Perubahan Makna Mendengkur Dalam Hidup Saya

pexels-johnmark-smith-296817

“Ada sisi transcendental, di mana pada titik-titik tertentu, dengkuran menandakan jarak yang sangat dekat dengan panggilan pulang dari Sang Khalik.”

Mendengkur, bagi kebanyakan orang sering dimaknai sebagai kebiasaan yang memalukan, jorok (bila disertai air liur), dan memuakkan. Sebisa mungkin kita menghindar untuk tidur bersama seorang pendengkur. Lha gimana, niat hati ingin tidur nyenyak, apa daya kenyataan justru tidak tidur semalaman gara-gara terganggu oleh suara ritmis yang menggetarkan rongga telinga.

Kalau saya runut, sedari saya masih kecil, dengkuran telah mengalami ragam perubahan makna dalam hidup saya.

Di masa kecil, saya memaknai dengkuran sebagai sebuah ketertinggalan. Ya, sebagai anak kecil yang mudah ketakutan bila ditinggal sendirian, saya menganggap orang yang mendengkur telah mendahului saya ke alam tidur. Saat masih kecil, saya selalu ingin mendahului orang lain untuk tidur. Alasannya sederhana, saya takut jika harus ‘tertinggal’ sendirian di malam hari. 

Saat itu, saya pernah menonton film horor Indonesia berjudul “Anak Ajaib”. Memori tentang kengerian dan berbagai jumpscare di film itu terus melekat di otak saya. Alhasil, saat malam tiba, saya dibayang-bayangi memori tersebut. Sehabis menonton, saya tidur dengan kakak saya. Sialnya, kakak saya terlebih dulu tidur. Dengkuran kakak saya membuat saya merasa ditinggal sendirian. Jelang pagi saya baru bisa tidur. Dan jujur saja, itu menakutkan. 

Menginjak masa remaja, dengkuran bagi saya berarti gangguan. Ya, sebagai remaja yang labil dan belum matang secara emosi, ketika ada orang ngorok, hal itu saya anggap sebagai gangguan. Apalagi kalau level ngoroknya sudah level dewa. 

Saya pernah tidur bersama teman-teman satu geng di sekolah, dan yang terjadi kemudian adalah konser dan paduan suara berupa dengkuran yang saling bersahutan sama lain. Walau terdengar ritmis sekaligus melodis, tetap saja suara itu tak terdengar merdu di telinga saya. Kadang saya harus menyenggol teman-teman yang ngorok itu, agar suara dengkurnya mereda.

Seiring berjalannya waktu, di kesempatan lain, dengkuran, bagi saya justru dimaknai sebagai suatu kelegaan. Pernah suatu ketika, ayah saya memimpin rapat yang begitu alot, sehubungan dengan pekerjaan beliau. Saya sampai kasihan melihat ayah menerima protes dari sana sini. 

Setelah rapat, saya menemani ayah di kamar, dan tak lama kemudian ayah sudah tidur dan mendengkur. Entah mengapa, saya merasakan kelegaan yang luar biasa – alih-alih gangguan- ketika mendengar suara dengkuran ayah. Saya lega ayah bisa istirahat dengan pulas pasca ‘pendadaran’ yang dialaminya.

Pun demikian, setelah saya menikah dan tidur bersama istri. Di awal pernikahan, dengkuran yang saya hasilkan adalah gangguan bagi istri saya. Ia bisa tersiksa sepanjang malam dan tidak bisa tidur gegara suara-suara tersebut. 

Namun, karena tiap hari menghadapi ‘masalah’ yang sama, akhirnya telinga dan hati istri saya pun beradaptasi secara sempurna. Kini, suara ngorok saya adalah semacam obat tidur bagi dirinya saat susah tidur. Apalagi, saat kami harus berpisah selama beberapa hari, salah satu hal yang dia rindukan adalah suara dengkuran saya. 

Di sisi lain, ada lagi pengalaman saya saat diminta menemani seorang teman untuk menunggui ibunya di rumah sakit. Saya menemani bermain kartu remi, monopoli, catur, sampai kemudian ibu teman saya itu mulai gelisah di tempat tidur. 

Tak lama kemudian, beliau mulai mendengkur, dan setelahnya kesulitan bernafas. Kami segera memanggil perawat jaga. Dalam hitungan menit, beliau meninggal dunia. Peristiwa itu tidak bisa saya lupakan sampai sekarang. Dengkuran bisa sangat dekat dengan kematian, yang berarti juga kehilangan orang-orang tersayang. 

Dan ternyata itu pula yang harus saya alami beberapa bulan yang lalu, saat ayah saya menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit. Selama kurang lebih 2 hari ayah mulai tidak sadar. Meski melek, matanya tidak merespon gerakan tangan yang kami buat di hadapannya. Dia hanya mendengkur dan terus mendengkur.

Rupanya dengkuran itu menjadi tanda persiapan bagi suatu perpisahan. Ada sisi transcendental, di mana pada titik-titik tertentu, dengkuran menandakan jarak yang sangat dekat dengan panggilan pulang dari Sang Khalik. 

Pagi itu dengkuran ayah tak terdengar lagi. Dia telah berpulang. Dia telah mengalami kelegaan dan kedamaian dalam tangan Sang Pencipta. Dia tak lagi terganggu dengan sakit yang selama ini dideritanya. [red/rin]

Yesaya Sihombing, seorang penulis paruh waktu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *