Kedegilan Hati PSSI dan Sumpah Pemuda Pasca Tragedi Kanjuruhan

ghibahin

“..tone-deaf berarti seseorang yang tidak dapat membedakan nada-nada atau tidak bisa menyanyikan nada yang dibunyikan atau didengarnya dengan tepat.”

Ada dua momen yang membuat saya teringat pada Sumpah Pemuda tahun ini. Pertama, adanya surat permintaan dari pemerintah kabupaten kepada gereja-gereja, agar dapat mengutus para pemuda gerejanya untuk menjadi pasukan upacara di hari peringatan Sumpah Pemuda. Kedua, saat saya kebingungan mencari ide tulisan, dan mas Pimred Ghibahin mengingatkan saya, bahwa 28 Oktober kemarin adalah hari peringatan Sumpah Pemuda. Akhirnya, saya pun menulis tentang Sumpah Pemuda, karena ada dua konfirmasi yang menjadi alat bukti sah dan tak terbantahkan. Halah.

Para Sohib yang terkasih, selain tiga butir sumpah yang diucapkan, apalagi yang Sohib ingat tentang Sumpah Pemuda? Kalau saya, dengan mengingat pelajaran Sejarah semasa di sekolah, Sumpah Pemuda adalah momen persatuan para pemuda pemudi yang berasal dari beragam daerah. 

Mereka sepakat untuk mengesampingkan segala perbedaan latar belakang dan kebanggaan suku, etnis, dan golongan, demi tercapainya tujuan yang lebih luhur: persatuan dan kemerdekaan Indonesia. 28 Oktober 1928 pun menjadi angka cantik lahirnya Sumpah Pemuda.

Tiap tahun kita memperingati hari bersejarah tersebut. Namun sayangnya, tahun ini momen Sumpah Pemuda diliputi suasana getir sekaligus sendu, mengingat beberapa waktu lalu ratusan suporter sepakbola meninggal dunia di stadion Kanjuruhan, Malang. 

Para suporter itu, kebanyakan juga berusia muda dan masih memiliki masa depan yang penuh harapan. Mereka harus meregang nyawa di Kanjuruhan. Penembakan gas air mata disinyalir menjadi pemicu terjadinya chaos, yang berujung pada timbulnya banyak korban.

Pemerintah sendiri telah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki fakta-fakta tragedi Kanjuruhan. Hasil penyelidikan TGPF, salah satunya adalah merekomendasikan ketua umum PSSI untuk mengundurkan diri dari jabatannya, karena dianggap ikut bertanggung jawab dalam tragedi tersebut. Selain itu, PSSI diharapkan segera melaksanakan Kongres Luar Biasa (KLB), demi mengevaluasi diri pasca tragedi tersebut.

Yah, apa lacur. Seperti yang SoHib tahu, PSSI sebagai badan yang merasa tidak terikat dengan pemerintah–dan tidak merasa wajib melakukan instruksi pemerintah–menolak mentah-mentah rekomendasi tersebut. Parahnya lagi, ada momen di mana sang ketua umum malah bersepakbola ria dengan presiden FIFA, di tengah suasana duka yang masih menyelimuti dunia persepakbolaan Indonesia.

Para netizen, bukan hanya di Indonesia, menyebut aksi tersebut sebagai aksi nir-empati, tidak peka, dan tidak mau mendengar suara para korban. The Athletic, media olahraga internasional, sampai ikut bersuara terhadap aksi presiden FIFA tersebut. Mereka memberi judul “FIFA President Infantino’s Visit to Indonesia Was Tone-Deaf and Insensitive” pada artikelnya

Saya pun bertanya pada mbah google, dan menemukan bahwa tone-deaf berarti seseorang yang tidak dapat membedakan nada-nada atau tidak bisa menyanyikan nada yang dibunyikan atau didengarnya dengan tepat. Kalau nyanyi, suaranya fals (false), karena tidak sesuai dengan iringan musik. 

Hubungannya dengan PSSI, tone-deaf dapat diartikan sebagai memainkan sesuatu tidak pada tempatnya. Momennya tidak pas. Ngono yo ngono, tapi mbok yo ojo ngono, istilah Jawanya mungkin seperti itu. Sepakbola fun-nya tidak salah, ketawa ketiwinya tidak salah, tapi mbok ya berempati pada para korban juga lah. Gitu kira-kira.

Tragedi, timbulnya korban, dan besarnya atensi masyarakat terhadap tragedi tersebut, sering menjadi penanda munculnya ‘era’ baru. Misalnya, Indonesia dapat dibedakan menjadi Indonesia era sebelum 1965, dan Indonesia pasca 1965, gara-gara peristiwa pemberontakan PKI. Kemudian, masyarakat dunia juga saat ini dapat dibedakan antara generasi sebelum pandemi, dan sesudah pandemi. 

Terbaru, kalau di institusi kepolisian, mungkin juga dapat terjadi pemisahan antara masa sebelum Sambo, dan sesudah Sambo (ya siapa tahu, sesudah peristiwa Sambo terjadi reformasi besar-besaran di tubuh Polri, umpamanya).

Peristiwa di Kanjuruhan pun seharusnya menjadi penanda untuk terjadinya era baru dalam persepakbolaan Indonesia, yaitu era pasca tragedi Kanjuruhan. Era baru yang ditandai dengan perdamaian dan persatuan kelompok-kelompok suporter yang selama ini berseteru. 

Era baru yang ditandai dengan pembaruan SOP (Standar Operasional Prosedur) pengamanan, dari aparat keamanan kita. Era baru yang ditandai dengan revitalisasi stadion oleh para pengelola stadion. Era baru yang juga seharusnya ditandai dengan perubahan paradigma para petinggi dan pemilik klub sepakbola. Dan tentu saja, era baru yang ditandai dengan perubahan radikal dari PSSI tercinta kita.

Melihat sikap yang ditunjukkan para exco, terus terang, saya rada pesimis tentang poin terakhir, mengenai perubahan radikal PSSI. Sikap tidak mau mendengar dan belajar dari kesalahan, dapat disebut dengan degil. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), degil berarti tidak mau menuruti nasihat orang lain, keras kepala, dan kepala batu. Duh, bukannya suudzon, tapi gimana ya, saya kesulitan mencari kata lain untuk menamai sikap PSSI tersebut.

Memang masih ada harapan untuk terjadinya KLB, bila para pemilik klub liga Indonesia bersepakat mengusulkannya. Mas Kaesang Pangarep, pemilik Persis Solo, sudah menyuarakan hal tersebut. Bagaimana dengan klub-klub lain? Apakah mereka juga berani melakukan hal tersebut? Ataukah mereka memilih diam dan cari aman saja? Entah.

Setidaknya, di momen Sumpah Pemuda tahun ini, tak ada salahnya kita masih berharap akan adanya perubahan yang membawa pada kebaikan untuk semua. 

Bila di 1928, Sumpah Pemuda berbunyi,

Kami, putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia

Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Maka, bagi para pengurus PSSI, pasca tragedi Kanjuruhan, bunyi Sumpah Pemuda seharusnya menjadi, 

Kami, pengurus Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia, mengaku berkepentingan yang satu, kepentingan untuk Indonesia saja, bukan untuk mencari cuan.

Kami, pengurus Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia, mengaku bersifat ksatria, siap bertanggungjawab, siap mundur dan siap diganti, bila tidak becus dalam bekerja, tanpa harus diminta.

Kami, pengurus Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia, menjunjung sportivitas, empati, dan perlindungan untuk para suporter, suporter Indonesia.

Selamat memperingati Sumpah Pemuda!

Yesaya Sihombing, suka nonton bola kalau tidak ngantuk.

[red/rien]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *