Pria Tua yang Menawarkan Ranting Pohon

“Setiap kali membagikan bibit tanaman, Pak Desa berpesan pada orang-orang untuk menanamnya di bantaran sungai, di kebun, maupun di sekitar rumah.”

‘“Tanamki’! Tanamki’ ini di rumahta’ supaya tidak kena banjir rumahmu!” 

Seorang pria tua berteriak. Suaranya bersaing dengan deru kendaraan. Kalimat yang sama dia ulang-ulang ke setiap pengendara yang melintas. Sebagian besar mengacuhkannya. Rata-rata hanya melirik sekilas dan tetap tancap gas. 

Senja belum jelas menampakkan diri. Bayangan pepohonan masih tersisa memanjang. Cahaya di ujung langit tajam menerobos dari sela-sela awan kumulonimbus. Jalanan aspal menyimpan sisa panas matahari yang bersinar terik seharian. 

Kendaraan masih berlalu lalang di jalur utama penghubung antar kota. Pria tua itu nampak berusaha mencegat kendaraan-kendaraan yang lewat. Tangan kanannya melambai-lambai dan tangan kirinya memegang sebatang ranting kayu. 

Begitu yang dia lakukan setiap hari. Dari pagi sampai petang. Sesekali ada pengendara motor yang berhenti. Menepi sebentar. Mengambil rantingnya lalu mengulurkan selembar dua lembar uang. Pernah juga ada yang menukarnya dengan sebungkus rokok. Tentu saja dia senang. Senyuman lebar lantas nampak di raut wajahnya yang legam. 

Entahlah, ranting kayu apa lagi yang dia bawa hari ini, Kadang ranting pohon salam, kadang ranting kersen, kadang ranting cemara. Seandainya pohon trembesi tidak terlalu tinggi, mungkin akan dia patahkan juga rantingnya sebagian. Semua ranting yang dia tawarkan masih segar dan berdaun banyak.

Daeng Sudding, begitu orang memanggilnya. Kerutan di dahinya jelas memberitahukan tentang umurnya yang tak lagi muda. Kulitnya mengkilap kecoklatan seperti khas para petani atau pekerja kebun. Rambutnya yang keriting sebagian memutih. Badannya sedikit kurus dibalut baju koko yang nampak lusuh dan kebesaran. Di saat dia terdiam, tatap matanya kosong. 

Sudah beberapa kali purnama dia selalu berdiri di pinggir jalan raya ini hanya untuk menawarkan ranting-ranting pohon. Saat terik matahari terasa menyengat dia akan beristirahat di bawah pohon atau di dekat excavator yang sedang parkir. Tak jarang dia berjalan pulang. Tak lama kemudian dia akan kembali lagi. Meneriaki pengendara yang lewat sambil menawarkan ranting kayu.

Makanki’, Daeng!” seorang perempuan pemilik warung nasi mendekatinya. Tangannya mengulurkan sebungkus nasi. Daeng Sudding menyambutnya gembira. Sepertinya sudah biasa. 

Rumahnya tak jauh dari situ. Berada di antara puluhan rumah lainnya, Tak jauh pula dari jembatan yang di bawahnya terbentang sungai besar. Sungai deras berbatu-batu dengan tumpukan pasir di pinggirnya. Rumah yang dulu nampak megah, berdinding bata, dan sebagian dipasangi keramik kini terkubur lumpur setinggi pinggang orang dewasa. Nyaris tak bisa lagi diapa-apakan meski sekadar untuk memperbaiki. 

Ada tetangga yang menyarankan untuk sekalian saja meratakan bangunan rumahnya, tapi sungguh berat hatinya. Rumah itu adalah kebanggaannya dulu. Sebelum sungai mengamuk memuntahkan air dan lumpur.

Setahun yang lalu banjir lumpur menerjang dan nyaris menenggelamkan desanya. Rumah itu baru beberapa bulan berdiri megah. Rumah yang susah payah dia bangun dengan mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dari hasil panen kakao dan padi di kampung istrinya. 

Malangnya, tanpa dinyana air bah bercampur lumpur tanpa ampun menerjang. Dinding rumah tak mampu menahan terjangan lumpur. Nyaris tak ada perabotan yang bisa diselamatkan. Semua terkubur air dan lumpur. Kaca-kaca pecah. Sebagian temboknya miring. Hancur sudah. 

Sungguh mengerikan peristiwa malam itu. Hujan deras tak berhenti sehari dua hari sebelumnya. Air sungai penuh dan deras. Warnanya keruh. Lalu dari arah bukit terdengar suara gemuruh. Air sungai pun meluap. 

Tak butuh waktu lama air bercampur lumpur pekat tumpah ruah sampai berkilo-kilometer jauhnya. Teriakan ketakutan dan jeritan bersahutan di malam yang gelap. Semua orang menyelamatkan diri. Berlarian ke jalanan yang lebih tinggi. Basah kuyup. Kotor berlumpur. Dingin. Takut. Mencekam. 

Di negeri ini, tanah dan orang-orangnya yang terluka seolah memanggil banyak orang. Dari berbagai arah mereka berdatangan. Mereka membagi makanan dan pakaian. Mereka juga membangun dapur umum. Alat-alat berat didatangkan untuk mengeruk pasir dan lumpur. Bantuan terus mengalir, tapi pria tua itu tetap tak bisa menyingkirkan luka dan sedih hatinya barang sejengkal. Dia terlalu larut dalam dukanya. 

Sejak malam mengerikan itu, berhari-hari bahkan berminggu-minggu dia menangis. Merutuki nasib yang menimpanya. Terus menangis. Meskipun dia dan istrinya pindah ke rumah anaknya di desa sebelah yang agak jauh, tapi hampir setiap hari Daeng Sudding datang ke rumahnya sendiri. Duduk di depannya dan menangis. Berharap ada sedikit nasib baik. Batinnya memohon-mohon pada Tuhan untuk sedikit saja keajaiban. 

Dari mulut ke mulut dia mendengar bahwa banjir lumpur ini akibat semakin banyak orang yang membuka lahan di perbukitan sana. Harga merica sedang bagus-bagusnya. Kelapa sawit pun serupa emas yang menyilaukan. Orang-orang berbondong-bondong tergiur keuntungannya. 

Banyak orang terciprat rejeki dan tawaran pekerjaan mendadak, Tak terkecuali Daeng Sudding. Dia tak berpikir dua kali untuk mengiyakan tawaran tetangganya yang mengajaknya kerja borongan membuka lahan. Membabati pohon dan semak belukar, lalu membakarnya supaya cepat bersih. 

Perbukitan yang dulu hijau pohon belaka sejauh mata memandang, dalam waktu tak lama nampak gundul dan berganti pemandangan pucuk-pucuk muda kelapa sawit. Padahal Daeng Sudding dan warga sekitarnya sudah sering mendengar Pak Desa memberi pengarahan untuk tidak membabat hutan sembarangan. 

Di kantor desa tak jarang ada penjelasan tentang dampak banjir ke warga. Pak Desa juga rajin membagi bibit-bibit pohon kayu ke orang-orang. Bibit pohon salam, trembesi, cemara angin, pucuk merah, kersen, angsana, dan masih banyak lagi. Tanaman setinggi tiga puluh sentimeter dalam polybag itu dia bagikan percuma. 

Konon kabarnya anak Pak Desa kuliah di Jawa. Dari anaknya, Pak Desa belajar tentang penghijauan dan cara mengembangbiakkan bibit tanaman. Di kantor desa sudah menjadi agenda rutin mengumpulkan warga untuk diajari dan diberi penyuluhan tentang penghijauan. 

Tak banyak yang berminat. Hanya beberapa anak muda yang rajin datang. Mungkin karena mereka masih menganggur dan hanya iseng mencari kegiatan. Selebihnya, warga terlalu banyak alasan untuk tidak hadir.

Setiap kali membagikan bibit tanaman, Pak Desa berpesan pada orang-orang untuk menanamnya di bantaran sungai, di kebun, maupun di sekitar rumah. Toh, hanya sedikit yang mengerjakan. Selebihnya abai. Termasuk Daeng Sudding. Bertahun-tahun seperti itu, tapi Pak Desa seperti tak ada bosannya. Kadang dia turun tangan sendiri untuk menanam barang tiga empat bibit.

“Seandainya dulu kudengar ucapanta’.” katanya mengeluh. 

Pak Desa yang tak lagi menjabat kepala desa hanya menepuk pundaknya. Saling menguatkan. Rumah Pak Desa sendiri terkena banjir lumpur, meskipun tak terlalu parah. Orang-orang masih memanggilnya Pak Desa, sebagai penghormatan padanya. 

Sekarang dia lebih sering berada di kota bersama anak dan cucunya. Kepala Desa sudah berganti orang, dan tak serupa dengan yang lama. Tak ada lagi yang mendatangi rumah-rumah warga membagikan bibit-bibit pohon sambil bercerita tentang penghijauan. Tak ada lagi yang sesekali mengomel sambil ikut berpeluh menanami bantaran sungai. 

Dulu, alasan Daeng Sudding sebenarnya sama seperti warga lain. Malas. Apalagi tidak ada hasil duitnya, buat apa capek menanam. Lebih baik tanam merica yang hasil panennya bisa dijual mahal. Atau tanam sawit yang sedang musim. 

Selain itu, ada satu hal lagi yang terlalu mencolok dari penolakan Daeng Sudding. Dia kerap kali membanggakan kekokohan rancangan rumahnya. Mimpinya selalu diceritakan pada tetangga-tetangganya, tentang sebuah rumah yang akan dibangunnya kelak. Tembok bata yang tebal, keramik yang kinclong, dan paving block di halaman.

Bayangan sebuah rumah modern yang sering dia lihat dari televisi. Dia yakin kalaupun ada banjir dari sungai yang hanya tiga ratus meter dari rumahnya itu, tak masalah buatnya. Rumahnya bakalan tidak apa apa. Bukan hal yang.perlu dirisaukan.

Toh, nyatanya air dan lumpur itu tak hendak mengikuti keyakinannya. Baru beberapa bulan mimpinya jadi kenyataan, takdir berkata lain. Bahkan sampai kini, endapan lumpur setinggi itu tak ada yang mampu mengeruknya. Di saat hampir semua tetangga terdekatnya membangun lagi rumah kayu sederhana, dia tetap bergeming. Membiarkan rumahnya begitu saja dengan segala kenangan dan cerita tentang mimpinya.

Rasa sedih dan kemarahan terlalu jauh menguasai dirinya. Di sudut hatinya juga ada penyesalan. Kecewa yang sangat dalam. Entah kepada siapa. Mungkin pada dirinya sendiri. Mungkin pada tetangganya. Mungkin pada para pengelola lahan sawit dan merica. Mungkin pada pemerintah. Atau bahkan mungkin pada Tuhannya.

Orang-orang mulai curiga ketika melihat Daeng Sudding lebih banyak melamun di depan rumahnya. Mondar-mandir sambil berbicara sendiri. Sesekali menangis sesenggukan. Lalu mereka tak ingat lagi bagaimana awal mulanya Daeng Sudding berdiri di pinggir jalan menawarkan ranting pohon ke setiap pengendara. Ranting segar yang berdaun banyak. Teriakannya jelas dan bisa dimengerti, tapi orang-orang telanjur menganggapnya gila. 

Muhimmah, Ibu tiga anak, tinggal di Sorowako.

[red/han]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *