Benda-Benda Mati yang Tidak Mati

“Bukannya takut, mereka malah kian menjadi, mereka mengikuti arah jatuh rekannya sambil terus menebar kentut.”

Ratusan malaikat hilir mudik di sebuah ruangan besar di selasar langit tingkat kelima. Mereka sibuk memanggul karung-karung besar dari sebuah truk. Setelah tiba di ruangan, akan ada malaikat yang bertugas membongkar isi karung, mendata, dan menjajarkan di lantai.

Ratusan kilometer jauhnya di depan sana, empat malaikat sibuk membersihkan sebuah singgasana emas. Satu membawa pel, satu lagi membawa sapu, dan dua lainnya mengecek kesesuaian dengan standar kebersihan. Sesekali mereka mencuri-curi pandang pada benda-benda yang dikeluarkan rekan mereka.

“Kijang 4, monitor, apakah singgasana sudah siap?” demikian suara dari handy talkie di saku malaikat yang membawa pel.

“86, sudah.”

Para malaikat tadi lalu mengambil posisi mengitari ruangan dengan sikap sempurna. Beberapa detik kemudian, seberkas cahaya muncul di bagian depan, tepatnya di bagian atas singgasana. Para malaikat memberi hormat secara serentak.

Dua kali tepukan kecil terdengar dari singgasana. Benda-benda di lantai kemudian bergerak-gerak, ada nyawa pada benda-benda tadi. Mereka bahkan bisa saling berbincang!

***

Terompet kiamat telah dibunyikan. Satu milyar tahun cahaya dari tempat berkumpulnya arwah manusia, barang-barang milik para manusia dikumpulkan di sebuah ruangan khusus di langit tingkat kelima. Ada radio, gawai, sandal jepit, hingga aneka senjata dari zaman purba.

Jika saja dikunjungi umat manusia, mereka pasti mengira ini adalah sebuah museum raksasa. Sebab, beberapa waktu lalu ada arwah anak TK yang enggan pergi karena menganggap ruangan ini adalah museum.

“Kok aku di sini? Perasaan aku dulu ditaruh di gudang, deh,” sahut sebuah senapan tua penuh debu. Ia menggeliat, membuat debu di tubuhnya beterbangan.

“Haduh, pak tua bikin batuk aja!” keluh sebuah pistol rakitan.

Si senapan tua tidak terima dikatakan sebagai “pak tua”. Ia lantas membanggakan diri karena berhasil membunuh banyak musuh dalam perang saudara di belahan bumi selatan, sekitar tahun 3970-an.

“Dengar-dengar sih, pemilikku berhasil lolos dari neraka, dia punya jaringan luas,” bisik si senapan pada si pistol sambil menahan batuk.

Di depannya, ada 4 pistol rakitan berjajar mendengar cerita itu dengan malas. Mereka adalah pistol milik para koboi dan bromocorah dari wilayah berbeda di bumi. Lewat pelatuk mereka, belasan manusia telah meregang nyawa. Satu pistol lain bergabung, dia tampak bersih dan terawat. Tentu bukan sembarang pistol.

“Kamu pistol koleksi ya? Kok bersih? Di sini bukan tempatmu, pergi sana!” bentak sebuah senapan serbu.

Si pistol tertawa sinis, ia memperlihatkan gawai, isinya adalah sebuah tangkapan layar kasus penembakan prajurit oleh seorang tumenggung. Kasus itu sudah jutaan tahun lamanya, terjadi di sebuah ibukota kerajaan. Konon, si prajurit mengetahui si tumenggung menjalin cinta dengan perempuan rampasan perang.

“Oh kamu pelakunya,” yang lain mengangguk-angguk dengan berbagai ekspresi.

Di sudut lain ruangan, 10 buah senapan mesin berbisik-bisik dengan bahasa yang sulit dimengerti. Mereka sedang menyiapkan rencana pelarian dan memilih kembali ke bumi untuk menguasai planet yang kini telah kosong.

“Kita akan membajak awan, kamu alihkan perhatian para malaikat!” perintah salah satu senapan.

“Dalam hitungan ketiga. Satu, dua, ti …”

“Diam di tempat!” bentak salah satu malaikat dari atas. Badan si malaikat tiba-tiba membesar, satu kakinya mudah saja menginjak keempat senapan tadi.

“Hey! Ini tidak sesuai SOP! Hentikan!”

“Diam! Kalian tidak usah sok berkuasa di sini!” 

Benda-benda lain terkekeh melihat ulah keempat senapan mesin itu. Kesepuluh senapan itu akhirnya dimasukkan kembali ke karung lalu diduduki salah satu malaikat supaya tidak bisa kabur.

Sembari menunggu antrian, benda-benda saling bertukar kisah selama digunakan di dunia oleh manusia. Beberapa benda mendapat perlakuan keras dari para malaikat, terutama dari golongan senjata api, senjata tajam, dan gawai beraneka ukuran.

Perlakuan berbeda diterima sekelompok senjata berbahan batu dari zaman purba. Mereka diarahkan para malaikat untuk menunggu di ruang VVIP dengan berbagai fasilitas di dalamnya. Arahan itu pun disampaikan ramah, beberapa malaikat bahkan membantu benda-benda yang sudah jompo tadi untuk menerobos kerumunan.

“Hei, boleh aku masuk?” tanya sebuah ketapel kayu, di belakangnya berjajar 5 kerikil. Si malaikat mengernyitkan dahi lalu berbisik dengan temannya.

“Masukkan saja, dia milik seorang bocah yang dulu tidak bisa beli mangga lalu melempari mangga tetangganya,” teriak satu malaikat dari belakang mereka. Ketapel itu meloncat kegirangan lalu berpelukan dengan kerikil-kerikil kecil tadi.

Jauh di depan sana, pengadilan masih berlangsung ramai dan terkadang diwarnai saling sanggah. Beberapa benda protes karena akhirnya harus masuk neraka, termasuk sebuah pintu besi dari sebuah stadion di belahan bumi selatan.

“Siapa suruh kamu tidak mau membuka saat orang-orang itu mau keluar? Sudah sana, ke neraka!” bentak suara dari atas mimbar.

“Sebentar, saya bisa jelaskan semuanya, jangan bawa saya dulu.” Belum selesai ia menyanggah, 2 malaikat sudah menggotongnya untuk melemparkan ke neraka. Empat buah roaster ventilasi tertawa keras melihat pintu itu meronta-meronta saat digotong.

“Sssst, diam, kalian ikut!” ujar suara dari atas mimbar.

“Ha? Kami salah apa?”

“Kalian sudah bantu tersangka kasus korupsi kabur. Malaikat, seret mereka!”

“Sebentar, Yang Mulia, waktu itu dia tidak kabur lewat ventilasi, dia dibantu sipir penjara.”

Malaikat mengangguk-angguk mendengar penjelasan benda-benda itu. Mereka saling berbisik demi memastikan koruptor siapa yang dimaksud. Kebingungan adalah warna lain dari persidangan ini, sebab ada kalanya laporan yang diterima malaikat dengan pengakuan benda-benda tadi berbeda.

“Kayaknya yang ada di ruang nomor 600, deh,” cetus satu malaikat.

“Oh yang di kuburannya dulu ada TV dan kulkas, kah?” tanya malaikat lain.

***

Di sudut tenggara ruangan, sekarung selongsong tabung seukuran botol parfum dikeluarkan. Mereka meloncat-loncat kegirangan setelah jutaan tahun terkurung di karung. Mereka berisik dan beberapa mengeluarkan kentut berupa asap putih yang membuat sulit bernapas. Banyak benda di sekitar mereka protes karena ulah selongsong-selongsong itu.

“Kalian ini siapa? Datang-datang bawa masalah!” hardik sebuah pedang.

“Pergi dari sini, di sini tempat para penjahat ulung, kalian cuma limbah, kan?” sebuah rudal nuklir mengusir mereka. Para selongsong tadi hanya tertawa saja. Mereka beranjak sambil sesekali menebar kentut dan meledek benda-benda lain.

“Kalian tidak tahu saja siapa kami, ya?” ledek salah satu selongsong sambil menjulurkan lidah.

Jengkel, salah satu senapan serbu menendang beberapa selongsong ke arah depan. Bukannya takut, mereka malah kian menjadi, mereka mengikuti arah jatuh rekannya sambil terus menebar kentut.

Supaya situasi kondusif, para selongsong tadi segera dibawa ke depan untuk disidang. Sosok di mimbar tertawa terbahak-bahak melihat ulah para selongsong itu. Mereka memang tampak lucu jika dilihat sekilas.

“Coba ceritakan, kalian ini siapa,” pinta sosok di mimbar. Mereka lantas berebut bicara, malaikat sampai pusing dibuatnya.

“Haduh, salah satu saja. Cepat!” bentak salah satu malaikat.

“Oh oke, kenalin, kami selongsong gas air mata. Kami dikeluarkan pas ada ribut-ribut di dunia.”

“Iya, kami suka kentut,” lanjut salah satu selongsong. “Begini,” ia mempraktikkan. Seorang malaikat mendekat dan menendang bokongnya. Para selongsong lain tertawa.

“Jangan-jangan kalian yang bikin manusia meninggal di bumi selatan tahun 4022 itu?” tanya sosok dari mimbar.

“Iya, kami dipakai waktu itu.”

“Ya sudah, sana ke neraka, kalian sudah bikin banyak manusia meninggal. Malaikat, cepat diurus, antrian masih banyak,” terdengar suara dari mimbar. Para malaikat sibuk memasukkan mereka ke karung. Beberapa mencoba kabur dan menakuti para malaikat dengan kentut. Suasana kembali tidak kondusif.

“Hei, cepat ke neraka, antrian masih panjang,” suara dari mimbar kembali terdengar.

“Bukan kami yang bikin mereka mati,” sahut salah satu selongsong. “Iya, kan si pintu juga sudah dihukum. Dihukum kok bareng-bareng,” sanggah satu selongsong lain.

“Yang Mulia, setiap tempat itu kan ada penanggungjawabnya. Ya minta tanggung jawab sama dia dong. Jujur, kami tidak tahu dasar hukumnya apa jika diminta masuk neraka,” sanggah selongsong paling besar.

Sosok di atas mimbar tertawa keras mendengar sanggahan itu. Ia memerintahkan para malaikat memasukkan selongsong-selongsong itu ke karung dan mengirimkan ke neraka lewat ekspedisi jalur kilat.

“Salam ya buat penghuni neraka,” lanjut suara dari mimbar.

Syaeful Cahyadi, Penulis dan pekerja sosial. Tinggal di Yogyakarta.

[red/han]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *