Khotbah Pandemi dan Hal-Hal yang Kita Pahami Secara Keliru

“Kebiasaan-kebiasaan yang berbuah kebaikan bersama telah menghilang ditelan nafsu dan ego kita sendiri.”

Beberapa waktu belakangan ini, kita mendengar beberapa tragedi dan peristiwa yang dipicu oleh banyaknya orang dan kerumunan yang tak terkendali, yang pada akhirnya menyebabkan ratusan orang meninggal karena chaos dan berdesakan. 

Masih hangat terdengar duka dalam negeri lewat peristiwa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan yang memakan ratusan korban pada awal Oktober lalu, dan tragedi serupa di negara lain yang terjadi dalam sebuah perayaan Halloween pada sebuah kawasan di kota Itaewon, Seoul, Korea Selatan. 

Selain tragedi yang memakan korban jiwa, belum lama ini juga terdengar berita konser musik yang terpaksa dihentikan karena penonton berdesakan, hingga menyebabkan puluhan anak muda pingsan. Ada juga berita pembubaran konser musik karena jumlah penonton yang melebihi kapasitas venue. 

Rentetan tragedi dan beberapa peristiwa tersebut membuat saya menduga betapa sebagian dari kita tak begitu tertarik pada suasana sepi yang damai, dan betapa kita sebagai manusia sungguh gemar sekali menunjukan kecerobohan dalam menanggapi fanatisme dan ego yang bergejolak dalam diri kita masing-masing. 

Bagaimana tidak? Dalam sebuah pertandingan sepak bola yang seharusnya menjunjung tinggi sportivitas, hanya karena kekecewaan pada tim kebanggaan, timbul kesalahpahaman antara suporter dan aparat keamanan. Aparat terpicu melakukan upaya penghalauan dengan menembakkan gas air mata. Ribuan orang pulang dengan membawa duka, karena sesak ketika mencoba menghindar dari gas air mata. 

Di lain tempat, hanya demi sebuah perayaan dan melihat sang idola, ribuan anak muda rela berdesakan dan sejenak meninggalkan kesadarannya masing-masing.

Saling lempar kesalahan menjadi menu wajib dari pihak-pihak yang terlibat, demi mencari kambing hitam atas timbulnya korban, alih-alih mencari akar permasalahan dan solusinya.

Peristiwa-peristiwa tersebut membuat saya mengingat momen pandemi yang membuat kita tak berdaya. Salah satunya bagaimana kita beradaptasi dan melakukan kebiasaan-kebiasaan demi mencegah virus merenggut nyawa orang-orang yang kita cintai. Kita rela memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan, demi keselamatan bersama.

Setelah mengingat kebiasaan-kebiasaan itu, dalam khayalan tingkat tinggi, saya membayangkan seandainya kita mampu memandang pandemi tak hanya sebagai wabah yang membawa kebiasaan baru, melainkan memandangnya sebagai khotbah yang membuat kita lebih peduli dan mampu menahan diri. 

Jika saja kita tak merasa keberatan untuk lebih lama mempertahankan kebiasaan-kebiasaan seperti menjaga jarak dan menghindari menghindari kerumunan, mungkin saja tragedi-tragedi tersebut dapat dicegah. 

Dan seandainya saja pihak-pihak yang terkait itu tak keliru mengartikan kebiasaan “cuci tangan” sebagai hal yang harus dilakukan untuk menghindari tanggung jawab, mungkin tiap peristiwa yang terlanjur terjadi akan menemukan jalan penyelesaian yang lebih pantas.

Kini, setelah pandemi berangsur mereda, peristiwa-peristiwa yang terjadi seolah menandakan jika kita telah kembali pada dunia yang semula. Kebiasaan-kebiasaan yang berbuah kebaikan bersama telah menghilang ditelan nafsu dan ego kita sendiri.

Maka ketika tersadar dari khayalan itu saya hanya berusaha keras untuk memaklumi orang-orang dan keinginannya masing-masing, dan mulai mencoba untuk berprasangka baik. Mungkin saja dalam diri kita memang sudah tak tersedia lagi ruang untuk menumpuk keinginan setelah beberapa tahun tertahan. Dan mungkin saja, setelah pandemi mereda, kebanyakan dari kita telah muak dengan rasa terkurung. Kita hanya berusaha membalas dendam, dengan hidup bebas, sebebas-bebasnya.

Selain berprasangka baik, peristiwa-peristiwa yang terjadi juga membuat saya berprasangka buruk. Jangan-jangan tak hanya kebiasaan menghindari kerumunan, dan mencuci tangan yang disalahartikan. 

Tapi lebih dari itu mungkin saja kebiasaan memakai masker pun kini telah berubah fungsi, dari yang semula untuk mencegah penyebaran, kini digunakan untuk menyamarkan mulut dan wajah kita dari banyak kata dan kebohongan yang berbau busuk. 

Menjaga jarak pun, bisa jadi, kini diartikan sebagai alat untuk lebih menjauh dari rasa peduli tentang keselamatan orang lain. 

Dari banyak peristiwa yang terjadi dan kemungkinan-kemungkinan itu, cukup menandakan jika kita telah keliru memahami khotbah pandemi. Kita tak kunjung sadar, dan lupa bertanya pada diri kita masing-masing. Apa gunanya kita bersusah payah melawan wabah, jika setelahnya tetap saja membuat kita kembali mengalami banyak kehilangan?

Dan tanya itu sudah selayaknya membuat kita sadar, jika kita takkan pernah berdaya melawan apapun, selama kita selalu keliru mengartikan sabda alam, sembari di sisi lain memuja ego kita tanpa segan. 

Imas Millah, alumni Teologi yang mencoba peduli pada Literasi.

[red/yes]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *