Aku Memaafkanmu, Bapak

“Kenapa Bapak secepat itu pergi? Padahal kita baru saja bertemu.”

Hai, Pak. Sudah tenangkah Bapak di sana? Atau masih ada hal yang mengganggu ketenangan Bapak?

Pak, maaf, kalau sedikit pun tak ada kenangan bersamamu yang membekas dalam ingatanku. Itu karena Bapak memutuskan pergi meninggalkanku dan Ibu saat usiaku belum genap empat tahun. Saat menuliskan ini, rasanya aku seperti sedang mengobrol dengan Bapak. 

Sungguh, canggung sekali rasanya bagiku. Tapi, banyak yang ingin kusampaikan kepada Bapak. Aku ingin memberi tahu segala hal tentangku, juga tentang perasaanku, yang selama ini Bapak lewatkan. Semoga surat yang kumasukkan ke dalam peti bersama jasad Bapak ini, bisa menemani tidur panjang Bapak.

Pak, jujur saja aku tak menyangka, kalau ternyata Bapak masih mengingatku. Itu sebabnya aku butuh waktu hingga seminggu lebih untuk membalas pesan yang dikirimkan Abdi, melalui akun media sosialku. 

Aku sungguh terkejut saat dia memperkenalkan diri sebagai adikku, anak Bapak dari istri Bapak yang sekarang, lalu menyampaikan kabar bahwa Bapak sedang sakit keras dan sangat ingin bertemu denganku. Sebelum membalas pesannya, aku beberapa kali melihat foto-foto yang ada di sosial medianya, Pak. Ternyata aku punya tiga adik. 

Mereka memiliki paras yang cantik dan tampan, mirip seperti wajah Bapak. Aku juga melihat foto Bapak memeluk mereka. Bapak terlihat sangat menyayangi dan bangga saat merangkul mereka. Apa karena mereka tidak cacat sepertiku, ya, Pak? 

Pak, izinkan aku menceritakan masa kecilku kepada Bapak. Masa kecilku berat, Pak. Dulu, di sekolah maupun di lingkungan rumah, aku selalu menjadi bahan ejekan, Pak. Teman-temanku sering memasukkan tangan mereka ke dalam baju, lalu menggoyang-goyangkan badan hingga lengan baju mereka bergerak bebas, seolah-olah mereka juga tak memiliki tangan sepertiku. 

Oh, iya, aku mau kasih tahu Bapak, kalau dulu aku dan Ibu tinggal di rumah Mbah Uti. Mbah Uti selalu melarangku main dengan anak-anak sekitar rumah. Karena Mbah Uti tahu, anak-anak di sana akan selalu mengejekku, kadang juga tega mendorongku sampai terjatuh. 

Kalau sudah begitu, aku pasti menangis, lalu Mbah Uti akan memaki anak-anak di sana, pernah juga sampai mendatangi orang tua mereka. Setelah itu, sumpah serapah yang ditujukan untuk Bapak akan keluar dari mulut Mbah Uti karena Bapak telah meninggalkan aku dan Ibu, beserta hutang yang Bapak ciptakan. Hampir setiap harinya selalu begitu, Pak.

Kata Ibu, sejak Bapak pergi, Bapak tak pernah lagi menjumpai atau sekadar menelepon Ibu untuk menanya kabar. Apa Bapak tidak ingin tahu kabar Ibu? Ibu tidak pernah menjelek-jelekkan Bapak. Ibu selalu menyuruhku berdoa agar suatu saat nanti, hati Bapak tergerak untuk menemuiku. Ibu sangat menyayangiku, Pak. Sampai Ibu meninggal dua tahun lalu, Ibu tidak menikah lagi. 

Dulu saat aku masih kelas empat SD, ada lelaki yang ingin melamar Ibu. Orangnya gagah, Pak. PNS pula. Tapi Ibu menolak, karena laki-laki itu meminta agar Ibu tak membawaku. Dia ingin aku tetap tinggal bersama Mbah Uti saja. Saat itu perasaanku campur aduk, Pak. Aku senang, sekaligus sedih. 

Senang, karena Ibu tidak meninggalkanku seperti Bapak. Sedih, karena lagi-lagi aku menjadi penghambat kebahagiaan Ibu. Tapi tahukah Bapak apa yang dikatakan Ibu kepadaku? Ibu bilang kalau dia tidak menyesal menolak lamaran laki-laki itu. Dengan syarat yang diajukan lelaki itu, Ibu yakin tidak akan bahagia dengannya. Kata Ibu, bagaimana mungkin Ibu bisa bahagia, kalau aku, sumber kebahagiaan Ibu tidak boleh ikut. 

Sejak itu tak pernah lagi kulihat Ibu dekat dengan laki-laki lain. Mungkin Ibu tak ingin sakit hati lagi karena tak ada laki-laki yang sudi menjadikanku anak. Aku tak heran, Pak. Kalau bapak kandungku saja malu punya anak sepertiku, apalagi orang lain. 

Pak, dulu aku sempat begitu marah kepada Tuhan, karena tidak memberiku sepasang tangan. Dulu aku selalu iri melihat orang bisa memeluk, menggendong, dan bisa memegang apa pun yang mereka mau. 

Dulu, aku benci melihat pantulanku di cermin. Aku menyalahkan takdir yang membuatku terlahir cacat, Pak. Sampai suatu saat ada berita menggemparkan di kampung. Ada seorang Ibu yang tega menyiksa anaknya hingga mati, hanya karena berisik hingga membangunkannya yang sedang tidur siang.

Kejadian itu membuat heboh orang sekampung, Pak. Saat aku melihat Ibu menjahit daster kumalnya, aku tiba-tiba terpikir bahwa nasibku tak sepenuhnya sial. Aku memang tidak memiliki tangan, tapi tangan Ibu selalu melindungiku. 

Aku memang tak memiliki tangan, tapi kakiku lebih kokoh dibanding orang kebanyakan. Yang terpenting dari semuanya, aku memiliki Ibu yang rela berkorban jiwa raga demi kebahagiaanku. Hanya karena tidak memiliki satu hal, aku jadi melupakan banyak hal penting lainnya. Itu menjadi titik balik pergolakan batinku, Pak.

Detik itu juga, aku berjanji kepada diriku sendiri, Pak, bahwa aku harus membalas pengorbanan Ibu. Aku harus menjadi orang sukses hingga Ibu bangga melihatku. Aku juga ingin sukses agar Bapak menyesal telah meninggalkanku. Menyesal, kah, Bapak?

Pak, tadi aku sempat mengobrol dengan istri Bapak. Kata istri Bapak, akhir-akhir ini Bapak selalu mengigau memanggil namaku. Istri Bapak juga bilang, sudah sejak lama Bapak ingin menemuiku, tapi rasa takut dan malu membuat Bapak mengurungkan niat. 

Dulu Bapak pergi karena malu memiliki anak cacat sepertiku, sekarang Bapak malu menemuiku karena dulu pernah meninggalkanku. Sepertinya aku begitu banyak membuat Bapak malu. Lucu sekali, ya, Pak. 

Kemarin aku sempat mampir ke rumah Bapak. Anak-anak Bapak menunjukkanku beberapa koleksi potongan tabloid milik Bapak yang memberitakan tentangku. Ada berita saat laguku menjadi salah satu soundtrack film Hollywood. Ada berita saat aku menerima penghargaan musik dari beberapa kategori. Ada berita saat media mengabarkan berita duka ketika aku kehilangan Ibu. Ada juga berita pernikahanku dan kelahiran anak kembarku.

Sayang sekali Bapak tak sempat mengenal suamiku. Dia pria yang sangat lembut dan penyayang, Pak. Aku bersyukur memiliki laki-laki tulus mencintaiku, Pak. Meski tak ada orang yang mau menjadi bapakku, tapi Tuhan mempertemukanku dengan pria baik hati yang mau menjadi bapak bagi anak-anakku.

Anak-anak Bapak bilang, kalau Bapak sering menangis karena sangat merindukanku. Sakit sekali rasanya, kan, Pak? Itulah yang aku dan Ibu rasakan selama bertahun-tahun. 

Dulu, aku sangat merindukan Bapak. Padahal aku tak ingat sedikit pun tentang sosok Bapak, tapi aku tetap menunggu Bapak. Aku selalu berjanji akan menjadi anak yang baik, seandainya Bapak mau menemuiku. Tapi saat itu tak pernah datang, sampai aku tak lagi mengharapkan kedatangan Bapak. Doaku berubah, dari ingin bertemu Bapak, hingga jangan sampai bertemu Bapak lagi. 

Akan tetapi, Tuhan ternyata punya rencana lain. Kita akhirnya bertemu, meski tak lebih dari satu jam. 

Bapak tahu tidak, kalau jantungku berdebar kencang selama perjalanan menemui Bapak. Aku berpikir keras, apa yang harus kukatakan kepada Bapak. Namun, aku justru tak sanggup berkata apa-apa di hadapan Bapak. Hatiku hancur melihat tubuh Bapak yang begitu lemah. Kulihat Bapak kesulitan bernapas. 

Bahkan, untuk menyebut namaku saja Bapak tak sanggup. Kita hanya saling menatap, sambil meneteskan air mata. Aku ingin sekali memeluk Bapak, tapi seperti yang Bapak tahu, aku tidak punya tangan. 

Kenapa Bapak secepat itu pergi? Padahal kita baru saja bertemu. Aku belum sempat marah kepada Bapak. Aku belum sempat bertanya, kenapa Bapak tidak mencariku lebih cepat. Aku belum sempat mengatakan bahwa aku memaafkanmu, Bapak. 

Istirahatlah, Pak! Istirahatlah dengan damai di sana. Nanti saat Bapak bertemu Ibu, minta maaflah kepadanya. Walaupun aku yakin kalau Ibu juga telah memaafkan Bapak. 

Riau, 30 September 2022.

Eriza R. Saragih, lahir dan besar di Medan. Namun, saat ini tinggal di Riau.

[red/san]

2 thoughts on “Aku Memaafkanmu, Bapak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *