Site icon ghibahin.id

Duka di Kanjuruhan, Duka Kita Semua

Ilustrasi Istimewa

“Tragedi dalam sepakbola penyebabnya tidak pernah tunggal. Ada banyak faktor yang berperan dalam kejadian tersebut. Tentu harus ada yang bertanggungjawab, bukan cuma menyalahkan salah satu pihak saja.”

Semalam, sembari nonton pertandingan Liverpool melawan Brighton & Hove Albion, saya misuh-misuh di Twitter. Tentu karena performa buruk pemain Liverpool. Baru menit keempat saja sudah kebobolan. Lalu menit 17 kebobolan lagi. Beruntung, pada menit 33 Firmino mengecilkan ketinggalan menjadi 1–2 sampai turun minum.

Permainan Liverpool sedikit membaik dengan masuknya Luiz Diaz di babak kedua. Terbukti, Firmino berhasil mencetak gol penyeimbang pada menit 54. Kemudian, gol bunuh diri pemain Brighton pada menit 63 menjadikan Liverpool berbalik unggul 3–2.

Kemenangan yang sudah tampak di depan mata akhirnya sirna setelah penyerang Leandro Trossard mencetak hattrick untuk Brighton. Pertandingan pun berakhir seri dengan kedudukan 3–3. Hasil yang mengecewakan bagi fans Liverpool, setelah jeda National Mourning untuk menghormati meninggalnya Ratu Elizabeth pada 8 September lalu dan pertandingan internasional National League serta pemanasan jelang piala dunia..

Selepas nonton Liverpool, seperti biasa saya scroll lagi Twitter membaca komentar dan analisis pertandingan, baik dari akun fanbase atau sesama pendukung Liverpool. Namun, kekecewaan saya atas hasil seri yang diraih Liverpool mendadak berganti menjadi kesedihan yang mendalam. 

Bukan lagi karena Liverpool, tapi karena mendengar banyaknya kabar berseliweran, bahwa ada banyak korban meninggal akibat kerusuhan di Stadion Kanjuruhan Malang pada laga Arema vs Persebaya tadi malam.

Awalnya, banyak orang mengira bahwa kerusuhan ini adalah perseteruan fans kedua kubu yang memang sudah sering terjadi. Namun, dari berita dan kronologi yang saya baca di timeline Twitter, kerusuhan ini kabarnya berawal dari salah satu suporter yang turun ke lapangan mendekati para pemain dan ofisial untuk memberi support atas kekalahan malam itu. 

Saat itu, para pemain dan ofisial Arema sedang berkumpul di tengah lapangan untuk memberi salam tanda terima kasih dan menunjukan gestur meminta maaf atas kekalahan Arema pada pertandingan tersebut.

Namun, tak lama kemudian, suporter yang turun ke lapangan semakin banyak, bukan lagi memberi support kepada para pemain tetapi karena bersitegang dengan aparat. Situasi yang semakin tidak kondusif memaksa para pemain digiring masuk ruang ganti, diiringi lemparan berbagai benda ke arah lapangan.

Karena situasi makin tidak terkendali, aparat berusaha memukul mundur suporter yang masuk ke lapangan agar kembali ke tribun dan keluar stadion. Namun, karena terlalu banyak massa suporter yang turun ke lapangan, akhirnya aparat menembakan gas air mata ke berbagai sudut lapangan. 

Sayangnya, penonton yang masih di tribun pun tidak luput dari tembakan gas air mata. Mereka yang tidak ikut turun ke lapangan dan sedang berusaha keluar stadion, menjadi semakin panik karena terkena gas air mata yang bikin napas sesak dan mata menjadi perih. Masalahnya, dari kabar yang saya dapatkan, tidak sedikit penonton dari kalangan perempuan dan anak-anak, yang juga terjebak di dalam stadion.

Suasana yang penuh sesak menuju pintu keluar ditambah banyaknya lontaran gas air mata ditengarai sebagai penyebab banyaknya korban meninggal. Setidaknya, saat saya menulis naskah ini, nyaris 200 orang terenggut nyawanya dalam insiden ini.

Hati saya mencelos ketika membaca kabar-kabar tentang tragedi ini, yang bisa dipastikan adalah yang terburuk sepanjang sejarah persepakbolaan di Indonesia. Mereka yang pergi ke stadion untuk mendukung kesebelasan favoritnya, malah berakhir meregang nyawa dengan amat tragis.

Sungguh harga yang tidak setimpal jika dibandingkan dengan tujuan menonton pertandingan sepak bola, yang seharusnya bisa memberikan hiburan dan kepuasan bagi para suporter kesebelasan maupun para fans sepak bola itu sendiri. Apalagi, pertandingan ini termasuk big match karena mempertemukan Arema Malang dengan Persebaya Surabaya, musuh bebuyutan satu provinsi yang pertandingannya biasa disebut Derby Jawa Timur.

Perlu ditekankan, kejadian ini bukan kerusuhan antarsuporter. Sejak awal, suporter Persebaya dilarang datang akibat sanksi kerusuhan di stadion Gelora Delta Sidoarjo beberapa pekan lalu. Meski tidak menutup kemungkinan beberapa pendukung Persebaya ada yang tetap menonton, jumlah mereka pasti kalah jauh dibanding suporter tuan rumah.

Sebagai pendukung Liverpool, apa yang terjadi di Kanjuruhan tentu mengingatkan saya pada tragedi Hillsborough. Tragedi yang menewaskan 96 suporter Liverpool itu diakibatkan oleh membludaknya penonton yang masuk ke lapangan. Saat itu, Liverpool bertemu Nottingham Forest di semifinal Piala FA 15 April 1989. Pada 2021 lalu, bertambah satu lagi penonton yang meninggal karena cedera yang didapatkannya dalam tragedi Hillsborough, sehingga jumlah korban tragedi tersebut kini menjadi 97 orang.

Belakangan, dari hasil penyelidikan pada tahun 2016, diketahui bahwa penyebab banyaknya korban adalah kelalaian pihak kepolisian dalam menangani peristiwa tersebut. Awalnya, pihak kepolisian dan pemerintah Inggris mengklaim bahwa pihak suporterlah yang mendobrak pintu masuk stadion. 

Namun, dari hasil investigasi puluhan tahun itu, ternyata justru pihak kepolisian yang membuka pintu masuk sehingga penonton berebut untuk masuk ke dalam stadion. Di saat yang bersamaan, banyak penonton yang sedang berusaha keluar karena panik setelah pagar penonton roboh, membuat penonton berjatuhan dan tumpah ruah ke dalam lapangan.

Mengenang peringatannya saja sudah bikin saya merinding, padahal peristiwa itu terjadi sudah puluhan tahun yang lalu dan jaraknya jauh dari Indonesia. Apalagi sekarang ada tragedi di Kanjuruhan, semakin membuat hari Minggu saya sangat kelabu.

Namun, apapun itu, tragedi dalam sepakbola penyebabnya tidak pernah tunggal. Ada banyak faktor yang berperan dalam kejadian tersebut. Tentu harus ada yang bertanggungjawab, bukan cuma menyalahkan salah satu pihak saja. 

Semua pihak harus menjadi bahan evaluasi bagi semua yang terlibat. Mulai dari regulatornya, dalam hal ini LIB yang mengatur jadwal pertandingan, panpel pertandingan yang menggelar acara dan menyediakan tiket, hingga pihak broadcaster selaku yang menyiarkan, mestinya tidak hanya mengejar rating semata. 

Selain itu, yang justru paling krusial dalam peristiwa kerusuhan seperti ini, aparat mestinya mampu memperhitungkan potensi konflik sejak awal. Saya curiga, mentang-mentang suporter lawan sudah dilarang datang, pengamanan malah kendor dan menggampangkan situasi. 

Aparat harus berbenah, mengkaji kembali SOP dalam menangani massa, khususnya dalam pertandingan penting semacam ini. Apalagi, menurut aturan FIFA, dilarang menggunakan gas air mata apabila terjadi kerusuhan di dalam stadion. Kok, ini gas air mata malah diobral.

Dan yang tidak kalah penting dan selalu diulangi dari masa ke masa, adalah kedewasaan para suporter dalam menyikapi apapun hasil pertandingan klub kebanggaannya. Pihak klub, kesebelasan mana pun itu, mestinya mampu mengupayakan edukasi bagi para suporternya untuk membuat iklim persepakbolaan di Indonesia menjadi lebih sehat.

Semoga insiden ini menjadi tragedi yang terakhir dalam dunia sepak bola, tidak hanya di Jawa Timur atau di Indonesia, tapi di mana pun. Dan semoga semua yang terlibat punya komitmen untuk berbenah, agar sepak bola kita semakin maju dan menjadi kegembiraan bagi para pencintanya.

Saya dan redaksi Ghibahin.id turut berduka cita atas tragedi Kanjuruhan Malang. Semoga semua korban ditempatkan di sisi terbaik-Nya, dan semua yang ditinggalkan mendapatkan ketabahan dan penghiburan. You’ll Never Walk Alone!

Jogja, 2 Oktober 2022.

Amin Fadlillah. Anak gawang Ghibahin.id.

[red/bp]

Exit mobile version