Merobohkan Tembok Publik dan Domestik

“Kita masih saja memberikan stereotip rendah terhadap pekerjaan rumah tangga.”

Bulan Oktober tahun 2019 merupakan bulan yang tidak bisa saya lupakan. Pasalnya, pagi hari kala itu, saya berniat untuk membeli galon isi ulang. Dengan menenteng sebuah galon kosong saya keluar rumah, dan istri saya sedang asyik masak. Saya melenggang begitu saja ke tempat tujuan dengan berjalan kaki.

Saat transaksi galon isi ulang itu, saya dikejutkan dengan teriakan beberapa orang di sekitar jalan raya. Betapa kagetnya saya ternyata teriakan mereka tertuju pada anak sulung saya yang tanpa saya sadari mengikuti saya, hingga menyebrang jalan raya!

Seketika saya berlari, berteriak, “Hop! Bapak ke situ, Nak!” Saya memeluknya, menggendongnya ke rumah dengan penuh kecemasan. Untungnya saat itu dia memakai jersey Liverpool sehingga kehadirannya di jalan raya, mudah disadari para pengendara. 

Saya ingin marah, tapi ke siapa, istri saya ternyata tidak tahu, begitu pula saya. Saya mengutuk diri saya sendiri waktu itu. Dan berkesimpulan bahwa momong anak adalah tugas adiluhung yang mempertaruhkan nyawa. 

Saya kemudian menelusuri berita tentang balita dalam asuhan. Ternyata, sudah banyak berita seorang balita yang terluka bahkan meregang nyawa karena berbagai hal dalam konteks saat pengasuhan. Saya menyalahkan orang tuanya karena saya tidak pernah tahu bagaimana posisi mereka saat itu. 

Singkatnya, bekerja di wilayah rumah tangga (baca: domestik) juga melelahkan, seseorang akan menghadapi berbagai hal yang sama setiap harinya, mencuci pakaian, piring, dan lain sebagainya. Dan itu semua rawan membawa tekanan kemudian stres. Kita juga sering mendengar istilah baby blues, sebuah sindrom yang menyasar kepada orang tua yang baru mempunyai buah hati. Hei, bukankah itu juga wilayah domestik?

Kenyataannya, kita masih sering saja menjadikan publik dan domestik sebagai sebuah biner dalam pekerjaan. Pekerjaan publik dianggap lebih terhormat dan lebih dianggap sebagai pekerjaan yang hakiki daripada domestik. Kita juga menerapkan klasifikasi atas keduanya seolah pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan yang sepele dan tidak perlu banyak pikiran. 

Kita juga masih ingat kala Najwa Shihab mendapatkan sebuah pertanyaan, “Menjadi wanita karir atau ibu rumah tangga?” See? Kita masih saja memberikan stereotip rendah terhadap pekerjaan rumah tangga. Menjadi wanita karir lebih mulia dan berat daripada bekerja di rumah. Kita masih saja menjunjung tinggi pekerjaan publik yang didominasi laki-laki sehingga patriarki selalu terjadi.

Dalam hal ini, menghentikan perbedaan dan klasifikasi atas keduanya sama sekali tidak bermaksud untuk melanggengkan sistem patriarki di mana laki-laki mendominasi perempuan, tidak. Peleburan keduanya tidak mengarah kepada hal tersebut. Melainkan penyadaran akan risiko di antara keduanya adalah setara, rentan stres, hingga bertaruh dengan nyawa. 

Dalam sebuah video pendek, saya pernah melihat seorang perempuan bersembunyi di kamar mandi, menumpahkan isak tangisnya di sana. Dia merasakan stres yang luar biasa, dan merasa heran dengan dirinya sendiri mengapa dia bisa begitu padahal notabene dia mengaku bahwa mempunyai suami dan mertua yang sangat sayang padanya. 

Bahkan, yang mempunyai keluarga yang begitu “normal” saja, seseorang bisa merasakan tekanan, bagaimana seandainya dia mendapatkan keluarga yang tidak demikian?

Kesadaran kita atas risiko pekerjaan baik publik maupun domestik seyogyanya memunculkan sikap menghargai dan kemudian muncul inisiatif bahwa tanggung jawab domestik adalah tanggung jawab bersama. Tidak timpang dan menjadi sebuah kerjasama baik ibu maupun bapak, suami maupun istri.

Jadi, kalau pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan berat, masak sih kita masih saja sulit diajak untuk bekerja sama?

Ahmad Natsir, seorang Ayah.

[red/rien]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *