Mengurai Benang Kusut Perilaku Menyontek

“Apalah arti nilai tanpa disertai kompetensi dari pemiliknya.”

Sewaktu masih berstatus pelajar atau mahasiswa, setiap kita—kecuali para juara kelas—pasti pernah mengalami mentok saat ujian. Bingung tidak tahu harus menjawab apa. 

Nah, pada kondisi seperti ini, perilaku setiap orang berbeda-beda. Ada yang menulis ulang soalnya agar lembar jawaban tidak kosong, ada yang cuek, masa bodoh dengan nilai ujian. Ada juga yang kasak-kusuk cari contekan, coba-coba buka buku, atau senggol kiri-kanan berharap belas kasihan teman.

Menyontek adalah cara instan lulus ujian. Namun seolah sudah menjadi hukum alam, segala sesuatu yang instan pasti punya efek samping yang merugikan. Sebagaimana menyontek, efeknya tidak sederhana. Tanpa disadari, ketika seseorang menyontek, ia sedang membangun persepsi negatif terhadap dirinya sendiri. Ia akan kehilangan rasa percaya diri. Karena ia tahu, nilai-nilai yang ia peroleh tidak mencerminkan kemampuan yang dimilikinya. 

Selain itu, guru akan kesulitan mengevaluasi efektivitas pembelajaran. Padahal, salah satu tugas guru adalah melakukan penelitian tindakan kelas berdasarkan kondisi siswa. Tujuannya adalah untuk menemukan cara dan prosedur baru, guna memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar di kelas. 

Sedangkan nilai siswa yang tinggi membuat guru merasa bahwa caranya mengajar sudah baik. Pada akhirnya, institusi pendidikan hanya akan menghasilkan lulusan yang memiliki nilai tinggi, tapi tidak sungguh-sungguh kompeten. 

Menyontek adalah penyakit akut yang menjangkiti dunia pendidikan kita. Mulai dari siswa sekolah dasar sampai mahasiswa perguruan tinggi, bisa dibilang tidak ada yang benar-benar imun dari menyontek. Ia bukan cuma monopoli siswa yang kemampuan akademiknya rendah. Siswa pintar pun bisa saja menyontek, misalnya demi sebuah nilai yang sempurna. 

Pada tahun 2016, di Indonesia bahkan terjadi kasus menyontek yang memalukan sekaligus memilukan. Saat itu—sebagaimana diberitakan sejumlah media—1.580 dari 4.512 dosen tidak lulus ujian sertifikasi yang diselenggarakan oleh Kemristekdikti. Penyebabnya, sebagian besar dosen menulis tentang deskripsi diri mereka dengan menyontek atau copy-paste dari rekan dosen yang telah lulus sertifikasi pada periode sebelumnya.

Menyontek seperti benang kusut yang sulit diurai. Lantas, siapa yang bertanggung jawab? 

Kenapa siswa menyontek? Karena ia tidak bisa menjawab. Ini berarti capaian belajar belum tuntas. Namun masyarakat dengan tingkat husnuzan tinggi menganggap guru—termasuk dosen—adalah orang yang pasti pintar dan selalu benar. 

Maka ketika seorang murid tidak lulus ujian atau nilainya rendah, yang pertama kali disalahkan adalah muridnya. “Ah, itu mah emang anaknya malas belajar.” Atau, “Ah, itu mah emang anaknya bodoh.” Dan tuduhan menyudutkan lainnya. 

Padahal, sangat mungkin jika gagalnya capaian pembelajaran terjadi karena para pendidik tidak memiliki kompetensi pedagogik maupun kompetensi profesional, sehingga metode atau pendekatan yang digunakan tidak tepat. 

Bisa dibilang, pada dasarnya tidak ada anak yang bodoh. Hanya saja, setiap orang memiliki gaya belajar yang berbeda. Ada tipe visual, tipe auditori, ada juga tipe kinestetik. Idealnya, guru harus mengakomodir keragaman kebutuhan tersebut.

Permasalahan lainnya adalah karena guru terlalu tekstual dalam menilai jawaban. Siswa dituntut menjawab persis sama, seperti apa yang tertera di buku, atau apa yang diajarkan oleh guru. Tidak ada ruang bagi siswa untuk menjawab soal dengan gagasan alternatif produksi pikirannya sendiri, atau menjawab sesuai dengan konteks kekinian. Efeknya, siswa membutuhkan hapalan yang kuat. Dari situlah godaan menyontek muncul.

Menyontek bisa juga disebabkan oleh faktor internal peserta didik. Misalnya karena perubahan orientasi, dari menuntut ilmu menjadi mengejar ijazah. Yah, sekadar untuk memenuhi kualifikasi pekerjaan atau posisi tertentu. Akibatnya, nilai tinggi jadi tujuan. Tak jarang, nilai tinggi ditempuh dengan cara curang. 

Barangkali sohib berpikir, apalah artinya ijazah? Ia toh tidak lebih dari selembar kertas yang berisikan deretan angka. Nilai tinggi tiada artinya tanpa dibarengi kompetensi dari pemiliknya. Pemikiran itu tentu saja benar. Namun, sohib akan paham apa pentingnya ijazah, jika sohib adalah pekerja yang karirnya mentok akibat tersandung persyaratan administrasi (baca: ijazah). 

Dalam perkara menyontek, terkadang orang tua juga memiliki kontribusi yang tak kalah besar. Orang tua yang gagal menemukan minat dan bakat (passion) anaknya, cenderung menggiring anak memasuki sekolah atau kuliah dengan jurusan yang tidak sesuai dengan passion si anak. Ingat, setiap anak setidaknya memiliki salah satu—atau bahkan lebih—dari delapan kecerdasan ala Howard Gardner. 

Kalau anak kuliah di jurusan yang tidak sesuai bakat dan minatnya, otomatis anak akan kurang antusias dalam belajar. Tak bisa dimungkiri, passion merupakan salah satu modal yang membuat siswa belajar dengan penuh kegembiraan dan penuh totalitas.

Bila sekolah kita asumsikan sebagai penyedia jasa pendidikan, maka secara diametral, guru dan siswa bisa diibaratkan produsen dan konsumen. Artinya ketika siswa tidak bisa menjawab soal ujian, berarti guru belum berhasil menunaikan kewajibannya. Lucunya, alih-alih berpikir untuk protes menuntut haknya, siswa malah menyontek demi memperoleh jawaban benar dan nilai tinggi. 

Upaya menghapus perilaku menyontek sama artinya dengan mengubah cara berpikir siswa. Upaya ini merupakan proses panjang yang perlu dilakukan sedini mungkin. 

Peran guru dan orang tua sangat strategis. Di rumah, orang tua berperan menanamkan pentingnya kejujuran. Sementara di kelas, guru berperan sebagai pengendali penuh rangkaian pembelajaran. Dalam ujian, guru bukan hanya mengawasi agar tidak terjadi kecurangan, tapi juga menanamkan pengertian bahwa pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh lebih penting ketimbang nilai. 

Guru perlu meyakinkan siswa bahwa kekuatan nilai bukan terletak pada besar-kecilnya angka, melainkan pada upaya kita memperolehnya. Apalah arti nilai tanpa disertai kompetensi dari pemiliknya. Dengan terbangunnya kesadaran ini, diharapkan akan tercipta suasana kelas ideal yang penuh partisipasi siswa. Idealnya, dalam ujian siswa tidak menyontek bukan lagi karena takut pada pengawas, namun karena telah terbentuknya literasi akademik yang baik.

Roy Waluyo, pengajar yang suka menulis, tinggal di Bogor.

[red/sk]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *