Omong Kosong Toleransi yang Berkeadilan Jika Tanpa Etika

“Menurut saya, masalah di Indonesia adalah darurat etika, yang akhirnya bermuara pada darurat toleransi.”

Georgie T Kadarusman

Saya sama muaknya ketika menghadapi orang-orang yang membenci dan mengolok-olok kelompok yang intoleran terhadap suatu budaya, kepercayaan, akidah, atau apapun itu. Tanpa mereka sadari, mereka hanya menciptakan intoleransi dengan jenis baru, yakni melawan fanatisme dengan fanatisme lainnya.

Fanatisme itu penyakit. Lucu, melawan intoleransi kok menggunakan intoleransi lainnya.

Begitu fanatiknya sebuah kelompok, sehingga mereka lupa untuk berbuat lebih banyak dan berkhidmat untuk masyarakat. Mereka terlalu sibuk memuaskan narasi kelompok. 

Urusan toleransi seharusnya sudah selesai dibicarakan sejak puluhan tahun silam. Persoalannya, apa sih salahnya menjadi lain? Sebagaimana juga, apa sih salahnya menjadi seragam?

Di dalam dunia politik dan masyarakat Indonesia, kita melihat bahwa menjadi lain dan menjadi seragam betul-betul merupakan persoalan. Karena berada dalam seragam yang satu, pasti berarti tidak termasuk dalam seragam yang lain. Menjadi lain salah, berseragam juga dianggap lain.

Menjadi pribadi di luar seragam adalah risiko yang ditanggung sendiri. Seperti mengurai lepas rambut lebat panjang di tengah para perempuan berhijab syar’i. Atau sebaliknya, berhijab syar’i di antara para perempuan berbaju adat dan bersanggul tinggi. Semuanya serba salah.

Hidup di Indonesia bagaikan tersesat di belantara. Berlaku hukum rimba, siapa yang kuat itulah yang menang. Tak jarang, hukum negara bertabrakan dengan hak dasar kemanusiaan. Dan keduanya telah lama saling membenci, dan ini susah disembuhkan.

Sedihnya, hal ini diperparah dengan orang-orang yang gemar mengatasnamakan agama. Agama lebih sering dimanfaatkan daripada bermanfaat. Atmosfer spiritual menjadi tipuan kesalehan, dipraktikkan pada skala yang demikian masif.

Padahal Indonesia adalah negara yang didasarkan pada kesepakatan dan demokrasi yang dilandasi semangat menjamin kebebasan pribadi, kesetaraan, dan persaudaraan. Menurut saya, masalah di Indonesia adalah darurat etika, yang akhirnya bermuara pada darurat toleransi.

Etika sebagai prinsip yang bersumber dari fitrah, sebagaimana prinsip logika tentang kebenaran dan kesalahan, diimani oleh setiap individu manusia dari ragam agama. Bahkan yang tak percaya agama dan yang mengaku tak bertuhan pun mengafirmasinya.

Berita pemerkosaan yang masif terjadi di institusi-institusi berkedok pendidikan agama adalah pelanggaran etika seorang guru, yang seharusnya digugu dan ditiru. Begitu pula kasus intimidasi dan pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah negeri. 

Kekerasan verbal bahkan terjadi pada anak-anak yang masih duduk di sekolah dasar. Pemberitaan tentang hal-hal tadi hanyalah fenomena gunung es. Kita hanya melihat setitik ujungnya aja, tapi tak sanggup melihat bongkahan raksasa di bawahnya.

Konflik pendirian tempat-tempat ibadah juga masih terus terjadi. Sudah terpenuhinya syarat perizinan bukan jaminan untuk menghentikan penganiayaan, perusakan, dan pembakaran dari mereka yang tak setuju dengan keberadaan tempat-tempat ibadah itu. 

Belum lagi pelarangan kegiatan-kegiatan keagamaan dan tradisi yang dianggap tidak sejalan dengan kebenaran kelompoknya, tiap tahun semakin panjang saja daftarnya. Etika menghargai kebebasan individu sebagai sesama manusia saja minus, boro-boro menghargai sebagai sesama warga negara.

Makanya, bagi saya, selama agama yang memegang kendali “pentas” di negara yang kita cintai ini, toleransi yang berkeadilan di Indonesia itu omong kosong belaka.

Dirgahayu Indonesia. Cintaku padamu istimewa.

Georgie T Kadarusman. Interior designer penyuka kopi tubruk.

[red/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *