Site icon ghibahin.id

Musibah dan Ekspresi Religius Kita yang Ganjil

pexels-tima-miroshnichenko-5988916

Foto oleh Tima Miroshnichenko dari Pexels

Kita sering meletakkan sesuatu yang seolah tepat dalam sudut pandang religi, padahal sebenarnya tidak

Pasca kecelakaan maut di Balikpapan yang mengerikan tempo hari, sehari kemudian saya mendapati unggahan di laman Facebook teman yang mencubit “nalar religius” saya. Sambil membagikan foto sebuah motor matic warna putih biru yang masih utuh di tengah kendaraan lain yang hancur lebur, teman saya  menceritakan bahwa terdapat pasangan suami istri yang selamat, sehat walafiat, meski keduanya berada di waktu dan tempat kejadian nahas yang sama. 

Kurang lebih, narasinya seperti ini:

“Pada hari dan tempat kecelakaan yang sama menimpa mereka, pasangan suami istri hendak pergi ke toko kue. Hari itu hari Jumat, hari rutin bagi mereka untuk berbagi kue gratis.

Seakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala tahu ada rezeki di sekantong kresek milik mereka berdua yang hendak disedekahkan. Maka luar biasa, qadarullah bungkusan berisi kue itu utuh. Tidak tersentuh atau lecet sedikitpun. Begitu pula dengan pasangan suami istri tersebut, alhamdulillah mereka selamat.

Peristiwa ini menjadi pengingat saya dan kita semua, salah satunya bahwa ketika kita sudah terbiasa melakukan kebaikan dengan ikhlas dan lillah, maka sesuai hadis Nabi bahwa kebaikan berupa sedekah itu bisa menjadi penolak bencana.

Semoga kita selalu diberikan hikmah, kesadaran, dan istiqomah dalam kebaikan, ya, Sahabat… Aamiin… .”

Lalu, segera saja muncul berbagai komentar warganet yang penuh takjub sambil menganjurkan agar kita memperbanyak sedekah, sehingga terhindar dari segala bentuk bencana. Komentar mereka saling bersahutan:

Subhanallah, bukti nyata keajaiban sedekah.”

Masyaallah, tabarakallah. Ayo kita perbanyak sedekah.”

Qadarullah. Kebaikan yang kita perbuat tidaklah sia-sia, walaupun hanya sebesar biji bayam.”

“Syukur alhamdulillah, mereka diselamatkan Allah berkat sedekah.”

Tentu saya di sini bukan dalam posisi menolak keutamaan bersedekah. Komentar tersebut justru menyadarkan saya sepenuhnya bahwa sedekah benar-benar dapat menolak bala’ atau menghindarkan diri dari musibah.

Toh, hadis Kanjeng Nabi Muhammad SAW sudah jelas menyatakan hal itu. Belum lagi kisah keajaiban sedekah orang-orang saleh yang juga banyak bertebaran di kitab-kitab klasik pesantren. Jadi, masalahnya di sini bukan tentang keimanan akan keajaiban sedekah, tetapi lebih soal rasa.

Fokus perhatian saya tentu bukan pada pasangan suami istri yang selamat dari kecelakaan nahas itu, tetapi justru pada korban lain yang kritis, bahkan sampai meninggal dunia. Segera saja muncul pertanyaan di benak saya, lalu apakah mereka yang kritis dan meninggal dunia dalam musibah tersebut bukan ahli sedekah? Saya merasa tidak punya keberanian untuk menjawabnya.

Saya haqqul yaqin bahwa tidak ada seorang pun yang menginginkan tertimpa musibah atau menjadi penyebab musibah bagi orang lain. Tetapi menyuguhkan narasi keajaiban sedekah —yang dapat menyelamatkan seseorang dari bencana— di atas duka yang sama yang dialami orang lain, kok rasanya agak nganu.

Apakah jika seseorang selamat dari bencana selalu disebabkan karena yang bersangkutan ahli sedekah? Kita tentu tidak bisa memastikan. Bisa ya, bisa juga tidak, karena hal semacam ini adalah rahasia Tuhan.

Sama halnya ketika ada seseorang yang kebetulan memusuhi kita tertimpa suatu musibah, apakah itu karena karma akibat menzalimi kita? Wallahu a’lam. Lagi pula, memang kita ini siapa, kok sampai bisa mendatangkan karma bagi orang lain?

Saya sendiri pernah mengalami kejadian serupa. Sekitar delapan tahun lalu, ketika saya berangkat mengajar ke sekolah naik sepeda alias gowes. Saat melipir di sisi kiri jalan raya, tiba-tiba saya diseruduk motor pembawa galon air yang melaju kencang dari arah belakang. Karena hanya menaiki sepeda onthel, tentu saja sepeda saya terpental jauh.

Tapi anehnya, saya tidak jatuh. Sepeda saya sempat “terbang” beberapa meter. Syukur alhamdulillah, sepeda saya justru mendarat sempurna dengan keseimbangan yang tetap terjaga. Mirip atraksi atlet sepeda downhill yang melayang setelah melewati gundukan tanah itu.

Di satu sisi, pengendara motor yang menabrak saya justru nyungsep, babak belur, dan salah satu galon airnya pecah. Dalam hati, saya sempat tertawa. Tetapi kemudian berbalik kasihan ketika mendapati tangan dan kaki si penabrak lecet semua. Segera saya menghampiri dan meminta maaf. Sesaat kemudian saya tersadar, bahwa tak ada seorang pun yang ingin celaka atau menjadi perantara dari suatu kecelakaan. 

Lalu apakah waktu itu saya selamat dari kecelakaan karena ahli sedekah? Seingat saya kok tidak. Bahkan sampai sekarang, saya tidak punya track record sebagai ahli sedekah. Lha wong mengisi kotak amal di masjid saat jumatan saja saya sering kelewatan. 

Saya jadi teringat kisah Syekh Sari As-Saqathi (wafat 253 H./967 M.), sufi besar dari Baghdad. Beliau pernah berkata, “Tiga puluh tahun aku beristighfar, memohon ampunan Allah atas ucapan alhamdulillah yang aku ucapkan meskipun hanya sekali saja.” 

“Lho, bagaimana itu?” tanya seseorang yang mendengarnya. 

“Begini. Suatu hari terjadi kebakaran di Baghdad,” kata Syekh menjelaskan. “Lalu ada orang yang datang menemuiku dan mengabarkan bahwa tokoku selamat tidak ikut terbakar, padahal semua toko musnah dilalap api.”

“Aku waktu itu spontan mengucap, Alhamdulillah! Berarti Allah telah menyelamatkanku. Maka ucapan itulah yang kusesali selama 30 tahun ini. Aku menyesali sikapku yang hanya mementingkan diri sendiri dan melupakan orang lain,” kata Syekh mengakhiri ceritanya. 

Tiga puluh tahun Syekh Sari menyesali ucapan alhamdulillahnya. Beliau menyesal karena sadar —sesaat setelah mengucapkan syukurnya itu— bahwa beliau masih lebih memperhatikan diri sendiri, hingga mengabaikan perhatian terhadap sesamanya.

Inilah yang saya maksud sebagai ekspresi religius yang ganjil. Kita sering meletakkan sesuatu yang seolah tepat dalam sudut pandang religi, padahal sebenarnya tidak. Sama halnya dengan saat kita tertimpa kemalangan, kita segera menyebutnya sebagai takdir Tuhan. Sementara jika mendapat keberuntungan, kita lupa bahwa itu juga atas takdir Tuhan.

Sekali lagi, tak ada seorang pun yang menginginkan terkena musibah atau menjadi penyebab musibah bagi orang lain. Saya percaya itu. Daripada menarasikan sesuatu yang tampak religius, padahal ganjil, lebih baik kita doakan saja para korban. Semoga mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan, dan keluarga mereka semua diberi kekuatan dan ketabahan.

Siapa yang bisa mengira, mereka yang tewas karena mobilnya tergencet itu ternyata sedang menjalankan puasa sunnah, sedang berangkat mencari nafkah untuk keluarganya, atau menjalankan ritual ibadah lain yang tidak bisa kita lihat secara kasat mata? 

Jika itu yang terjadi, bukankah kematian yang mereka rasakan adalah seindah-indahnya kematian, karena menghadap Tuhan dalam keadaan beribadah? 

Muhammad Makhdum. Seorang anggota kehormatan Kompleks Ghibah Hasanah.

Exit mobile version