Protes Ibu-ibu

pexels-thirdman-8923805

Bahkan, di balik kisah heroik tokoh-tokoh dunia pun, mudah kita temukan kisah cinta tragis, penuh ketidakadilan. Mengapa? Supaya kita tidak jengah untuk membaca kisahnya sampai akhir.

Protes merupakan semacam ekpresi ketidaksetujuan, menyangkal, menentang dan seterusnya. Misalnya, Anda tidak setuju dengan pendapat saya, Anda bisa protes, baik secara langsung maupun tidak langsung. Anda juga bisa melayangkan protes berupa bantahan atas tulisan. Misalnya Anda kirim tulisan bantahan ke Ghibahin.id.

Tak hanya itu,  wujud protes  memiliki bermacam corak dan bentuk. Ada orang yang mengekspresikan ketidaksetujuan dengan cara memberi argumen yang berbeda. Ada lagi mengekspresikan ketidaksetujuan dengan unjuk rasa sampai berjilid-jilid. Ada yang saling lempar microphone, lempar kursi, lempar botol air mineral, seperti yang dipraktekkan oleh wakil-wakil rakyat kita. Hehehe.

Protes itu bisa dilakukan siapa saja: anak-anak, remaja, orang dewasa, buruh, karyawan, manajer. Singkatnya, siapa saja pernah melakukan protes, termasuk Anda. Namun, apa jadinya jika protes itu dilakukan oleh ibu-ibu? 

Itulah yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir. Ibu-ibu komplek, ibu-ibu di pasar, ibu-ibu di dapur melakukan protes. Sependek pengetahuan saya, ada dua hal yang diprotes. Pertama, ibu-ibu protes terhadap tayangan Layangan Putus, dan yang kedua perihal naiknya harga minyak goreng. Kalau ada yang ketinggalan, silahkan ditambahkan.

***

Protes yang pertama, saya tidak begitu mengikuti alur ceritanya. Bukan apa-apa, saya hampir tidak pernah menonton tayangan yang dramatis itu, kecuali membaca beberapa cuplikan tulisan yang datang dan pergi di halaman media sosial dan beberapa video singkat yang diplesetkan dari potongan cerita Layangan Putus.

Saya tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang perfilman, saya tidak mengerti apa yang menjadi ukuran baik-buruk dari karya para sineas itu. Namun, saya cukup menikmati beberapa film yang diperagakan oleh Reza Rahardian yang tidak lain dan tidak bukan adalah pemeran utama laki-laki dalam Layangan Putus.

Lalu, apa yang diprotes oleh para ibu itu? Seperti yang Anda tahu, film itu menyentuh hal yang paling sensitif dalam hubungan rumah tangga, apa itu? Perselingkuhan, percintaan segitiga yang melibatkan seorang suami, istri sah dan perempuan selingkuhan suami. 

Hal itulah yang membuat ibu-ibu protes. Mereka memprotes naskah film yang dianggap begitu menyakitkan hati para istri. Sampai-sampai, kabarnya, protes —berbumbu kecurigaan— berlanjut ke ranah rumah tangga, kepada suami masing-masing.

Padahal, jika kita mau membuka mata untuk melihat lebih jauh, kisah asmara berbumbu pengkhianatan, baik segi dua, segitiga, bahkan segi yang membentuk prisma, dengan sangat mudah kita temukan di mana-mana. Bahkan, di balik kisah heroik tokoh-tokoh dunia pun, mudah kita temukan kisah cinta tragis, penuh ketidakadilan. Mengapa? Supaya kita tidak jengah untuk membaca kisahnya sampai akhir. 

Biar tidak bias, saya kemukan satu contoh saja: Samson, manusia super kuat itu. Bertekuk lutut di bawah pengaruh asmara. Padahal kita tahu Delilah tidak tulus mencintai Samson. Bahkan dia melakukan pengkhianatan itu demi uang! 

***

Protes yang kedua, saya temukan di lorong-lorong pasar tradisional, di kios-kios kecil di dekat rumah. Suatu hari, saya mendapat tugas belanja sayur dan kebutuhan dapur. Seperti biasa, setelah membeli santan kelapa langganan saya, membeli beberapa ikat sayur, satu ons cabe rawit dan cabe merah kriting, saya menuju lapak minyak goreng.

“Kosong Bang,” ucap penjual minyak goreng seraya menyebut salah satu merk. Terdengarlah suara beberapa orang ibu memprotes harga minyak goreng. Rupanya, sudah beberapa hari harga minyak goreng naik, dan langsung direspon oleh pasar.

Inilah salah satu penyakit yang belum bisa sembuh total. Dalam skala yang lebih luas, pangan dan kebutuhan pokok belum bisa distabilkan, baik dari sisi ketersediaan, akses, maupun harga. Persoalan pangan tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pasar. Bukan apa-apa, kecendrungan hanya ada beberapa produsen, sementara konsumen terbentang luas dari Sabang hingga Merauke. Jika pemerintah tidak hadir, bisa-bisa harga pangan melambung tinggi.

Ada beberapa sebab naiknya harga minyak goreng. Pertama, naiknya harga Cruit Palm Oil (CPO) di pasar dunia. Hal ini mendorong produsen CPO dalam negeri untuk mengeksport produknya. Satu sisi, besarnya eksport ini memberikan kontribusi terhadap pertambahan nilai eskport Indonesia, di sisi lain menyebabkan terjadinya kelangkaan minyak sawit untuk industri minyak goreng dalam negeri.

Kedua, terjadinya penimbunan minyak goreng. Sebagaimana kata pepatah, di mana ada gula, di situ ada semut. Beberapa pengusaha nakal merespon kenaikan harga minyak goreng dengan cara menahan stock, sehingga menyebabkan kelangkaan minyak goreng di pasar. Jika sudah begini, berlakulah hukum pasar, permintaan tinggi, harga juga ikut naik.

Pemerintah harus mampu memetakan permasalahan minyak goreng ini dan juga untuk berbagai komoditi pangan yang lain. Pemerintah harus mengatur kuota eksport CPO agar tidak mengganggu industri minyak goreng dalam negeri. Pemerintah juga harus intens melakukan pengawasan terhadap perdagangan bahan pangan, jangan sampai terjadi penimbunan bahan minyak goreng.

Lalu, bagaimana dengan protes ibu-ibu tadi? Tenang, saya berada di satu barisan dengan para ibu-ibu, untuk kedua tema protes tersebut. Tapi … jangan sampai, protes-protes di media sosial, di pasar, di kios itu berlanjut ke jalan, ke senayan, apalagi ke istana negara ya.

Bisa Anda bayangkan jika ibu-ibu bersama alat masaknya melakukan aksi unjuk rasa? Bisa game over deh kita. Karena ada pepatah “Ibu-ibu bersatu, tak dapat dikalahkan.” Hahaha.

Alja Yusnadi, Penghuni Kompleks Ghibah Hasanah (KGH) yang sedang Sekolah di Program Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian IPB University

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *