PARENTING: Sudahkah Anda Mendengarkan Ananda Hari Ini?

“Dengan memiliki kelekatan yang baik, meski zaman orang tua berbeda jauh dengan zaman anak, niscaya orang tua dapat tetap membangun pola komunikasi sehat dengan anaknya.”

Setelah anak bersekolah, dinamika dalam kehidupan sosial anak akan menjadi lebih beragam. Konflik dengan anak lain menjadi hal yang sulit untuk dihindari. Biasanya jika konfliknya tak rumit, guru bisa membantu menyelesaikan permasalahan anak dengan temannya secara langsung di sekolah. Namun, tak jarang, konflik kecil yang tak tertangani bisa saja memanjang dan berujung menjadi kasus perundungan.

Untuk melakukan tindakan preventif, kuncinya memang hanya satu. Orang tua perlu bersiap untuk menjadi kanal curhat bagi anaknya. Akan tetapi, perkara curhat antara anak dan orang tua seringnya tak seperti curhat antar teman. Biasanya, yang terjadi adalah orang tua menempatkan diri sebagai seorang senior yang sudah punya banyak pengalaman hidup alih-alih sebagai seorang pendengar yang baik. Padahal, orang tua dan anak perlu berada dalam frekuensi yang sama, agar anak betah curhat dengan orang tuanya.

Tema tentang bagaimana mempersiapkan anak agar tak menjadi korban perundungan sudah banyak dipaparkan. Pun halnya dengan tema tentang mencegah anak agar tak menjadi pelaku perundungan. Kedua tema itu tersaji di berbagai bacaan parenting kiwari dan biasanya hangat dibicarakan di awal tahun ajaran dan masa-masa orientasi siswa. Namun dalam kenyataannya, dunia pergaulan anak di sekolah sangatlah cair. Tidak mudah untuk mengetahui secara persis kapan bibit perundungan muncul.

Tentu tak ada orang tua yang ingin anaknya menjadi korban perundungan. Jelas pula bahwa tak ada orang tua yang ingin anaknya jadi pelaku perundungan. Orang tua pasti berharap bahwa anaknya di sekolah dapat belajar, bermain, bersosial dengan baik dan minim drama. 

Lalu, bagaimana jika akhirnya perkara perundungan menghampiri anak Anda? Apa yang akan Anda lakukan jika Ananda menjadi korban atau bahkan pelaku perundungan? Yang jelas, pertanyaan-pertanyaan itu sulit untuk dijawab dengan singkat karena segala hal terkait perundungan sebenarnya terkait dengan banyak faktor lain. Dan salah satu faktor kunci adalah tentang komunikasi. 

Hampir semua hal terkait dengan dinamika sosial anak berpangkal pada solusi berupa komunikasi yang seharusnya terjalin baik dengan orang tua. Begini korelasinya. Belum lama ini ada yang beramai-ramai membicarakan unggahan Christina Lie tahun 2019 tentang 25 ide pertanyaan kreatif yang bisa ditanyakan orang tua pada anak sepulang sekolah. 

Seusai membacanya, saya merasa bahwa semestinya setiap orang tua di era kini memang melakukan pendekatan pada anak dengan cara-cara yang kreatif. Namun, seni berkomunikasi dengan anak bukanlah hal yang bisa dipelajari dalam semalam. 

Orang tua perlu menyadari bahwa sebelum bicara tentang teknik berkomunikasi, ada soal kelekatan yang lebih mendasar. Rasanya mustahil, orang tua dapat serta merta mengubah gaya berkomunikasinya hanya dengan membaca satu dua artikel parenting kekinian. 

Kelekatan antara anak dengan orang tua dapat dibangun sejak anak berada di dalam kandungan ibu. Sesungguhnya, proses pendampingan tumbuh kembang anak dapat membentuk pola hubungan sehat antara orang tua dan anaknya.

Sayangnya, tak semua orang tua cukup beruntung untuk menyadari bahwa kelekatan antara orang tua dan anak dapat dibangun sejak anak berusia dini. Saat anak masih bayi, terkadang orang tua mengabaikan tangisan bayi, karena menganggap tangisan bayi hanya bermakna rewel saja. Padahal, tangisan itulah cara komunikasi bayi pertama dengan orang tuanya.

Orang tua yang tak terlatih menerjemahkan bahasa anaknya, pada akhirnya akan merasa kesulitan untuk bisa berkomunikasi dengan baik. Seringnya, anaklah yang disebut bermasalah. Tak jarang, ada anak-anak yang disebut sebagai anak yang sulit. Padahal benarkah mereka anak yang sulit? 

Atau sebenarnya masalahnya terdapat pada diri orang tua yang terlanjur terbiasa menerjemahkan suara anak dalam persepsinya sendiri? Dengan orang tua yang seperti itu, anak pun akan kesulitan untuk mengenali dan memberitahukan situasi yang terjadi dalam dirinya. 

Sebenarnya, dengan memiliki kelekatan yang baik, meski zaman orang tua berbeda jauh dengan zaman anak, niscaya orang tua dapat tetap membangun pola komunikasi sehat dengan anaknya. Orang tua dapat membiasakan diskusi sebagai cara berkomunikasi dalam keluarga. Hal ini dapat dilakukan dan dilatih pada anak yang sudah cukup besar. Walau sebenarnya, orang tua sudah bisa memulai latihan berdiskusi sejak anak bisa berkomunikasi dua arah.

Cara untuk berada dalam frekuensi yang sama dengan anak adalah dengan bersedia mendengarkan keluh kesah anak dan mengerem intervensi yang kadang sangat ingin segera dimuntahkan dari mulut. Bukan anak saja yang harus dilatih mengungkapkan isi hatinya, tapi ternyata orang tua pun harus belajar bagaimana mendengarkan dan menangkap apa yang ingin disampaikan anak. 

Berteori memang mudah. Yang sulit adalah berani melakukan tantangan terkait artikel ini. Tantangan untuk diri saya sendiri dan Anda sekalian adalah, berkenankah Anda untuk selalu menjadi pendengar yang baik bagi anak?

Butet RSM, Ibu tiga anak yang masih berlatih mendengarkan anak.

[red/zhr]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *