Site icon ghibahin.id

Keakraban Generasi 80-an dengan Tebu yang Tidak Kita Jumpai Sekarang

tebu

Photo by FRANK MERIÑO from Pexels

“Entah mengapa masa panen tebu menjadi masa-masa yang paling menyenangkan.”

Sebuah pesan Whatsapp masuk ke ponsel saya. Saya hanya melihatnya dari notifikasi. “Jam berapa pulang?” Duh, ada semacam kebingungan kala saya menjawab terlalu siang atau terlalu sore. Saya akhirnya memilih mengabaikannya, sampai pesan kedua istri saya masuk lagi. “Titip es tebu, ya.” Kali ini saya langsung membacanya dan membalas dengan, “Ok.”

Saya pulang dan mampir di sebuah kios penjual es tebu. Selama saya tinggal di Tulungagung, tidak ada yang istimewa dengan es ini selain harganya yang kelewat murah, dua ribu rupiah setiap bungkusnya. Di lain kabupaten, harganya bisa lebih mahal dengan selisih seribu hingga dua ribu rupiah.

Saya melihat penjual itu memasukkan batang demi batang tebu ke mesin penggiling. Suara diesel Honda menderu memutar mesin penggiling dan melahap batang tebu tanpa ampun. Di sela-sela pekerjaan sang penjual, diam-diam saya mempunyai kesimpulan. Es tebu yang praktis ini adalah tokoh utama yang menjauhkan generasi masa sekarang tidak lagi akrab lagi dengan kebun tebu.

Sekarang, saya tidak lagi melihat keakraban anak-anak sekarang dengan tebu. Padahal, masa saya dulu sekolah SD, tebu benar-benar menjadi teman akrab. Berikut ini keakraban masa kecil saya dengan tebu yang masih menyisakan kesan hingga saat ini.

#1 Kebun tebu menjadi markas bermain

Masa kecil saya masih banyak perkebunan tebu yang ditanam dengan menggunakan sistem jajar legowo. Yaitu, ladang tebu dibuat dengan sistem parit mengelilingi kebun tebu hingga masuk ke rongga-rongga dalam. Tidak jarang di parit itu hidup bermacam-macam ikan. Ada wader, sepat, hingga ikan sili, ikan kecil licin dengan moncong yang meruncing. Saat paling seru, ya, ini. Berburu ikan saat air di parit-parit itu hampir habis.

Tidak lupa juga, saya sering bermain di sana dengan teman-teman, menjadikannya markas persembunyian. Senjata pamungkas kami ialah sebilah pisau. Bukan untuk berantem sih, cuma jaga-jaga saja saat kami kehausan. Hahaha.

#2 Berburu tebu saat panen

Entah mengapa masa panen tebu menjadi masa-masa yang paling menyenangkan. Saya seperti dengan bebas leluasa mengambil batang tebu yang dikumpulkan para petani. Dari pemilik tebu hingga para penebangnya seolah tidak melihat kami, para anak kecil, yang mengambil batangan tebu membawanya pergi sambil bilang, “Pak Lik, minta tebunya.”

Kami membawanya ke sekolah, memakannya saat istirahat di halaman belakang. Kami seolah sepakat dengan satu hal, anak yang paling kuat di antara kami adalah anak yang mampu mengupas batang tebu dengan giginya. Terus terang saya tidak mampu kala itu. Ngapain repot mengupas dengan gigi, kan teman saya bisa. Hehehe.

Ladang tebu yang menyisakan dedaunannya, seringkali akan dirapikan kemudian dibakar. Bagi kami dan teman-teman ini adalah sebuah berkah. Perburuan tidak berhenti, ada menu lezat lagi berbahan tebu yang menanti untuk diburu. Tebu bakar. Ah. Seandainya saja seragam sekolah itu warnanya hitam, pasti Ibu tidak akan marah-marah saat itu.

#3 Ngodos tebu

Ini agak ekstrim, tapi ini dulu kami lakukan. Sekolah SD saya terletak di pojok sebuah perempatan desa. Kala truk yang membawa hasil tebu melintas, kami menanti lajunya berubah pelan. Saat itulah waktu yang tepat untuk menarik satu atau dua batang tebu yang terlihat paling besar di antara muatan yang ada.

Sreeet! Tebu berhasil kami ambil dan siap kami santap bersama, tak jarang pula metode ini mengalami kegagalan karena saking beratnya muatan hingga batang tebu sulit ditarik keluar. Tidak apa-apa, jangan khawatir, saya cuma melihat teman-teman saja sembari menunggu kabar bahagia menuntaskan dahaga.

Kini, saya jarang melihat pemandangan itu lagi. Tebu sudah ditanam seperti menanam jagung (tanpa parit dalam). Tebu bakar tidak ditemukan lagi dari sisa daun tebu yang dibakar dan juga tebu yang dimuat di atas truk pun semakin mengecil.

Benar kata teman saya, “Kalau mesin diesel sudah bisa memeras tebu sedemikian rupa, mengapa harus gigi kita?” [Red/Brsm]

Ahmad Natsir,Pelanggan es tebu samping kampus UIN Satu Tulungagung.

Exit mobile version