting ilmu, monetisasi ilmu bukan tujuan dari seorang pelajar. Namun untuk memperbaiki peradaban dan beradaptasi dengan dunia modern.

Euforia di hari wisuda tidak saya dapatkan karena saya meyakini bahwa ilmu seperti lautan luas dan saya masih berada di kedalam 1 meter. Jika pun, ilmu yang sudah dikumpulkan selama sekian tahun tidak bisa diimplementasi dengan baik, lantas apa yang perlu dibanggakan? Sejauh mana kebermanfaatan ilmu yang dimiliki untuk pribadi dan orang lain?

Sampai di tahap ini saya masih belum menemukan sudut pandang untuk membanggakan diri karena mampu menyelesaikan pendidikan Strata 1. Banyak di luar sana orang-orang yang sudah menyelam dalam lautan ilmu hingga kedalaman puluhan, ratusan bahkan ribuan kilometer, namun tetap berjalan dengan rendah hati, sopan dalam melangkah dan menebar manfaat untuk semesta. 

Setinggi apapun tingkatan pendidikan yang ditempuh, semesta tidak bertanya gelar Anda apa, judul skripsi, thesis atau nama lainnya apa, berapa jumlah halaman karya ilmiah Anda dan bagaimana isinya. Tidak, semesta tidak butuh itu.

Lembaran yang kita tulis bisa dimakan rayap, terbakar api, bahkan dibasahi air. Namun kebermanfaatan dari setiap pelajaran dan pengalaman yang kemudian dikreasikan melalui ide-ide kreatif dan solutif adalah harapan semesta.

Risky Almustana Imanullah, lulusan Sarjana Ilmu Politik UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

[red/ rien]

Exit mobile version