Pria Pemandang Hujan

Tidak ada yang menyangka hujan kali ini turun begitu deras. Pun, tidak ada yang menyangka pula bahwa angin kencang yang akan mengiringinya. Titik-titik air menerobos celah di antara barisan genteng yang tertata rapi, membuat hujan ringan di dalam rumah. Seorang pria paruh baya duduk di sebuah teras. Duduknya begitu tenang, tidak mempedulikan hujan angin, bahkan “hujan” dalam rumahnya sendiri.

Kedua telapak kakinya menyentuh lantai, sesekali juga menyilangkan keduanya. Pandangannya fokus. Sesekali terlihat senyum di wajahnya, sesekali juga senyum itu sirna. Dalam matanya terbayang masa lalunya. Masa lalu yang teramat panjang, beruntung hujan menceritakan kembali kepadanya sebuah masa lalu yang kadang dia damba, dan kadang ingin dia buang.

Pria paruh baya itu tetap memandang hujan, mendengar hujan bercerita masa lalu. Deru tetesan hujan membentuk sebuah bayangan, bayangan saat pertama kali dia bertemu dengan kekasihnya. Bersaing dengan banyak laki-laki yang konon juga mengejar cintanya. 

Siluet bayangan hujan itu bak film tanpa warna yang menceritakan detail. Hujan mengisahkan kepadanya seorang laki-laki yang gagal mempersunting kekasihnya karena menginjak kotoran ayam karena mengikutinya ke mushola. Kekasihnya seakan menceritakan kisah lucu itu kepadanya. 

“Hahaha. Dan juga Kang Sugeng, dia sempat mendekatiku, namun konon katanya dia dijemput aparat pasca 1965. Kasihan dia, Mas, hingga kini kabarnya tidak ada,” siluet hujan itu mengatakan kepadanya dengan jelas.

Seketika dia tersenyum, dalam waktu singkat wajahnya berubah masam. Tapi, hujan tidak menghiraukannya, hujan terus saja memutar filmnya. Kali ini berkisah tentang keberhasilannya menikahi kekasihnya. 

“Entah mengapa kok Sampean yang tiba-tiba datang. Lalu entah kenapa tiba-tiba pula emakku menerima. Saya hanya manut, Mas. Aku sekarang merasa menjadi orang yang paling beruntung sedunia bersamamu, Mas. Aku janji deh, akan bersamamu, merawatmu bila kau terluka. Aku siap dipelukmu jika kamu sedang berduka. Tapi jangan lupa lho, Mas, dukanya ya jangan banyak-banyak. Masak nggak kasihan sama aku.” Kekasihnya mengatakan dengan penuh tawa, masih berjubah hujan.

“Bukankah kita banyak bahagianya, Dik? Yah, duka, sih, tetap ada, tapi nggak banyak, kan? Cuma kamu kuajak gupak lumpur di sawah. Icir jagung, kedelai, dan kita sempat sama-sama mengalami kerugian. Padi hampir panen kena krasak, potong leher. Awalnya kita mengira panen 10 kwintal, ternyata kita hanya mendapatkan 3 kwintal. Itu sudah paling bagus satu desa. Sampean ingat kan, Dik?” Siluet hujan itu tersenyum manggut-manggut. 

“Kamu, Mas. Sudah tahu kalau bertani itu susah masih saja ngeyel sewa sawah. Pupuk mahal, benih mahal, upah preman (buruh) sawah juga mahal. Eh, malah sewa tanah sini, sewa tanah sana,” ucap siluet hujan itu dengan manyun.

“Hahaha … Eh, jangan gitu, kamu harus ingat kita bisa beli rumah karena itu. Kita juga bisa umroh dengan itu juga. Masak kayak gitu nggak bahagia? Hahaha.”

“Hihihi ….” siluet hujan itu tertawa renyah.

“Tapi, kamu bohong, Dik. Bohong,” ucap pria itu sambil tiba-tiba bermuka masam. “Aku sekarang sendirian, kamu malah mendahuluiku. Malah sakit terlebih dulu, dan ah. Aku sendiri yang akhirnya memandikan tubuh dinginmu itu. Kenapa kamu berbohong? Kenapa kamu duluan. Siapa yang merawatku, Dik? Siapa?”

Siluet hujan itu menjauh lalu menghilang tidak mempedulikan pertanyaannya. Hujan masih mengguyur, angin sudah mulai berhembus pelan. Sudah tidak ada lagi hujan lokal yang mengguyur kamar. Pria itu masih saja bertahan duduk di atas kursi, tanpa kopi tanpa rokok. Khusyuk menantikan hujan memutar kembali memorinya. 

Hujan kali ini berhenti memutar film untuknya. Pria tersebut menghembuskan nafas panjang. Matanya terlihat berkaca-kaca namun enggan meneteskan air mata. 

Hujan turun lebih pelan dari sebelumnya. Langit terlihat putih merata yang biasanya menjadi tanda bahwa hujan akan turun masih lama. Pria tua itu terlihat lebih khusyuk lagi duduk memandangnya. Kali ini dia duduk bersila di atas kursi dengan tetap memandang satu hal yang sama, hujan di depan teras rumahnya. 

Pria tua itu mengernyitkan dahinya. Memastikan pendengarannya. Tidak salah lagi, dia melihat kembali siluet yang terbentuk dari curah hujan kembali. Tiga anak kecil bermain-main di bawah hujan. Mereka tertawa terbahak-bahak, lari kesana kemari. Yang paling besar terlihat seperti anak sulung berlari menuju pancuran membiarkan dirinya tersirami layaknya mendapatkan berkah dari langit. 

Dua adiknya tidak ingin kalah tidur di genangan air. Sesekali dua anak itu terlentang memandang langit, sesekali tengkurap sambil minum air. Ada siluet wanita dewasa, sepertinya dia ibunya berteriak, “Jangan diminum, awas pilek!” 

Pria itu tersenyum melihat ketiga anaknya yang masih kecil. Jarak kelahiran mereka memang tidak terlalu jauh anak nomor dua lahir saat sang kakak masih umur tiga tahun. Si bungsu lahir ketika kakaknya belum juga berumur tiga tahun. 

“Biar sekalian capeknya,” gumamnya dalam hati. 

Senyumnya mengembang cukup lama, tanda bahwa dia benar-benar merasa bahagia saat itu. Tidak ada tanda-tanda senyumnya segera menghilang. Di bawah hujan semua memorinya muncul begitu jelas. Dan tidak bisa dipungkiri dia begitu merindukan saat-saat itu. 

Dia betul-betul ingat saat masa mudanya dahulu sering menakut-nakuti juniornya yang akan menikah dengan mengatakan, “Bayangkan, malam-malam, hujan deras, anakmu demam, dan kamu tidak punya uang. Bayangkan saja kamu di posisi itu. Gimana, masih mau lanjut?” Dia tertawa saat menyadari bahwa tidak ada satupun yang mengurungkan niat menikah gara-gara pertanyaannya itu. 

Kini tidak satu pun dari anak-anaknya menunggunya. Entah mengapa. Orang-orang mengatakan mereka sudah mempunyai keluarga mereka masing-masing. Ada juga yang mengatakan karena ayah mereka sangat sulit untuk dirawat. “Rewel, banyak maunya, dan keras kepala.” Begitulah yang pria itu dengar secara tidak sengaja di sebuah warung sebelum dia benar-benar beranjak pergi. “Maklum, anak-anaknya nggak ada yang mau serumah dengannya,” lanjut mereka.

Pria pemandang hujan itu terdiam kaku begitu lama. Anehnya, pria itu berubah perlahan-lahan menjadi siluet hujan dan menghilang dari pandangan. 

Di tempat lain, Danar menerawang, mengedipkan mata, lalu mencoba menyadarkan dirinya ketika melihat sesuatu dalam hujan di balik jendela apartemen mewahnya. Apakah ini benar-benar nyata? Segelas vodka yang telah dicampur dengan pemanis dia minum lagi. Namun, gelas itu tiba-tiba terjatuh dari tangannya. Lorong nafasnya menyempit tanpa alasan, menyisakan bunyi suara yang mendecit dari dada. 

Danar tidak bisa menolak keinginan badannya yang tiba-tiba ingin mengejang tanpa perlawanan. Semua berubah menjadi gelap. Siluet ayahnya, siluet botol kaca di atas meja, dan siluet sebuah kursi tua menjadi pemandangan yang dia sesali sebelum dia menutup mata dengan paripurna.

Ahmad Natsir.

[red/na]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *