Site icon ghibahin.id

Nasihat Si Kaya kepada Si Miskin, Layakkah?

ghibahin

ghibahin

“Bolehkah orang kaya yang kebutuhan hidupnya terpenuhi sejak lahir mengajari orang-orang yang secara turun-temurun harus bersusah-payah bertahan hidup?”

Beberapa waktu lalu, terjadi kericuhan di Twitter yang sampai membuat saya penasaran untuk mencari “titik koordinat” sumber permasalahannya. Namun, yang saya temukan justru bukan hal yang membuat saya kaget-kaget amat. Ternyata, kericuhannya disebabkan oleh cuitan salah satu pejabat terkenal, yang lantas ditanggapi ramai-ramai oleh warganet.

“… Meski harga-harga kini sedang meningkat, namun jika kalian pintar dalam mengelola keuangan, saya yakin kalian bisa selamat dan bangkit jauh lebih baik.” Demikian yang Sandiaga Uno cuitkan sebagai tanggapannya dalam meningkatnya harga BBM.

Isu kenaikan BBM memang sudah memanas dan menuai hujatan publik sejak keputusannya pertama diumumkan. Isu ini amat sensitif, dan jika salah langkah dalam menanggapi isu ini, pejabat publik bisa digoreng habis-habisan oleh masyarakat. Dan kiranya inilah yang terjadi pada Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.

Saat membaca cuitan beliau, saya sedikit tergelak. Terlebih ketika saya membuka kolom balasan yang rata-rata dipenuhi komentar yang menyuruh beliau lebih baik diam saja lantaran tak mengerti situasi yang sedang dihadapi rakyat. Fenomena seperti ini memang bukan hal asing lagi bagi kita semua. Selalu ada sentimen tertentu ketika si kaya menasihati si miskin tentang perkara keuangan. 

Hal yang menarik untuk disoroti dari kejadian ini adalah bahwa menteri yang punya banyak bisnis, dan lahir dari latar belakang keluarga yang memang pebisnis, yang mungkin dalam kesehariannya bahkan tak pernah ambil pusing untuk membeli BBM bersubsidi, menasihati rakyat yang jelas punya taraf ekonomi yang tak setara dengan dirinya.

Seakan berusaha keras untuk meyakinkan bahwa, “Saya juga mengalami apa yang kalian rasakan, kok. Semangat, ya,” padahal kenyataannya, untuk mengalami sendiri apa yang dihadapi masyarakat pun mungkin enggan. Tak usah susah payah berempati, untuk mendengarkan pun jarang dilakukan. Bukankah sebenarnya kemarahan warganet hal yang wajar?

Uang memang masalah sensitif bagi semua orang. Kita tak bisa menyangkal kalau manusia berorientasi pada uang. Meski uang bukan sumber kebahagiaan, untuk hidup layak kita tetap perlu uang. Seperti ungkapan yang sering terdengar belakangan, “Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang.”

Tak semua orang bisa beruntung dilahirkan di keluarga kaya yang hartanya tak akan habis sampai turunan kesekian. Bisa lahir di keluarga berkecukupan saja rasanya sudah jadi anugrah paling indah dari Yang Maha Kuasa. Jika mau jujur, tentu tak ada manusia yang ingin hidup susah. Siapa yang mau hidup susah jika bisa memilih hidup yang lebih baik?

Sulit disangkal bahwa lahir dalam keluarga yang kaya ibarat berlomba dengan garis start yang berada jauh di depan dibandingkan para peserta lainnya. Masalahnya, kemiskinan struktural membuat kebanyakan peserta justru berada di garis start yang jauh di belakang.

Kemiskinan bukanlah hal yang bisa diselesaikan oleh sekadar kata-kata motivasi, ia adalah sesuatu yang menyedihkan, bahkan traumatis. Dan lelucon maupun kutipan bijak yang dibuat si kaya sebagai komentar atas penderitaan si miskin, bukanlah hal yang dianggap mengagumkan dan layak menerima riuhnya tepuk tangan. Bahkan, hal ini menunjukkan minimnya empati. 

Kejadian semacam ini sudah sering terjadi di Indonesia. Mulai dari anak pejabat yang menjadi pengisi seminar tentang jangan takut memulai usaha, sampai permasalahan yang barusan kita bahas.

Namun, jika kita luangkan waktu untuk merenung, pantaskah hal semacam ini menuai hujatan?

Bolehkah orang kaya yang kebutuhan hidupnya terpenuhi sejak lahir mengajari orang-orang yang secara turun-temurun harus bersusah-payah bertahan hidup? Apakah hal ini bisa dikategorikan nirempati atau memang murni ingin berbagi? Validkah perasaan kesal warganet terhadap pejabat yang sok menasihati mereka? Atau sebenarnya ini bukanlah masalah yang sebenarnya serius-serius amat?

Jika mau jujur, dinasehati oleh orang yang tak pernah berada pada posisi kita akan selalu terdengar sangat menyebalkan. Hal ini memang sudah sewajarnya kita rasakan sebagai manusia. Bagaimanapun juga, manusia akan lebih mudah untuk dekat dengan orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya, dan punya persepsi tertentu atas orang-orang yang dianggapnya berbeda.

Meskipun begitu, kita tak bisa terus merasa bahwa dunia ini hanya berpusat pada diri kita saja. Akan ada banyak ilmu baru yang bisa kita dapatkan, yang datang dari orang lain dengan latar belakang berbeda dari kita. Dan mau tak mau, kita harus siap membuka diri untuk itu semua. Ya, walaupun sambil diiringi gerutu dan ocehan, mungkin. 

Toh, persoalan duniawi sudah cukup melelahkan. Kalau istilah kerennya, sih, take it with a grain of salt saja. Tak perlu ditelan mentah-mentah, ambil yang sekiranya bisa membantu untuk meningkatkan kompetensi diri. Selebihnya, silakan dikomentari kalau memang dirasa tak pas di hati.

Felicia Wijaya, mahasiswi tapi pengen jadi sapi New Zealand.

[red/bp]

Exit mobile version