Kesepian dan Perayaan-Perayaannya

Hari ini, agaknya manusia akan merasa malu jika harus mengakui bahwa ia merasa kesepian.

Sama seperti manusia modern yang tiada pernah merasa puas, rasa sepi sepertinya juga salah satu hal yang akan selalu ada dalam diri makhluk satu ini. Tidak peduli di rentang usia berapa, tidak peduli juga aneka atribusi yang melekat padanya. Rasa sepi bukan hanya milik satu dua kelompok semata. 

Seorang kaya raya bisa saja kesepian di tengah harta bendanya. Mungkin, ia merindu cengkerama di kala senja bersama anak istri, sesuatu yang jarang ia dapatkan di keseharian. Seorang penguasa bergelimang tahta juga bisa kesepian tatkala memikirkan akhir masa kuasanya: akankah orang-orang tetap akan tunduk tatkala aku tiada lagi punya kuasa? Akankah aku tetap dihormati? 

Betapa berbahayanya rasa sepi sampai-sampai beberapa kantor mengadakan pelatihan purna tugas bagi para calon pensiunan. Semata demi menyiapkan gambaran tentang hidup mereka selepas tidak lagi bekerja di kantor. Sepele, tapi nyatanya banyak orang tiba-tiba terlihat mengalami demotivasi selepas pensiun tiba dan membuat mereka rentang sakit, kelihatan cepat tua, atau mengalami post power syndrome

Sekilas, kesepian mungkin dianggap sebagai sebuah akibat dari rasa ketiadaan. Lantas, bagaimana jika anggapan itu tidak selamanya benar? Bagaimana jika banyak hal lain ternyata memicu rasa sepi, misalnya, jika ternyata rutinitas dan keteraturan dalam hidup ternyata juga bisa menjadi pemantik rasa sepi? Atau, bagaimana jika pencapaian-pencapaian kita tadi yang malah mencipta sepi, mengalienasi kita sendiri?

Pada akhirnya, jalan hidup manusia bukan hanya soal pencapaian dan penaklukkan semata, ia juga tentang bagaimana manusia bergumul dan berdamai dengan rasa sepi dalam dirinya sendiri.

***

Di kala masih bayi, manusia bisa mengeluarkan tangisan kala sepi melanda untuk memanggil sang ibu atau pengasuh. Sekadar demi timangan dan tepukan kecil penuh kasih sayang. Lebih besar lagi, ada bahasa-bahasa lain untuk mengungkapkan ihwal rasa sepi. Merajuk untuk mengajak bermain, misalnya. 

Di usia sekolah dan masa pencarian jati diri, rasa kesepian akan kasih sayang orang tua atau kerinduan akan kebebasan juga membawa banyak warna dalam perjalanan seorang manusia. Ada yang hanya bisa memendam, berdamai, ada juga yang mencoba mengungkapkan dengan berbagai cara, termasuk cara-cara yang dianggap kurang baik. 

Semakin dewasa, ruang hidup manusia semakin kompleks, begitupun permasalahan di dalamnya. Dulu kala, seorang manusia merasa kesepian karena tiada teman bermain, namun di kala dewasa ia bisa kesepian bahkan di tengah hiruk pikuk keramaian. Entah di kantor, entah di lingkungan sekitar tempat tinggal, entah di pergaulan sehari-hari. Orang dewasa, nyatanya, acapkali merasa sepi di tengah rasa “ada”. 

Betapa manusia sebagai makhluk sempurna sejatinya takut akan sepi, hingga ia ditakdirkan sebagai makhluk sosial. Ia butuh orang lain, ia butuh kehadiran pihak lain. Jiwa dan rasanya butuh orang lain di luar dirinya. Akan tetapi, sebagaimana manusia yang tiada pernah puas, rasanya ia tiada pula pernah merasa tidak sepi. 

Kompleksitas rasa dan karsa dalam diri manusia kadang memantik rasa sepi itu sendiri, memilih jalan alienasi bagi dirinya sendiri. Bisa jadi karena ia merasa lebih pintar dan tinggi dari orang sekitarnya, bisa pula karena ia merasa minder, bisa pula karena merasa tidak mampu meraih suatu titik pencapaian yang dianggap rata-rata, bisa juga karena bayangan-bayangan ketakutan akan masa depan. 

Betapa berbahayanya rasa sepi yang gagal dikelola dengan baik hingga banyak orang terjebak pada zona depresi dan butuh penanganan profesional. Berapa banyak manusia bergumul dengan masalah kesehatan mental karena dalamnya rasa kesepian yang tiada pernah bisa ia urai dengan baik. 

Pada akhirnya, dari sudut pandang budaya, manusia – baik secara pribadi maupun sebagai kelompok – menciptakan berbagai macam cara untuk melawan rasa kesepian itu tadi. Menenggelamkan diri ke hobi, bersosialisasi, hingga menciptakan perayaan-perayaan tertentu yang itu semua ada kaitannya dengan urusan melawan rasa sepi. Itu semua belum termasuk mekanisme alami yang mungkin sering dilakukan manusia untuk membunuh sepi tanpa disadari sepenuhnya. 

Tahun baru misalnya. Apakah semua orang berbondong-bondong menuju pusat kota dan menonton kembang api karena mereka ingin melepas tahun dengan gembira? Jangan-jangan, mereka melakukan itu hanya demi menolak rasa sepi jika harus berada di rumah dan dicap sebagai orang tidak umum saat momen – yang dalam budaya populer dianggap penting. Toh setelahnya, banyak manusia tetap sambat, overthinking, insecure, dan gamang selepas gelegar kembang api di malam itu. 

Berapa banyak pula orang yang mengeluarkan uang puluhan juta demi gawai, tas, atau sepatu merek tertentu. Bukan karena menyukai seni dan nilai di dalamnya melainkan demi pengakuan kelompoknya? Karena, bisa jadi, tanpa semua itu ia merasa tidak mendapat afirmasi atas keberadaannya dari kelompok terdekat. Dengan membeli itu semua, sejatinya mereka sedang berusaha membeli rasa “ada” dalam dirinya sehingga merasa tidak sepi sebagai bagian dari kelompok tadi. 

Sudut pandang lain tentang kesepian juga membuat kita bisa memahami kenapa beberapa penguasa berusaha sekeras mungkin mempertahankan kekuasaannya, bahkan hingga menerobos norma dan nurani. Jangan-jangan itu bukan karena ia buta hati dan berhasrat berkuasa selamanya. Jangan-jangan itu semua karena ia tidak siap jika harus kehilangan semua di genggamannya; kekuasaan, rasa dihormati, dan kedudukan. Ia jangan-jangan tidak siap menjadi manusia biasa tatkala kelak semua itu sirna. 

*** 

Secara berkebalikan, dari sudut pandang budaya pula, dahulu sekali, rasa sepi diburu banyak manusia. Nabi Muhammad mendapat ayat pertama Quran saat sedang menyendiri di gua. Beberapa kebudayaan juga dekat dengan laku prihatin, semedi, meditasi, dan bertapa, tentu dengan berbagai sebutan. Ada pula hari khusus di kalangan umat Hindu, Nyepi. Dengan sadar mereka melawan sepi demi menemukan keutuhan jati diri. 

Namun, zaman tentu telah berubah, begitupun manusia-manusianya. Jangankan untuk menempuh jalan sepi berselubung sunyi, sejam tanpa gawai saja bisa jadi kita akan uring-uringan tiada pasti apalagi diminta menikmati sepi di gua atau meditasi sehari panjangnya. 

Padahal, beberapa bagian sejarah umat manusia bisa jadi beririsan dengan perihal penaklukan dan perayaan rasa sepi itu tadi. Itulah kenapa mereka berkelompok, saling berbagi mimpi dalam menaklukkan liarnya dunia. 

Bahkan menurut Karen Armstrong, manusia juga menciptakan sistem kepercayaan dan simbol-simbolnya juga karena kegamangan, kesepian, dan perasaan sebagai hal kecil di alam semesta. Sehingga, mereka merasa butuh sesuatu untuk menaungi kehidupan beserta segala pertanyaan-pertanyaan tentang hidup. 

Mungkin, hari ini, rasa sepi adalah musuh besar umat manusia yang coba dilawan sedemikian berani. Kita lantas mencipta berbagai macam acara, agenda, atau perayaan untuk menolak rasa itu mengasingkan kita. 

Sekali lagi, alam semesta terus bertumbuh beserta makhluk-makhluk di dalamnya. Hari ini, agaknya manusia akan merasa malu jika harus mengakui bahwa ia merasa kesepian. Toh, kebudayaan modern juga sudah menyediakan aneka topeng mekanisme untuk menutupi atau sejenak melupakan rasa sepi tadi. Tinggal memilih, mau pakai cara mana. 

Jika memang setelah mekanisme tadi dijalankan tapi nyatanya sepi masih melanda dan ruang kosong di hati paling dalam tetap tercipta, berbagai mekanisme lain siap dilakukan. Entah demi memasang topeng lebih tebal dan menutup kesepian dengan paripurna atau menggali akar paling dalam di balik aneka kegamangan tadi. 

Lewat mekanisme ini juga, pola zaman terus berputar, mengantar manusia untuk memburu dan merayakan rasa sepi demi menjawab segala rasa keterasingan yang muncul dari jejak langkah perjalanannya sendiri. 

Hingga, tanpa disadari, pola perputaran zaman bekerja dengan sendirinya: manusia melakukan lagi hal-hal klasik yang dulu bisa jadi dicap sebagai hal kuno dan ketinggalan zaman demi menyelesaikan masalah di masa sekarang, sebuah masalah yang sejatinya juga sudah ada sejak dulu kala dan menjadi warna dalam berbagai peradaban manusia. 

Syaeful Cahyadi. Penulis dan pekerja sosial. Tinggal di Yogyakarta.

[red/rien]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *