Kegiatan Membaca Nyaring sebagai Tonggak Literasi Digital Anak-Anak Indonesia

“Membaca dengan lebih ekspresif membuat proses membaca menjadi jauh lebih menyenangkan.”

Semasa saya kecil, Kamis menjadi hari yang paling saya tunggu-tunggu. Hari Kamis adalah waktu ketika bapak saya pulang dan membawakan saya sebuah majalah anak. Ya, majalah Bobo. Bapak saya bekerja di Semarang, tidak bisa setiap hari pulang. Dalam satu minggu, Bapak pulang ke Klaten sekali di akhir pekan atau dua kali seminggu, pada hari Kamis dan Sabtu. Sampai sekarang, saya masih teringat perasaan gembira ketika Bapak pulang dengan membawa sebuah buku baru.

Rasa gembira itu kemudian berkembang. Dari hanya membaca majalah anak, saya mulai mencoba membaca majalah yang lebih “berat”, Majalah Intisari. Saya lahap habis semua bacaan yang dibawakan oleh Bapak, bahkan termasuk surat kabar. 

Saat itu, akses bacaan tidaklah semasif sekarang. Terlebih lagi di Klaten, tidak ada satu pun toko buku berdiri saat itu. Pernah suatu kali ketika saya masih duduk di bangku SD, ada satu toko buku dari penerbit besar yang membuka cabangnya di Klaten. Sayangnya, toko buku tersebut juga tidak bertahan lama. Bagi masyarakat di kota saya, kebutuhan membaca agaknya masih belum menjadi prioritas. Padahal, menurut saya, dari kemauan membaca itulah akan muncul cara berpikir yang kritis, cermat, dan kaya akan perspektif.

Dua puluhan tahun kemudian, rupanya saya masih saja dihadapkan pada persoalan yang sama yang hadir dalam jubah yang berbeda. Saya melihat minat membaca anak-anak di lingkungan saya masih tergolong cukup rendah. Hal ini tentu merupakan PR besar. Terlebih jika mengingat banyaknya kemudahan yang dimiliki anak-anak masa sekarang dalam mengakses bahan bacaan. 

Suka tidak suka, pandemi boleh jadi mengubah tatanan sosial dalam masyarakat. Teknologi informasi dan internet semakin tak terpisahkan dari kehidupan kita, bahkan kita mulai bergantung dan sulit melepaskannya dari genggaman tangan. Tidak hanya orang dewasa saja, melainkan juga anak-anak.

Saya mulai merasa cemas ketika membayangkan, bagaimana jika anak saya tumbuh dengan minat baca yang rendah, padahal harus selalu berhadapan dengan arus informasi yang semakin hari semakin tak terbendung. Apa yang akan dia tangkap ketika melihat berita hoaks bertebaran di media sosial? Apa yang akan anak saya lakukan ketika tanpa sengaja muncul gambar atau video yang ternyata tidak sesuai untuk usianya?

Sebagai seorang ibu, tentu saya merasakan kekhawatiran akan dampak dari hal-hal tersebut. Lantas, bagaimana saya harus menghadapinya? Apa yang bisa saya lakukan? Sementara saya menyadari bahwa sebagai seorang ibu rumah tangga, saya dihadapkan kepada banyaknya “pekerjaan dinas” yang menguras waktu dan energi, meski mungkin untuk sebagian orang pekerjaan itu tidak tampak keren dan prestisius. 

Saya mendapati bahwa persoalan yang dihadapi anak-anak saat ini adalah sulitnya memahami tulisan yang sedang mereka baca, yang juga disebabkan oleh keengganan mereka untuk membaca tulisan panjang. Teknologi membuat banyak orang beralih pada hal-hal yang serba praktis dan cepat. Serba instan. Membaca pun begitu.

Sekarang, orang lebih mudah terengah-engah ketika membaca bacaan yang panjang. Bayangkan jika anak remaja di masa sekarang diminta untuk membuat resensi sebuah novel yang tebalnya lebih dari tiga ratus halaman, tanpa gambar dan ilustrasi apapun. Saya kok yakin, banyak dari mereka akan mengerjakannya dengan asal-asalan. 

Ini juga terjadi pada anak saya. Meskipun saya punya usaha online kecil-kecilan sebagai penjual buku bacaan anak, tidak serta merta anak saya memiliki keterampilan membaca yang mumpuni. Jadi, menurut saya, budaya membaca itu memang seharusnya dipaksakan, tidak bisa lagi hanya sebatas diupayakan. 

Kemampuan membaca sangat berhubungan dengan kecakapan seseorang dalam memahami suatu isu dan permasalahan. Kemampuan membaca sering dikaitkan dengan istilah literasi. Namun istilah ini juga mencakup banyak hal, termasuk literasi digital.

Secara umum, literasi digital bisa diartikan sebagai kecakapan membaca serta memahami bagaimana teknologi informasi dan komunikasi bekerja, termasuk segala dampak dan cara bijak dalam memanfaatkannya. Dari pemahaman tersebut, kita bisa melihat bahwa dorongan membaca mestinya menjadi pilar utama menuju literasi digital. Dengan demikian, sebelum saya terlampau jauh mengenalkan literasi digital kepada anak, ada hal yang harus saya benahi terlebih dahulu, yaitu menumbuhkan minat baca, setidaknya dalam keluarga kecil saya. 

Yang saya maksud sebagai “membaca” mungkin berbeda dari pemahaman orang kebanyakan. Bagi saya, membaca adalah sebuah proses belajar secara terus-menerus untuk memahami suatu hal. Makna membaca bukan lagi sekadar mengerti huruf per huruf dan kata per kata saja. Lalu, bagaimana cara agar anak saya menjalani proses membaca tanpa menyadari bahwa dia sesungguhnya sedang belajar untuk memahami?

Di era digital yang perkembangannya serba cepat ini, anak tidak cukup hanya disediakan bahan bacaan lalu menaruhnya saja di rak atau di samping tempat tidurnya. Para orang tua harus berupaya membuat buku yang tidak bergerak itu menjadi lebih menarik bagi anak-anak. 

Beberapa waktu lalu, saya mengikuti sebuah lokakarya kepenulisan buku cerita anak dan mendapatkan banyak pengetahuan baru. Salah satunya adalah tujuan dari penciptaan buku cerita anak itu sendiri. Buku cerita anak ternyata bukanlah buku yang kontennya ditujukan khusus untuk anak-anak, melainkan sebuah buku yang memuat cerita yang ramah untuk anak. Saya jadi memahami bahwa buku cerita anak yang baik adalah buku yang menyenangkan dan menumbuhkan harapan di dalam hati pembaca ciliknya. 

Saya belajar bahwa seorang penulis cerita anak perlu dengan segenap hati menuangkan pemikiran dan menyejajarkan pandangan dengan pembacanya. Akhirnya, saya memahami bahwa itulah yang harus saya lakukan agar anak saya tertarik untuk membaca buku dan memahami isi bacaannya. Saya harus mau duduk sama rendah dan menyamakan pandangan dengan anak saya. 

Ketika membacakan cerita anak, saya coba membubuhkan beragam intonasi yang sesuai dengan karakter tokoh yang ada dalam cerita. Saya akan menambahkan berbagai informasi yang perlu, meski tidak ada di dalam kalimat cerita. Saya bahkan juga tak malu menirukan suara binatang seperti yang ditampilkan dalam bacaan. Dan benar saja, anak saya tertarik dan dengan mudah memahami isi ceritanya.

Saya mulai sering membacakan buku sebelum anak saya tidur, atau ketika dia hendak menonton video dari YouTube. Satu tontonan artinya bacakan dulu satu buku. Dengan begitu, saya bisa lebih membatasi kelekatannya dengan layar gawai, dan menambah kedekatan hubungan ibu dan anak. 

Suatu hari, saya mendapat ajakan dari seorang teman untuk menginisiasi sebuah klub membaca di kota saya. Rupanya, komunitas membaca nyaring telah banyak didirikan di penjuru negeri. Seorang pegiat literasi senior bernama Roosie Setiawan telah memulainya dengan membangun komunitas membaca nyaring sejak tahun 2008.

Saat ini, ada sekitar tujuh puluh komunitas membaca nyaring yang aktif melakukan kegiatan untuk para ibu (kadang-kadang juga untuk para ayah). Kegiatan ini berupa webinar, live membaca nyaring, kegiatan menulis, diskusi, dan masih banyak lagi.

Tujuan utamanya adalah untuk mengampanyekan budaya membaca ke seluruh penjuru negeri. Hal ini tentunya merupakan kabar yang menggembirakan. Banyak para ibu yang telah aktif terlibat dalam kegiatan ini. Satu sama lain saling berkolaborasi demi meningkatkan literasi anak sejak dini. 

Di tangan para ibu ini, kegiatan membaca menjadi lebih menyenangkan. Terlebih, saat ini ada begitu banyak buku cerita anak digital yang bisa secara bebas diunduh dan dibacakan nyaring oleh siapa saja. Kelompok-kelompok ini diam-diam membesar dan mulai nyaring gaungnya. Ini berarti bahwa kecakapan literasi digital di Indonesia memiliki banyak harapan di masa depan.

Membaca dengan lebih ekspresif membuat proses membaca menjadi jauh lebih menyenangkan. Cara ini tanpa disadari akan memantik cara berpikir anak. Para orang tua dituntut untuk kembali menjadi anak-anak dengan melihat, mendengar, dan merasakan dari bingkai kacamata seorang anak.

Sebagai orang tua, utamanya seorang ibu, proses ini bisa saya mulai saat anak saya berada di atas tempat tidur dan hendak bersiap untuk mendengkur. Dalam bukunya yang berjudul The Read-Aloud Handbook, Jim Trelease mengatakan bahwa seorang anak berhak mendapatkan guru membaca terbaik di dunia dan tidak ada yang dapat melakukannya lebih baik dari orang tuanya. Dan saya sepakat.

Ada banyak nilai yang dapat saya sematkan tanpa harus bersikap menggurui ketika saya menuturkan sebuah cerita. Proses membaca ini tentunya juga akan meningkatkan bonding antara ibu dan anak. Dengan ikatan yang terjalin ini, proses pengenalan pada literasi digital, teknologi informasi, dan segala dampaknya, jadi selangkah lebih maju, bukan?

Sandra Srengenge. Pembakul buku dan penulis cerita anak. Tinggal di Klaten.

[red/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *