Tak Perlu Sempurna untuk Menjadi Cantik

“Namun anehnya, setelah legowo menerima hal yang tak bisa saya ubah, saya justru merasa bangga dengan keunikan struktur geligi saya yang tak serapi iklan pasta gigi.”

“Kamu enggak cantik,” kata sahabat saya (atau sebenarnya hanya teman seperjalanan yang saya anggap sahabat karena frekuensi pertemuan yang cukup rapat), bertahun-tahun yang lalu, di sela-sela perjalanan yang kami lakukan bersama. Meskipun sudah lama berlalu, kalimat itu masih saja membekas dalam benak saya.

Ketika melamar pekerjaan di sebuah perusahaan afiliasi yang berkantor pusat di luar negeri, saya sempat diterima sebagai staf marketing dengan catatan, harus dandan! Ibu HRD yang mewawancarai saya waktu itu sempat menatap saya dari ujung kepala hingga ujung kaki, seperti menelanjangi penampilan saya.

Saya sendiri tidak merasa buruk rupa. Sejak kecil, Ibu saya bahkan mengatakan bahwa saya cantik (belakangan saya baru tahu bahwa semua orang tua pasti memuji anaknya sendiri). Hanya kakak saya satu-satunya yang mengatakan saya jelek bila kami sedang berseteru, tetapi saya tidak pernah menghiraukannya karena ejekannya segera luntur ketika kami kembali akur. 

Sahabat yang menjadi teman seperjalanan saya pada waktu itu adalah perempuan yang sangat memperhatikan penampilan. Dia selalu terlihat cantik dengan wajahnya yang tak pernah sepi dari riasan, dan outfit yang dikenakannya selalu kekinian. Jelas berbeda dengan saya yang tomboy dengan outfit yang ada di lemari alias apa adanya.

Dalam setiap perbincangan, topik yang dibicarakan sahabat saya tak pernah jauh dari penampilan, misalnya struktur tulang wajah. Kebetulan, ada seorang kenalan kami yang memiliki tulang pipi tinggi yang sempurna. Struktur wajah seperti itu membuatnya selalu terlihat cantik meskipun tanpa riasan berlebihan. Berbeda dengan struktur balungan kere … eh struktur tulang yang biasa saja seperti saya.

Namun struktur tulang belulang sebenarnya bukan masalah besar buat saya. Yang terpenting, saya masih memiliki 206 ruas tulang seperti manusia normal lainnya. Itu saja sudah cukup. Saya punya masalah lain yang lebih pelik, yang bahkan sempat membuat saya merasa insecure selama bertahun-tahun, yaitu masalah susunan gigi geligi yang tidak serapi iklan pasta gigi. 

Ketika masih SD, seorang guru yang mengamati pertumbuhan gigi saya menyarankan saya untuk segera memasang kawat gigi, mumpung belum semua gigi susu saya tanggal. Tetapi karena keterbatasan dana, gigi saya dibiarkan tumbuh dengan alami tanpa bantuan kawat gigi.

Menginjak remaja, ketika SMA, saya mulai merasa tidak nyaman. Meskipun ada saja yang mengirim surat cinta (menandakan saya enggak jelek-jelek amatlah ya), tetapi saya tetap tidak memiliki kepercayaan diri karena susunan gigi geligi yang saya miliki.

Akhirnya saya memasang kawat gigi setelah memiliki penghasilan sendiri, meskipun tak terlalu yakin akan hasilnya. Saya menyadari bahwa saya sudah terlambat selama bertahun-tahun untuk melakukannya. 

Pada waktu itu, pemakaian behel sedang menjadi tren di kalangan penggemar fashion, sehingga banyak orang yang tidak memiliki masalah dengan susunan giginya pun memilih untuk memasang behel supaya tidak dianggap ketinggalan jaman. Hal ini membuat motivasi saya memasang behel menjadi sedikit tersamar. Saya tidak terlalu malu memasang kawat gigi pada saat usia sudah merangkak dewasa.

Namun tidak seperti yang saya perkirakan sebelumnya, memasang kawat gigi ternyata memerlukan perawatan yang cukup rumit dan harus telaten. Sebulan sekali, kawat gigi harus dikencangkan lagi, karet bantalannya harus diganti, dan gigi perlu dibersihkan dengan peralatan khusus. 

Tak hanya itu, memasang berbagai perangkat asing dalam rongga mulut itu rasanya juga tidak menyenangkan. Mulut menjadi lebih tebal, bibir susah terkatup, dan jenis asupan menjadi terbatas karena tak semua jenis makanan aman untuk kawat gigi. Keripik singkong, misalnya, adalah jenis asupan yang wajib dihindari karena teksturnya yang tajam. Bisa-bisa remahannya terselip di antara kawat gigi, dan susah dibersihkan hanya dengan menggosok gigi. 

Sebagai manusia yang tidak sabaran, saya hanya bertahan kurang dari satu tahun saja memakai kawat gigi. Jauh sebelum geligi saya serapi iklan pasta gigi, saya sudah melepasnya lagi.

“Yakin behelnya mau dilepas saja?” Dokter gigi saya berulangkali memastikan niat saya melepas behel. Maklum, biaya pemasangannya lumayan mahal, masak mau dilepas begitu saja sebelum terlihat hasilnya?

Saya mengangguk dengan pasti sambil tersenyum dalam hati. Sebenarnya saya juga sempat merasa bimbang. Sehari sebelum memutuskan untuk melepas kawat gigi, saya sempat bertanya kepada orang serumah. Ternyata semuanya mendukung niat saya dengan menyatakan bahwa mereka tidak pernah terganggu dengan susunan gigi geligi saya. Mereka juga prihatin karena melihat saya ‘tersiksa’ dengan kehadiran benda asing di rongga mulut saya itu.

Setelah melepas kawat gigi, sedikit demi sedikit saya mulai membangun kepercayaan diri. Tanpa bantuan behel, sudah jelas saya tidak bisa mengharapkan memiliki susunan gigi yang rata. Saya terpaksa harus mensyukuri saja apa yang ada. Namun anehnya, setelah legowo menerima hal yang tak bisa saya ubah, saya justru merasa bangga dengan keunikan struktur geligi saya yang tak serapi iklan pasta gigi. Tak semua orang ‘beruntung’ memiliki penanda fisik yang unik seperti saya. 

Kini, dengan gigi gingsul ini, saya merasa tetap cantik tanpa harus terlihat sempurna, karena ternyata kecantikan adalah apa yang kita rasakan, bukan apa yang dilihat orang.

Margaretha Lina Prabawanti, Dosen praktisi yang bekerja di perusahaan asuransi.

[red/sk]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *