Site icon ghibahin.id

Momong

ghibahin

ghibahin

Memendam hasrat aktualisasi diri demi sepenuhnya membersamai buah hati. Itu semua kerjaan pikiran dan hati.

Seorang ibu muda menunggui anak bermain sambil memandang kosong ke jalanan. Tatapannya menyiratkan jiwa dan raganya sedang tidak berada di tempat yang sama. Raga di mana, jiwanya pun entah di mana. Khas orang yang sedang tidak ‘hadir’, tidak fokus dan kemungkinan besar kurang bahagia.

Aku melihat sosoknya sekilas tapi merekamnya kuat dalam ingatan karena dia sedikit banyak merefleksikan aku ketika anak-anak masih kecil. Ya begitulah umumnya dinamika Mahmud (mamah muda) momong. Badan dan pikiran sering gak sinkron.

Kubayangkan pikirannya sedang berkelana di antara cucian, jemuran, setrikaan, bahan masakan yang menanti eksekusi, lantai penuh ranjau lego yang menguji emosi, isi keranjang marketplace yang sudah 99+ tapi belum juga checkout barang sebiji, lalu ada pula chat mencurigakan di gawai suami dan mungkin omelan mertua tadi pagi. 

Dalam tumpukan aneka beban dan urusan, hasrat aktualisasi diri tak sempat nongol ke permukaan. Di alam bawah sadar dia meringkuk kesepian, lalu diam-diam berjalan di lorong pelampiasan, mencari lubang untuk meledakkan diri. Duarrr!

Ya ampun, imajinasi. Kenapa kau liar sekali.

Tapi memang momong adalah olah raga dan olah jiwa. Dia pekerjaan yang memerlukan kualifikasi hati peri, tenaga kuli, kesabaran nabi, tangan gurita dan mata Philips. Terus terang, terang terus.

Kualifikasi yang bukan main-main, tapi pekerjaannya tampak main-main, dan karenanya gampang disepelekan. Minim apresiasi. Halah cuma momong aja sambat. Lebay, misalnya. 

Yang bikin momong capek banget itu kan sebenarnya bukan kerjaan fisiknya, tapi psikisnya. Olah jiwa.

Meredam hasrat scrolling dan stalking. Mengubur segala kerumitan nun di kedalaman. Memendam hasrat aktualisasi diri demi sepenuhnya membersamai buah hati. Itu semua kerjaan pikiran dan hati. Gak kelihatan tapi sangat menguras energi. Memicu emosi. Senggol bacok. Nginjek lego aja bawaannya jadi pengin makan orang. 

Padahal momong paling optimal jika dilakukan dengan hati yang hadir. Ada. Mindful. Enjoy the present. Feel the moment.

Bisa enjoy the present saat momong itu skill psikologis tingkat tinggi. Priceless. Mahal tak hingga. Bisa kokoh menapak bumi, hadir sepenuh hati, menikmati setiap inchi pertumbuhan dan perkembangan si bocil, itu berharga sekali.

Kelihatan gampang tapi tak mudah. Perlu hati selembut peri dan jiwa seluas samudera. Berdasarkan penelusuranku atas kebiasaanku sendiri, multitasking karena kemudahan teknologi, sedikit banyak juga berkontribusi pada mindfulness para mahmud saat momong bayi. Sudah macam judul skripsi aja ni.

Teknologi zaman sekarang memang memberi banyak sekali kemudahan. Masak nasi tinggal cetek, nyuci baju, nyuci piring tinggal puter tombol, nulis tinggal usap atau bahkan ngomong di ponsel, ngangetin makanan tinggal masukin microwave, dan sebagainya, dan seturutnya.

Saking mudahnya, beberapa pekerjaan bisa dilakukan sekaligus, dan selesai bersamaan. Hemat waktu dan tenaga. Efektif dan efisien.

Masak nasi, nyambi cuci baju dan cuci piring, kelar drakor satu episode. Njemur sambil nyimak Spotify, kelar satu topik podcast. Nyetrika gombalan sak gunung kelar drakor satu season. Nunggu warung kelar satu status dan balesin semua komennya.

Aduhai indahnya dunia. 

Seiring waktu, mengerjakan banyak hal sekaligus dalam satu waktu itu menjadi kebiasaan, pola dan pelan-pelan jadi semacam candu. Multitasking itu memberi sense of fulfillment, karena banyak pekerjaan bisa selesai bersamaan.

Merasa produktif itu memberi sensasi tersendiri. Bahagia, penuh, berguna.

Lalu perlahan, kebiasaan multitasking itu membuat kita sulit bahagia saat ada pekerjaan yang menuntut kita hadir sepenuhnya, tak nyambi apa-apa. Momong itu tadi salah satunya. 

Momong itu kan pekerjaan yang menuntut kita hadir sepenuh jiwa, seutuh raga. Meleng dikit, keselamatan bocil taruhannya. A moment of neglect, could be a lifetime of regret. Sedetik pengabaian bisa jadi seumur hidup penyesalan.

Karena tak bisa disambi, sementara pola multitasking sudah tercetak di otak, momong jadi pekerjaan yang memberi rasa tak produktif, dan karenanya sulit memberi rasa bahagia. Sudah begitu memang tabiat dunia. 

Segala sesuatu ada ongkosnya. Kemudahan multitasking itu salah satu ongkosnya. Ya itu tadi, berkurangnya kemampuan untuk fokus dan mindfull. Menurutku lho ini.

Seperti biasa, kalau sebuah kondisi tak bisa kita ubah, maka persepsi kita atasnya lah yang mesti kita ubah. Ini akan membuat aktivitas biasa jadi punya sensasi heroik. Biasanya. 

Alih-alih menganggapnya sebagai kegiatan non produktif, momong anggap saja sebagai training mindfulness gratis. Nggak perlu bayar mahal ikut pelatihan, kita udah tiap hari dapat yang gratisan. Itu produktif yang lebih dari lumayan.

Hari gini, di tengah gempuran distraksi dari segala lini, mindfulness itu softskill yang penting sekali. Wes to ngandelo.

Buat para Mahmud tukang momong: You and your job are more than precious.

Siti Maryamah.

[red/zhr]

Exit mobile version