Menghindar dari Candu Paylater

“Yang menjadi pertanyaan, mengapa masih banyak orang yang masih mau menggunakan paylater, meski bunga bayarnya cukup tinggi?”

Pada zaman ini, berutang ketika membeli barang sudah sangat lazim. Kita dapat membeli barang yang kita inginkan dengan skema paylater. Paylater adalah metode pembayaran yang menawarkan angsuran tanpa perlu menggunakan kartu kredit. Syarat untuk menggunakan metode pembayaran ini juga tidak sulit, hanya butuh KTP saja. Dalam sekejap, barang yang kita inginkan bisa langsung kita miliki. 

Banyaknya marketplace yang menggunakan paylater sebagai pilihan pembayaran, dan dengan syarat yang cukup mudah, ternyata berhasil menarik minat banyak pengguna. Masyarakat yang memiliki gaya hidup konsumtif serta serba praktis menjadikan paylater sebagai pilihan utama dalam metode pembayaran. Kemudahan layanan “beli sekarang bayar nanti” membuat candu para penggunanya.

Selain syarat yang mudah, terdapat beberapa pilihan tenor yang meringankan para pengguna. Bunga yang diberikan yaitu 2% sampai dengan 4%, tergantung dari tenor atau jangka waktu pembayaran. Bunga segitu tentunya cukup tinggi sih, kalau dihitung-hitung. Namun ya resiko-resiko itu nyatanya tidak mengurangi minat pengguna untuk ber-paylater ria.

Dampak Buruk Paylater

Meski mempermudah pengguna untuk mendapatkan barang impiannya, penggunaan paylater yang terlalu sering dapat menimbulkan kebiasaan yang sulit dihentikan. Akibatnya, seseorang yang salah dalam mengelola keuangannya akan membuatnya “terbelit utang”. Yang menjadi pertanyaan, mengapa masih banyak orang yang masih mau menggunakan paylater, meski bunga bayarnya cukup tinggi?

Dari hasil survey yang saya lakukan, alasan yang paling banyak adalah untuk mengurangi pengeluaran bulanan sehingga tagihan paylater akan masuk pada bulan berikutnya, jadi uang bulanan tidak langsung habis gara-gara membeli satu barang secara tunai. Alasan lainnya adalah perhitungan bahwa mereka nantinya masih memiliki cukup uang untuk membayar angsuran sampai lunas.

Walau demikian, bagi saya pribadi, penggunaan paylater secara terus menerus memiliki dampak yang buruk. Logikanya, menggunakan paylater sama saja dengan berutang. Semakin banyak menggunakan paylater, semakin banyak juga utang yang harus dibayar. Jika kebiasaan ini dilakukan secara rutin setiap bulan, maka tagihannya juga akan ada disetiap bulan dan berarti bunganya juga semakin banyak. Nah, lho! 

Padahal dulu, orang takut untuk berutang karena takut tidak bisa bayar atau takut bunga yang terlalu besar. Yang terjadi sekarang malah kebalikannya. Orang-orang akan senang jika diberi penawaran paylater dengan iming-iming ‘praktis’ padahal tidak gratis, alias ada bunga yang sudah diperhitungkan dalam tagihan.

Di samping itu, utang yang menumpuk juga dapat menimbulkan masalah kesehatan dan psikologis. Nggak enak, lho, jadi orang yang dikejar-kejar utang. Jika sudah terjebak di dalam perkara utang-piutang, akan sulit untuk keluar dari keadaan tersebut. Akhirnya akan terjadi rantai yang sulit terputus atau disebut “gali lubang, tutup lubang”. Maksudnya adalah meminjam uang pada A untuk membayar utang di B. 

Belum lagi, kemudahan yang ditawarkan paylater bisa menimbulkan sifat hedonisme karena kalap belanja. Coba sobat ghibah sekalian, cek dulu tuh, berapa banyak barang yang menjadi wishlist di marketplace kesayangan SoHib! Nah, gimana kalau semua wishlist itu di-paylater-kan? Mau coba? Hehehe.

Hindari Impulsive Buyer

Lalu, apa yang kita harus lakukan untuk menghindari kebiasaan tersebut? Jangan menjadi impulsive buyer. Pengendalian dan kesadaran diri sangat penting untuk menahan keinginan. Saya memiliki prinsip jika memang tidak ada uang, saya tidak akan membeli suatu barang. 

Ibu saya sering mengingatkan untuk jangan berutang karena jika sudah pernah sekali berutang, akan menimbulkan kebiasaan yang sulit untuk dihilangkan. Selain itu, kita juga harus bisa menahan diri untuk tidak membeli barang yang tidak terlalu. Nasihat dari ibu itulah yang saya pegang sampai sekarang. Dan nyatanya, nasihat itu menyelamatkan saya dari pola hidup konsumtif dengan berutang.

Nasihat itu itu juga yang menghindarkan saya dari pola impulsive buyer. Seseorang menjadi impulsive buyer di era saat ini karena kemudahan yang disediakan platform. Ketika seseorang tidak berniat untuk membeli sesuatu, namun ia tidak sengaja melihat hal menarik yang ditawarkan, akhirnya ia memilih untuk belanja menggunakan paylater

Kemudahan yang dimaksud adalah mereka tidak perlu repot-repot top up saldo, toh dengan sekali klik barang yang ingin dibeli bisa langsung dikirim. Tanpa disadari, hal seperti ini yang membuat seseorang menjadi impulsive buyer. 

Saya juga pernah diberi saran oleh seorang teman untuk menghindari pola impulsive buyer. Ketika saya menginginkan suatu barang, jangan langsung membelinya. Endapkan dulu keinginan tersebut. Biarkan 1-2 minggu. Jika saya masih memikirkan barang tersebut, saya baru boleh mempertimbangkan untuk membelinya. Intinya, pintar-pintarlah untuk memilah antara kebutuhan dan keinginan.

Akhir kata, semua kembali ke pertimbangan masing-masing, sih. Bila memang situasi sangat mendesak dan ada barang yang sangat kita butuhkan, tidak ada salahnya menggunakan paylater. Namun jika barang itu hanya merupakan keinginan sesaat dan bukan kebutuhan mendesak, sebaiknya kita menghindari paylater. Alangkah baiknya jika kita menghindari tumpukan utang, yang belum tentu bisa kita lunasi di kemudian hari. 

Indah Amelia. Seseorang yang pengen jadi kakak Cipung.

[red/yes]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *