Cinta dari Cappadocia

ghibahin

“Aku tercengang melihatnya. Aku seperti menemukan sesuatu dalam dirinya yang selama ini belum pernah kuketahui. Sikapnya yang tenang dan dewasa itu, darimana asalnya?”

Sosok itu masih sama seperti sosok masa lalu yang pernah menawanku dalam pesonanya yang misterius. Masih gagah dengan tubuhnya yang tinggi tegap. Masih membius dengan tatapannya yang kadang tegas namun bisa menjadi sangat lembut. Masih mampu membuat ritme jantungku lebih cepat dari semestinya.

“Grace ….” gumamnya pelan ketika kami sudah berdiri berhadapan. Tubuh jangkungnya menjulang di depanku ibarat menara, membuatku ciut seketika. Namun pijar di matanya menatapku hangat.

Aku terlalu gembira hingga kehilangan kata. Ada getaran kuat yang menjalari tiap sendi tubuhku, membuatku beku hingga telapak tanganku menjadi sedingin es ketika menyambut uluran tangannya.

Lima tahun ternyata bukan waktu yang pendek untuk melupakan begitu saja semua memori tentangnya. Melihat sosoknya kembali setelah sekian lama hanya bisa melukis bayangnya dalam lamunan membuat semua kenangan indah itu ibarat tsunami yang mengalir tak terbendung.

Aku dan Wisnu memang pernah sangat dekat di masa lalu. Begitu dekatnya hingga aku tak segan memperlakukannya seperti kakakku sendiri. Wisnu pun tak pernah canggung memberiku perhatian berlebih seakan aku benar-benar saudara kandungnya. Dulu aku menganggapnya wajar saja mengingat kami sudah berteman sejak aku masih balita.

Bisa dibayangkan betapa terkejutnya aku ketika tiba-tiba Wisnu menyatakan perasaannya padaku, lima tahun yang lalu. Aku yang selalu menganggapnya sebagai kakak sendiri merasa terpukul dan tak siap menerima kejutan itu.

“Kau merusak persahabatan kita.” Wisnu hanya menatapku nanar ketika kalimat itu kuucapkan dengan kaku. Kalimat itu jugalah yang kemudian mengakhiri persahabatanku dengannya. Sedikit demi sedikit Wisnu mulai menjauhiku. Sikapnya menjadi canggung, bahkan cenderung dingin.

Aku yang biasanya cerewet pun entah mengapa kehilangan kata untuk mencairkan suasana. Aku bahkan membenci Wisnu tanpa alasan. Dan kami menjelma menjadi dua orang asing yang tak lagi bersisian.

“Apa kabar, Grace?” Suara yang dalam dan tegas itu menyentakkanku kembali dari lamunan. Aku memaksakan senyum terbaikku untuk menyembunyikan perasaan.

“Aku baik-baik saja. Kamu sendiri bagaimana?” Sungguh basa-basi klise itu tak seharusnya terucap di antara dua orang yang pernah sangat akrab.

Wisnu tiba-tiba tertawa lebar sambil merentangkan kedua tangan dan memutar tubuhnya bak model pakaian dalam, “Seperti yang kau lihat.”

Aku tercengang melihatnya. Aku seperti menemukan sesuatu dalam dirinya yang selama ini belum pernah kuketahui. Sikapnya yang tenang dan dewasa itu, darimana asalnya? Ternyata lima tahun tak berkabar cukup untuk membuat seseorang berubah.

“Kau sudah punya pacar?” Tanyanya tiba-tiba. Pertanyaan itu membuatku gugup, hingga aku menganggukkan kepala begitu saja tanpa sadar.

“Oh, aku terlambat lagi,” keluhnya di antara tawa yang berderai-derai. Aku tahu ia hanya berniat menggodaku, namun aku dengan gugup menggelengkan kepala, “Bukan begitu … aku … aku ….”

“Aku cuma bercanda, jangan dianggap serius!” Wisnu mencubit ujung hidungku seperti kebiasaannya di masa lalu, membuatku semakin gugup, “Aku tahu kamu sekarang sama Jojo. Kamu bahagia, ‘kan?”

Tatapan Wisnu yang menyelidik membuatku risih. Tanpa kukatakan pun Wisnu pasti bisa melihat kalau aku bukanlah Grace yang dulu, Grace yang pernah membuatnya jatuh cinta. Aku kini adalah Grace yang layu dan kehilangan sinar. Masa remajaku belum lama berlalu, namun keceriaanku sudah lama pergi.

“Siapa yang menyakiti hatimu: Niko, Theo, Jalu, atau bule itu Denise?

“Kau … kau … tahu tentang mereka semua?” Aku tak menyangka Wisnu bisa menyebutkan dengan tepat urutan mantanku. Sejak Wisnu pergi lima tahun yang lalu, aku memang seperti orang kehilangan akal. Aku sering berganti pacar hanya karena bosan. Namun, aku segera memutuskan mereka begitu sadar bahwa aku tak pernah menganggap mereka istimewa. Tak pernah ada yang seistimewa Wisnu di hatiku.

Aku memang bodoh. Setelah Wisnu pergi, aku baru menyadari bahwa hubungan kami sejak semula bukanlah persahabatan biasa. Rasa yang tersimpan di hatiku berbeda dengan rasa sayang adik kepada kakaknya. Namun aku terlambat menyadari perasaanku sendiri dan menyesal telah membiarkan Wisnu pergi tanpa tahu isi hatiku.

Sejak memutuskan kuliah di Cappadocia, Wisnu tak pernah menghubungiku lagi. Sesekali di instastory-nya kutemukan dia tersenyum lepas di antara balon-balon udara yang cantik. Rupanya dia juga bekerja sebagai operator balon udara di sana.

Tak heran Wisnu kini lebih eksotis dengan kulitnya yang legam namun bersinar. Tubuhnya yang dulu kerempeng pun lebih berisi dengan lengan yang padat berotot, membuatku membayangkan perut kotak-kotak di balik kemeja longgar yang dikenakannya.

“Mau aku antar pulang?” Tawaran Wisnu hampir aku saja aku iyakan kalau tidak ingat kalau aku tadi datang bersama Jojo.

“Aku tadi bareng Jojo.”

“Oh, I see… aku juga harus menjemput Lidia ke Gramedia dulu. See you next time,” Wisnu melambaikan tangannya, meninggalkanku sendirian dalam gundah. Entah mengapa aku merasa galau mendengar Wisnu menyebutkan nama perempuan yang tidak aku kenal itu. Siapa Lidia? Pacarnyakah? Bukankah Wisnu belum lama kembali ke Indonesia? Secepat itukah dia mendapat pasangan? Atau jangan-jangan Lidia itu pacar yang dibawanya dari Cappadocia? Ah, aku mengedikkan kepala, berusaha menghalau berbagai pikiran ngawur yang mulai merambati otakku.

***

Sejak pertemuan tak sengaja di Central Park hari itu, Wisnu jadi sering mampir ke rumahku seperti dulu. Seisi rumahku memang sudah akrab dengannya karena rumah kami dulu berdekatan, sehingga kedatangannya ke rumahku pun tak selalu hanya untuk menyapaku saja.

Terkadang ia datang untuk bermain catur dengan ayahku atau sekadar ngobrol santai dengan ibuku. Wisnu memang pintar bergaul dengan orang yang lebih tua. Tak heran ia sudah dianggap anak sendiri oleh orangtuaku.

Sikapnya ini lama kelamaan membuatku gemas. Tak jarang bila ia datang, aku sengaja menghindarinya hanya untuk memancing reaksinya. Wisnu kini sedikit menjaga jarak denganku. Meskipun masih penuh perhatian, namun tak kulihat lagi kehangatan di matanya seperti dulu.

Ia lebih sering mengalihkan pandangannya ketika bicara denganku, tak pernah lagi menatap langsung ke bola mataku seperti kebiasaannya dulu.

 “Wis ….” Kutahan langkahnya di ambang pintu ketika ia sudah siap pergi, usai bermain catur dengan ayahku. Skor pertandingan yang dengan telak dimenangkan oleh ayahku itu membuat Ayah masih terkekeh-kekeh senang di ruang tamu. Suara tawanya yang renyah bergema hingga ambang pintu.

“Ada apa, Grace?” Kali ini aku memaksa Wisnu menatapku. Ada pijar hangat di kelopak matanya yang sempat kutangkap sekilas sebelum ia buru-buru membuang tatapannya.

“Besok ada syukuran di rumah. Kamu mau datang?” Wisnu mengernyitkan dahi mendengarnya, mungkin bingung ada acara apa, “Perayaan ulang tahun kecil-kecilan saja kok, family only,” jelasku.

“Oh. Aku usahakan,” sahutnya datar. Sungguh bukan reaksi yang aku harapkan darinya. Wisnu dulu selalu ingat ulang tahunku dan dia selalu yang paling heboh memberikan kejutan. Sudah lupakah dia bahwa besok adalah hari ulang tahunku?

Malam itu tak sepicing pun kelopak mataku terpejam, padahal aku bukan penderita insomnia. Tiap kali aku berusaha memejamkan mata, selalu bayangan Wisnu menari-nari di benakku. Aku mungkin sudah gila. Sejak Wisnu kembali, aku bahkan sudah memutuskan hubunganku dengan Jojo. Diam-diam aku memang mengharapkan Wisnu kembali padaku. Aku yakin perasaannya padaku tak pernah berubah.

Keesokan harinya, dengan mata merah karena kurang tidur, aku duduk menanti Wisnu di teras rumah. Nasi tumpeng, kue tart, hingga berbagai jenis minuman sudah siap di meja makan. Meskipun kami punya tradisi merayakan ulang tahun hanya bersama anggota keluarga saja, namun kali ini aku memaksa keluargaku menunggu tamu istimewa yang akan datang sebelum aku meniup lilin.

Tak lama mobil Wisnu memasuki halaman. Aku segera mengumumkan kedatangannya kepada anggota keluarga lain yang sudah menunggu. Hari ini Wisnu tampil menawan dengan kemeja berwarna terakota yang cocok sekali dengan warna kulitnya. Rambutnya yang ikal tersisir rapi ke belakang, membuatnya nampak jantan seperti model iklan minyak rambut. Aroma maskulin menguar dari tubuhnya, membuatku tersihir.

“Ayo masuk Wisnu, ajak Lidia dan Soffie juga.” Suara Ibuku mengalihkan perhatianku pada sosok perempuan cantik di belakang Wisnu dan balita dalam dekapannya,

“Soffie cantik sekali hari ini, mirip mama Lidia. Main sama Eyang, yuk.” Ayahku yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangku mengambil balita itu dari gendongan ibunya dan membawanya ke ruang tamu, sesuatu yang jarang dilakukannya karena ayahku bukan tipe orang yang suka bermain dengan anak-anaknya. Namun anak kecil itu menurut, sepertinya sudah akrab dengan ayahku.

Aku hanya terpaku menatap adegan demi adegan yang terjadi di depanku tanpa bermaksud melibatkan diri, ibarat sedang menonton film di Netflix. Tiba-tiba aku seperti mati rasa ketika Lidia mengucapkan selamat ulang tahun sambil mencium pipiku. Aku juga tak tahu harus bereaksi apa ketika Wisnu memelukku dengan hangat dan akrab, seperti kakak kandungku sendiri.

Jakarta, 14 Februari 2022.

Margaretha Lina Prabawanti. Cerpenis dari Salatiga.

[red/san]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *