Tragedi Gontor dan Pentingnya Kontrol Guru dalam Menangani Perundungan di Sekolah

“Betapa memalukannya orang-orang dewasa yang harusnya sudah ajeg dalam cara berpikir masih sempat-sempatnya merundung dan melecehkan rekan mereka yang dianggap lemah.”

Pernah suatu hari, salah seorang anak kami curhat, dia dirundung seorang seniornya di sekolah. Kaget, tentu saja. Apalagi waktu itu dia masih duduk di bangku sekolah dasar. “Anak kecil kok udah ngerti nge-bully,” begitu pikir kami. 

Singkat cerita, kasus tersebut selesai dengan bantuan wali kelas. Perundungan yang terjadi masih kategori verbal, bukan fisik. Sebab, kalau perundungannya fisik, saya sering mengajari anak-anak untuk bisa melawan. “Kalau perlu balas tonjok, tonjok saja!”

Keputusan saya untuk menyarankan anak balas memukul, mungkin akan terdengar sangat ekstrem. Namun, saya tahu sekali bahwa sekolah sejatinya adalah medan pertempuran. Akan selalu ada anak-anak bermasalah yang bernafsu ingin berkuasa di atas yang lain. Perundungan terkadang tidak butuh alasan. Bukan karena si korban melakukan kesalahan, tapi lebih karena si pelaku melihat celah untuk berkuasa, dan si korban dianggap ada di posisi lemah.

Apakah pelaku perundungan hanya para senior saja, ya jelas tidak. Teman sebaya pun bisa melakukannya. Intinya, ketika pelaku melihat celah kekuasaan tadi, dan korban dinilai lemah, maka terjadilah.

Apakah pelaku perundungan hanya yang masih bersekolah saja? Tidak juga. Kita tahu dan sama-sama mengikuti kasus perundungan yang menimpa pegawai KPI tahun lalu. Betapa memalukannya, melihat orang-orang dewasa yang harusnya sudah ajek dalam berpikir, tapi malah merundung dan melecehkan rekan mereka yang dianggap lemah. 

Beberapa waktu yang lalu, saya merasa tertampar dengan kabar meninggalnya seorang santri di Gontor, pesantren besar yang gaung prestasinya terdengar ke mana-mana. Kabar ini disampaikan oleh teman-teman di sebuah grup WhatsApp yang saya ikuti. Hah, Gontor? Kok bisa?

Saya lebih tercengang lagi ketika mengetahui bahwa awalnya, pihak pesantren mengatakan kepada orang tua korban bahwa korban meninggal akibat kelelahan. Luka-luka di tubuh almarhum lah yang akhirnya membuat keluarga meradang dan melaporkan kasus ini.

Tunggu dulu. Pesantren sebesar Gontor berbohong? Hah?

“Mungkin bukan bohong, lebih tepatnya tidak memberitahukan kondisi sebenarnya,” kata seorang teman, dan tentu ini sarkasme. Dalam sebuah tautan berita, disebutkan bahwa pesantren akhirnya mengakui adanya penganiayaan. “Akhirnya”. Sebab sebelumnya mereka tidak mengakui. Hmm.

Lantas, bagaimana nasib pelakunya? Kabarnya, pelaku sudah dikeluarkan dari pesantren. 

Tenggorokan saya kembali tercekat. Bagaimana ini? Sudah tahu ada kasus penganiayaan yang menyebabkan hilangnya nyawa, kok pelaku (yang juga santri) langsung dikeluarkan? Idealnya diusut dulu atuh kasusnya, Pak, Bu…. Kan, saya jadi overthinking, gimana kalau setelah dikeluarkan, si pelaku malah melarikan diri? Duh, suudzon sekali diriku ini.

Pada dasarnya, perundungan terjadi di semua sekolah. Namun, menurut saya, pembedanya ada pada cara pencegahan dan penanganannya. Dulu, ketika masih mengajar di sebuah sekolah swasta Islam di Cimahi, kami sebagai guru juga beberapa kali mendapati kasus seperti ini. Selalu saja ada satu atau sekelompok anak yang mencoba memanfaatkan celah untuk merundung anak-anak lain.

Kontrolnya ada di tangan para guru dan kepala sekolah. Guru-guru harus peka dalam melihat dan mengamati perilaku anak. Seringkali, perundungan tak tampak jelas di permukaan, karena korban biasanya diancam untuk tidak menceritakan perundungan kepada orang lain, apalagi guru. Dan perundungan biasanya berulang, tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi juga setelah jam pelajaran usai.

Contoh di atas adalah jika perundungan terjadi di sekolah umum, yang siswanya pulang ke rumah setelah kegiatan belajarnya selesai. Sekarang, bayangkan jika perundungan terjadi di lingkungan pendidikan yang menganut pola closed-knit, tertutup, eksklusif, seperti halnya di pesantren atau sekolah-sekolah asrama.

Anak-anak pesantren berada di lingkungan yang sama selama 24 jam, setiap hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sampai mereka lulus. Komunikasi anak dengan orang tua dibatasi oleh pihak pesantren, konon demi proses pendewasaan anak. Menurut cerita teman-teman, ada beberapa pesantren yang masih membolehkan santri menelepon setiap beberapa waktu ke orang tua, tapi ada juga yang baru boleh melakukannya setelah satu bulan, tiga bulan, atau bahkan lebih lama dari itu.

Lalu bagaimana nasib anak-anak ini?

Sekali lagi, kontrolnya ada di para guru. Mau tidak mau. Bagaimana mungkin orang tua tega menitipkan anak untuk dilatih mandiri dan belajar dalam waktu sepanjang itu, jika tak ada jaminan keamanan bagi anaknya?

Jika sudah terjadi kasus menyedihkan seperti ini, mau tidak mau, pesantren juga harus mengakui bahwa ada yang luput dari sistem yang mereka miliki. Ada kekeliruan yang tak mampu mereka cegah. Dan tentu saja, ada perbaikan yang harus mereka lakukan. 

Langkah pertama, mestinya, adalah dengan tidak menutup-nutupi kasus perundungan. Sebab, jika mereka malah menutupinya, alih-alih menyelamatkan nama baik lembaga, mereka akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat. 

Akui saja bahwa kasus perundungan memang terjadi. Kemudian lakukan yang terbaik untuk membantu menyelesaikan kasusnya. Jangan sampai masyarakat awam seperti saya jadi berburuk sangka.

Masak harus bawa Hotman Paris dulu dan menjadi viral, baru diproses?

Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.

Irma Susanti Irsyadi, Pendidik dan founder komunitas Nulis Aja Dulu (NAD)

[red/rien/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *