Site icon ghibahin.id

Mendamba Perhatian Lebih Pemerintah Pada Isu Kesehatan Mental Keluarga

Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels

“Terlihat bahwa isu ekonomi dan kesejahteraan masyarakat belakangan ini makin bertaut erat dengan isu kesehatan mental.”

Meski kasus-kasus bunuh diri masih banyak terjadi, namun kesadaran akan pentingnya kesehatan mental sudah menjadi hal yang umum setidaknya dibanding satu dekade silam. Tentunya hal ini tak lepas dari giatnya para pemerhati kesehatan mental berkampanye dengan masif di media sosial.

Kini banyak psikiater dan psikolog yang gencar berkampanye dengan membuat unggahan yang bersifat simpatik dan edukatif. Hal itu memudahkan para pengguna media sosial untuk memilih akun mana yang cocok dijadikan sebagai mental health influencer bagi dirinya. 

Saya pun melakukannya. Di Facebook, saya berteman dengan beberapa pemerhati kesehatan mental. Saya juga dapat dengan mudah mengikuti beberapa grup support seperti MotherHope Indonesia dan Bipolar Care Indonesia. Meski di kedua grup itu saya hanya pembaca pasif, namun saya sering menemukan banyak hal yang berguna di sana. 

Bulan September, tepatnya tanggal 10 September kemarin, adalah hari pencegahan bunuh diri sedunia. Peringatan ini lebih umum menggunakan bahasa Inggris, World Suicide Prevention Day. Maklumlah yang menggagas memang WHO bersama International Association for Suicide Prevention (IASP). Di Indonesia sendiri, peringatan ini terlihat dikampanyekan dengan gencar oleh para pemerhati kesehatan jiwa. Jika tak melihat unggahan dari dr. Satti Raja Sitanggang SPKJ di laman Faceboook-nya, saya nggak akan tahu ada peringatan seperti itu.

Setelah membaca unggahan Dokter Satti Raja Sitanggang, saya jadi teringat dengan headline yang pernah saya baca dari media online nasional. Berita itu bertutur tentang dugaan percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh seorang Bapak di Kali Opak. Sedihnya, dia tak sendirian. Dia mengajak istri dan anaknya untuk ikut bunuh diri. Untungnya, menurut berita tersebut, warga berhasil mencegah istri dan anaknya terjun ke sungai. 

Perihal percobaan bunuh diri saja sudah merupakan hal yang menyesakkan. Apalagi ditambah dengan informasi soal rencana bunuh diri bersama keluarga. Terpikir di benak saya, pastilah beban keluarga itu sangat berat bagi sang Bapak. Sampai-sampai dia memutuskan untuk menyerah dan mengajak keluarganya bunuh diri.

Hal yang ada dalam berita tersebut semakin sering terjadi, terlebih setelah pandemi melanda dunia. Sebenarnya, banyak orang mulai lega karena pandemi dianggap telah ditaklukkan. Namun, baru lega sebentar, masyarakat dunia dibuat tegang lagi. Inflasi dirasakan di mana-mana. Permasalahan-permasalahan ekonomi ini tentu tak bisa dengan mudah dan cepat “diobati”.

Apalagi di Indonesia yang saat ini masyarakatnya diminta legowo dengan kenaikan harga BBM. Tak terbayang berapa banyak orang yang mengalami eskalasi tekanan pikiran akibat gejolak yang sedang kita alami bersama. Terlihat bahwa isu ekonomi dan kesejahteraan masyarakat belakangan ini makin bertaut erat dengan isu kesehatan mental.

Pemerintah memang mulai lebih serius memperhatikan isu kesehatan mental. Hal ini terlihat dengan tersedianya layanan konseling psikologi di Puskesmas. Namun, apakah itu sudah cukup untuk kebutuhan jangka panjang generasi mendatang? Jawabnya, ya jelas belum cukup. 

Peristiwa percobaan bunuh diri dengan melibatkan keluarga jelas merupakan gejala yang perlu diperhatikan dengan serius. Ada risiko ketika berita itu muncul secara masif di media massa. Risiko pertama adalah munculnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental dalam sebuah keluarga. Hal ini tentu muncul dalam kelompok masyarakat yang sudah cukup melek akan literasi kesehatan mental. 

Sementara itu, risiko kedua adalah kemungkinan munculnya peniru. Hal ini adalah kemungkinan buruk yang sayangnya sangat mungkin terjadi. Meski para pegiat kesehatan mental semakin menjamur, nyatanya belum semua lapisan masyarakat paham akan literasi kesehatan mental. 

Maka, perlu adanya suatu sistem yang terstruktur untuk masuk ke dalam ruang komunal terkecil, yaitu keluarga. Tak hanya cukup dengan upaya meningkatkan layanan konseling psikologi di Puskesmas. Pemerintah sudah harus mulai memikirkan cara untuk memberi edukasi kesehatan mental ke dalam level keluarga.

Hal yang baik sudah terjadi dengan adanya layanan konseling pra pernikahan untuk calon pengantin di tingkat Puskesmas. Memang belum merata di seluruh Indonesia. Namun program itu jelas membawa angin segar untuk mengenalkan literasi kesehatan mental bagi sebuah keluarga baru.

Harapan saya, pemerintah dapat membuat program yang bisa menjangkau keluarga-keluarga lama. Kita tahu, banyak organisasi nirlaba yang telah bergerak di bidang kesehatan mental. Mereka juga berupaya secara masif terutama di platform digital untuk menyentuh lebih banyak generasi muda. Namun, menurut saya, hanya pemerintah yang punya kapabilitas mumpuni untuk bisa menjangkau hingga ke keluarga-keluarga di wilayah terpencil. 

Kesehatan mental memang tak bisa berdiri sendirian. Ia akan bertaut dengan isu-isu lain, seperti ekonomi, budaya, pendidikan, dan sosial politik. Jika dibandingkan bidang lain, membangun kesehatan mental memang tak akan seseksi membangun infrastruktur. Ia juga tak akan memberi profit seperti bidang pariwisata. Namun, membangun kesehatan mental masyarakat akan berguna untuk generasi muda yang menjadi kunci keberlangsungan negara ini. 

Cara yang paling efektif untuk mempercepat peningkatan pemahaman literasi kesehatan mental adalah melalui keluarga. Walau secara komunal, masyarakat jelas telah bergerak sendiri dengan segala keterbatasan sumber daya. Akankah isu kesehatan mental mendapat perhatian dari pemerintah seperti isu-isu lainnya? Semoga saja.

Butet RSM, ibu dari tiga anak yang tinggal di Bantul.

[red/rien]

Exit mobile version