Site icon ghibahin.id

Sepenggal Kisah Mengantar Anak ke Sekolah

“Semua kendaraan bermotor sebaiknya mengetahui, bahwa ada etika dalam berkendara di jalan raya.”

Setiap pagi suara bising sepeda motor, dan kendaraan lainnya lalu-lalang dari kejauhan terdengar sampai ke halaman rumah kami. Suara bising yang seperti menyoraki diriku setiap pagi, ibarat segerombolan kumbang-kumbang yang sedang terbang mengitari kepalaku ini. Rutinitas ibu-ibu mengantarkan anak ke sekolah di pagi hari yang terkadang indah, tapi seringkali juga penuh drama. 

Sepeda motor yang melaju sangat kencang itu, sering kali kontan membuatku naik darah, dan emosi. Hari masih pagi, tetapi dadaku rasanya sudah penuh lahar panas bak gunung merapi. Seperti pagi ini, kami berdua menunggu hampir 15 menit lamanya, hanya untuk bisa keluar dari gang perumahan sendiri. Raut wajah Aby anak saya sudah tampak gelisah, ia duduk di sebelahku sambil menggelengkan kepalanya.

“Aduh telat nih kita, Mi ….” Aku yang cukup sabar menunggu, dan berulang kali memberikan tanda lampu sen kanan, membuka jendela kaca mobil. Tidak ada satu pun dari sekian banyak sepeda motor itu yang memperlambat laju kendaraan mereka. Padahal beberapa mobil dari arah sana mulai melambat, tapi motor-motor itu terus melaju dengan kencang. Mau bagaimanapun juga, aku tetap tidak berani maju untuk melintas. 

“Sepeda motor itu engga punya rem ya, Mi? Apa barangkali remnya rusak?” Aby berseloroh kesal, dan sudah tidak sabar. Pelan-pelan kuarahkan mobil ke depan, hatiku pun berdebar-debar. Betapa kencang laju sepeda-sepeda motor itu, akhirnya kubunyikan klakson dengan nekad. “Tiiiiiin …!” 

Berhenti semua tiba-tiba, mungkin takut tertabrak juga akhirnya. Situasi pagi seperti ini selalu jadi cerita pengantar setiap harinya. Antara sudah terbiasa, tapi pernah juga misuh-misuh di dalam hati jadinya. 

“Astaghfirullah!” Sambil memegangi dada, sadar karena memaki-maki itu dosa. “Apa berhenti sebentar, menginjak rem itu haram ya?” Batinku terus saja ngedumel sambil memandangi motor-motor yang berkecepatan tinggi itu seakan melayang terbang di jalanan. Mereka berlomba-lomba untuk segera tiba di tujuan. 

Di benak Aby, sepeda motor tidak bisa berhenti, karena remnya rusak. Memberi kesempatan kendaraan bermotor lain keluar, dan menyebrang jalan seolah-olah akan terancam pidana. “Sepeda motor itu Mi, satu-satunya kendaraan yang diciptakan tanpa rem.” Drama pagi hari saat mengantar anak ke sekolah, selalu membuat suasana hatiku jadi ambyar berantakan. 

Sebelum turun dari rumah biasanya aku menghela nafas panjang, dan berdoa meminta perlindungan. Kondisi lalu lintas membuat acara mengantar anak sekolah jadi melelahkan. Para pengendara sepeda motor, meski memang tidak semua seperti yang saya ceritakan di atas, tetapi fakta yang terjadi di jalanan memang demikian. “Sepeda motor itu engga bakalan mau bergantian dengan pengguna jalan lain.” 

Kalau dipikir-pikir ini lingkungan rumah sendiri, masa sekedar keluar dari sini saja menguji nyali.” 

Rupanya anakku punya pertanyaan yang sama. “Pengendara motor itu apa akan terlambat, kalau berhenti walaupun engga nyampe satu menit Mi?” Padahal menurut ibu dan anak ini, semua pengguna jalan itu memiliki hak yang sama. 

Memberi kesempatan kendaraan lain menyeberang, atau keluar dari jalan kecil yang biasa kita sebut gang, adalah salah satu etika dalam berkendara. Mengalah dalam artian memperlambat kecepatan kendaraan, ketika ada kendaraan lain yang akan melintas keluar menuju jalan utama. Istilah “mengalah” setidaknya memperlihatkan karakter diri kita sebagai sesama pengguna jalan raya. 

Sepeda motor selalu enggan untuk mengalah, dan melaju di jalanan dengan kecepatan tinggi. Tentu tidak boleh menghakimi, bahwa semua pengendara sepeda motor itu demikian, tetapi inilah kenyataan yang harus aku hadapi setiap hari. Tidak hanya keluar masuk jalan utama, bahkan di zebra cross sering kulihat pengendara motor sama sekali tidak mau mengalah pada pejalan kaki yang hendak menyebrang jalan.

“Kalau di luar negeri ya Mi, ada hewan seperti kambing, domba mau menyeberang, semua kendaraan pasti jalannya pelan-pelan.” Aby berkomentar, sambil menatap ke jendela, dan melihat pohon-pohon sepanjang perjalanan menuju sekolah. 

Semua kendaraan bermotor sebaiknya mengetahui, bahwa ada etika dalam berkendara di jalan raya. Kendaraan yang datang dari gang, atau jalur kecil menuju jalan utama lebih memiliki prioritas. 

Sebab kendaraan yang masuk, atau keluar dari jalur kecil menuju jalan utama memiliki “keterbatasan”. Keterbatasan karena kendaraan bermotor yang akan keluar dari gang, atau jalur kecil tidak dapat melihat kedatangan kendaraan lain dari jalan utama dengan jelas. Sementara itu, kendaraan yang melintas di jalan utama dengan jelas dapat melihat keluar masuknya kendaraan dari jalur kecil. 

Oleh karena itu, kendaraan di jalan raya utama harus mempersilahkan kendaraan lain melintas menuju jalan raya dengan lancar. Kendaraan apa pun, baik mobil dan motor dari jalur kecil memiliki keterbatasan untuk melihat kendaraan lain yang melintas dari jalan utama. Kendaraan dari jalur jalanan kecil juga sebaiknya, dapat berhenti sesaat sebelum akan melintas. 

“Tidak terasa kita sudah sampai juga di sekolah ya, Nak ….”

Semua pembicaraan tadi menemani kami sepanjang perjalanan dari rumah menuju sekolah. Aby melepaskan sabuk pengamannya, dan berkata, “Seandainya semua pengendara kendaraan bermotor itu mengetahui etika berkendara ya Mi ….” Aku tersenyum, dan sesaat kami berpandang-pandangan saling melempar senyuman. “Selamat belajar ya Aby, I love you Nak.” 

Percakapan ibu dan anak perempuan sudah harus berhenti sampai di sini. Tinggalah seorang ibu yang terus berharap suatu hari nanti, semua pengendara kendaraan bermotor semakin sadar etika dalam berlalu lintas. Di parkiran sekolah aku tetap menunggu sampai Aby memasuki pintu kelas. “Semoga saja besok tak ada drama yang sama seperti pagi ini, iya, semoga saja ….”

Arum Abygail, perempuan yang berharap, belum terlambat untuk jadi penulis.

[red/brsm]

Exit mobile version