Ritual Perempuan Sundal

“Kamu bukan penganut aliran klenik, kan?”

Sebuah chat dari seseorang yang mengakui dirinya pengikut fanatik Yang Maha Kuasa, baru-baru ini membuatku terperenyak. Pernyataan yang mengikuti pertanyaannya sebelumnya. Mengapa aku mewajibkan diriku mandi, kapanpun waktunya, selelah apapun aku, selarut malam pun itu, apapun tujuannya. 

Dan, percakapan kami segera terhenti ketika jawabanku terkirim. 

Karena pada setiap tetesan air yang mengaliri setiap inci tubuhku, ada ritual membasuh tubuh yang sarat dosa untuk kembali murni. 

Lima atau sepuluh menit kemudian, dia mengetik. Apa dosamu dan seberapa banyak? Ada jeda kedua yang lebih lama ketika jawabanku terkirim. 

Setiap lekuk tubuhku berlumur dosa, bahkan sejak dilahirkan. Kini, makin tak terhitung saja. 

Lalu, diam yang panjang dan menyesakkan benar-benar menjadi akhir percakapan itu.  Aku tak peduli bila dia yang katanya pengikut fanatik Tuhan berniat menceramahiku, setiap orang pasti punya dosa, tak usah berlebihan. Sayangnya, dia memilih tak melanjutkan percakapan daripada menceramahi.

Biarlah. Aku tak acuh. Hatiku pun sudah mati. Tiada takut lagi dengan omongan manusia yang mana, termasuk lelaki yang kini kuhargai hanya sebagai penyumbang sperma untuk menjadikanku ada.

Katanya bersikap begitu kepada Ayah adalah dosa. Ah, peduli setan, orang-orang akan dengan mudahnya mengecam diriku sebagai pendosa. Aku tak mangkir. Namun, akankah kalian merespons yang sama bila mengalaminya.

*

Aku masih mengingat saat itu. 

Kata paling menyakitkan yang diucapkan Ayah, lelaki yang orang bilang cinta pertama anak perempuan. 

Sundal. 

Aku tak bisa lupa. Kalimat penyertanya malah terlalu sakit untuk diingat, karena dia merasa aku tidak berguna. Katanya, lebih baik dulu Ibu tak bersikeras memeliharaku dalam kandungannya. “Dari perut saja sudah keras kepala, tak terbayang bagaimana besarnya nanti.” 

Ayah begitu membenciku terlahir sebagai perempuan. Baginya, keturunannya harus lelaki. Kehadiranku hanya menumbuhkan rasa benci dan berkurangnya harga dirinya sebagai lelaki. 

Kalimat berikutnya baru kupahami ketika SMA. “Sperma yang kuat akan berbuah janin lelaki. Lelaki yang memiliki anak lelaki adalah gen terkuat di dunia.” Sial, bahkan kealamian proses pembuahan pun mau diaturnya. Dia lupa, tempat bertumbuh pembuahan para lelaki adalah tubuh, tepatnya rahim milik perempuan. 

Tak heran dia selalu menolak berdekatan. Tak mau kupeluk, tak segera menggendong saat kuulurkan tangan, dan tak ingin membuka obrolan baik-baik bagi kami berdua. Dia mengambil jarak, meski aku kecil selalu mendekat. Demikian seterusnya. 

Hingga suatu hari ….

Kuingat hal itu bermula ketika badanku mulai berubah. Dari anak perempuan menjadi gadis. Dari lurus, lalu mulai banyak lekukan. Mulai dari tak ada tonjolan di dada atau tanpa pinggul yang melebar dan lekukan di pinggang, hingga aku miliki semuanya.

Belum lagi setiap bulan, dalam beberapa hari aku harus menahan sakit di perut bagian bawah, juga menggunakan pembalut sehingga celana dalamku menebal. Rasa percaya diriku perlahan menghilang. 

Ibu bersusah payah membekaliku bahwa hal itu sesuatu yang alamiah sebagai perempuan dan merupakan proses persiapan diriku menjadi wanita dewasa. Namun, itu tak mampu meredakan kecemasanku atau menumbuhkan kepercayaan diriku lagi. Karena yang kuinginkan dukungan Ayah senyatanya. 

Karena pubertas kuat ‘menghantamku’, aku sering dirundung di sekolah. Beberapa teman sekolah dan bapak guru olahraga entah sengaja atau tidak, menarik tali behaku hingga lepas dari kaitannya. Belum lagi ketika tetiba muncul lingkaran merah di belakang rok sekolah saat pembalutku bocor. Teman lelakiku rata-rata menertawakannya. Dan, hal itu spontan menyulut kekesalanku terlahir sebagai perempuan, seperti kata-kata buruk yang disampaikan Ayah. Tak terkatakan rasa malu sehingga aku mogok sekolah dan berbohong alasan ketidakhadiranku.  

Ayah murka mengetahuinya. Bukan marah karena perundungan yang kualami, karena baginya cerita itu mengada-ada untuk dikisahkan. Baginya pula aku tak lebih dari perempuan cengeng, lemah dan tak bisa apa-apa. 

Aku makin sakit hati. 

Berhari-hari aku menangis di kamar mandi, cemas, bingung, lalu mengurung diri sambil melihat perubahan tubuhku, atau mencuci bekas bulatan merah di rok sekolah yang kata Ibu, wajib kulakukan sendiri, tak boleh orang lain. 

Tak ada yang menghibur, Ayah terus mengkritikku. Ibu memarahiku, karena Ayah memarahinya. Tak bisa mengedukasi anak perempuan satu-satunya di antara beberapa anak lelaki mereka. 

Kamar mandi akan digedor setiap aku bersembunyi. Kata Ayah, hanya orang gila yang mengadu kepada ruang itu yang tak lebih dari benda mati. Tak memiliki telinga apalagi hati. Batinku makin terluka saja . 

Peristiwa itu mengobarkan api kebencian untuk membalas semua perlakuan lelaki cinta pertamaku itu. Akan kulakukan hal yang akan mempermalukan dan menjatuhkan harga dirinya. Dan, semua itu kulakukan dengan keperempuananku. Dengan apa yang kumiliki sebagai perempuan. 

Dua SMA, kudekati semua lelaki, kuberikan harapan, kupacari, lalu aku yang akan berkata putus dan meninggalkan mereka. 

Tubuh perempuan yang dibenci Ayah, kodrat yang kumiliki sebagai perempuan kujadikan sebagai senjata. Memabukkan pandangan, menggeletarkan napsu purba semua lelaki, tanpa terkecuali. Aku tak pandang usia, selama mereka beridentitas jantan. Juga tak pandang kedudukan selama tatap mereka penuh berahi melihat kehadiranku. 

Kakak lelakiku bukan tak tahu, apalagi Ibu. Pernyataan mereka sama dalam mengomentarinya, jangan lagi pulang ke rumah, atau mengaku sebagai bagian keluarga semisal diriku berbuat masalah. 

Aku tak acuh, lagi. Kembali ke rumah hanya untuk mandi, atau istirahat, lalu akan membuat diriku tak terlihat. Toh, tak ada yang menganggapku benar-benar ada. 

Membasuh diri saban kali selesai asyik masyuk dengan kaum Adam itu menjadi ritual wajibku membersihkan dosa. Jangan kau kira aku tak ikut memuntahkan juga semua isi perut pada saat yang sama. Aku merasa buruk, jahat, dan hina. 

Sundal. 

Kegiatan mandi itu proses aku menelanjangi diri, bisa memandangi semua lekuk kodrati sebagai perempuan, mengetahui apakah bekas kecup merah atau gigitan gemas Bang Iman, Pak Burhan, Mas Chris, Kang Rahman, atau Koh Dave masih melekat di ceruk leher atau bawah payudaraku. 

Melihat pantulan diriku, mengamati bagaimana keberadaan bekas-bekas penaklukkanku atas obsesi para lelaki, perasaan bahagiaku perlahan-lahan membuncah, diikuti banjir air mata.  Apalagi, ketika kucuran air pancuran modern menelusuri segenap liku tubuh, benakku membayangkan ritual para bidadari ketika pelangi muncul. 

Betapa ingin aku seperti mereka. Merasa berharga sebagai perempuan. Sementara aku … bukan bermandikan bunga, malah membasuh dosa-dosa maksiat, sembari tertatih-tatih menyusun keberanianku untuk bermartabat sebagai manusia, yang berkelamin perempuan. 

Di dalam kamar mandi itu, sambil menatap cermin di dindingnya aku senantiasa merasa dicintai. Tak sekali pun cermin bertanya. Berapa sendok nasi yang kulahap, hanya karena tetiba area perutku lebih besar dari biasanya. Tak seperti ekspresi lelaki awam yang bilang perempuan gendut tak ada harganya.

Ia juga tak banyak cakap, bahkan ketika aku menduga-duga apakah payudaraku masih ideal sekepalan tangan atau perlu tambahan bedah plastik untuk menjadi sebentuk buah yang ranum. Tak serupa konten media yang stereotip, menghakimi artis perempuan hanya karena ukuran payudaranya terlalu kecil untuk peran perempuan cantik.

Bahkan lantai yang menjadi alasnya, tak merasa jijik ketika genangan atau kucuran darah sebab pengalaman kodratiku sebagai perempuan setiap menstruasi. Atau juga tak sibuk mempertanyakan jejak bekas sperma siapa di sekujur tubuhku. 

Di dalam kamar mandi itu aku merasa tenang, dan bisa berdamai dengan kondisiku yang terlahir sebagai perempuan. Aku mampu memurnikan diri lagi, meski aku tak yakin pantas meraih predikat suci. 

Kamu sundal, bukan suci. Demikian amarah Ayah di ruang percakapan, ketika tanpa sengaja melihatku bermesraan dengan koleganya, lelaki sebaya dengannya di lobi sebuah hotel. 

Atau di lain waktu, dia menangkap basah aksi liarku di dalam mobil bersebelahan dengan mobilnya di parkiran kantor. Dengan wajah memerah, dia tak kuasa memaki. Apalagi lelaki yang menjadi lawan mainku tak lain adalah rekanan bisnis yang sedang dijajaki kerjasamanya. Mengumbar amarah hanya akan mempermalukannya dan membatalkan puluhan milyar yang akan menjadi pundi-pundi hartanya. 

Sambil menatap wajahnya dari balik kaca mobil, aku bergumam. Kau yang membuatku memilih jalan itu, Ayah. Kau yang bertahun-tahun menyematkan label itu.

Sundal. 

Ivy Sudjana, tinggal di Bali.

[red/na]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *