Site icon ghibahin.id

Ngantri Pertalite: Mental Miskin atau Beneran Miskin?

Foto oleh Piccinng dari Pexels

“Orang bermental miskin selalu merasa tidak memiliki, selalu kekurangan dan keinginan yang tidak terpenuhi.”

Sejak pertamax mengalami kenaikan penyesuaian harga beberapa bulan lalu, antrian kendaraan di SPBU, jadi tampak kontras. Kendaraan yang mengantri BBM jenis pertalite, jadi lebih panjang dari biasanya. Kalau lagi rame, antriannya mengular sampai ke luar SPBU. Kita butuh sekitar 15 sampai 20 menit untuk mendapatkan Pertalite. Emang waktu yang cukup lama, tapi sedikit terobati dengan selisih harganya yang hampir lima ribu rupiah per liter. Belum lagi kalau belinya sepuluh liter, selisihnya lebih dari cukup buat makan siang. 

Awalnya saya menduga, antrian pengendara yang membeli Pertalite, hanya terkait masalah ekonomi. Seperti kita ketahui, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), akibat gempuran pandemi Covid-19 jumlah warga miskin di Indonesia meningkat lebih dari 2,7 juta jiwa. Hal ini tentu saja berdampak pada penurunan daya beli masyarakat.

Tapi, kemudian saya berpikir ulang, ketika melihat fakta unik banyak kendaraan cukup bagus dan keluaran baru, ikut-ikutan ngantri Pertalite. Justru ada kendaraan yang umurnya lumayan uzur malah ngantri Pertamax. Saya berpikir, mungkin seseorang memutuskan beli Pertalite atau Pertamax, ada kaitannya dengan mental dan cara pandang. Bukan semata-mata didasari faktor keuangan, pendapatan atau harta yang dimiliki seseorang. 

Dari situ, setidaknya saya membagi para pengendara yang mau ngisi BBM menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok kebanyakan (mungkin termasuk kita). Kelompok yang selalu bilang “eh ngapain sih beli Pertamax, mahal kali.” Kelompok kedua adalah penganut time is money.

Bagi kelompok kedua, waktu adalah komoditas yang begitu berharga. Tentu mereka tidak mau menukarnya begitu saja dengan value yang tidak setara. Memang Pertalite lebih murah dari Pertamax.

Tapi rasanya kurang fair kalau membandingkan keduanya, hanya karena yang satu lebih mahal dari lainnya. Mengapa harga suatu produk berbeda? Pasti ada alasan yang melatarbelakanginya dong. Ok, pertalite lebih murah, tapi apa ia lebih irit? Di situlah kita perlu riset. 

“Riset adalah habit-nya orang kaya.” Begitu kira-kira, yang dikatakan content creator youtube yang saya tonton beberapa hari lalu. Orang yang memiliki mental kaya (inget yah mental kaya, belum tentu orangnya beneran kaya) akan melakukan riset sebelum memutuskan membeli sesuatu. Ia akan membandingkan harga sebuah produk dengan melihatnya dari berbagai sisi. Memang jadinya tidak simple.

Misalnya dalam perkara Pertamax versus Pertalite. Mengapa Pertamax lebih mahal, karena Pertamax memiliki nilai oktan yang lebih tinggi. Jadi meski harganya mahal, dari sisi efisiensi, pertamax RON 92 jauh lebih irit jika dibandingkan dengan Pertalite RON 90. Hal ini karena efektifitas kinerja mobil jadi jauh lebih hemat.

Hasil pengujian, satu liter Pertamax dapat menempuh jarak yang lebih jauh dibanding jarak tempuh satu liter Pertalite. Perbedaan jarak tempuh per liter (km/liter), membuat Pertamax secara cost per use lebih unggul dibanding Pertalite. 

Iya sih selisih cost per use tidak seberapa. Tapi, ada tool lain yang biasa digunakan untuk membandingkan dua buah produk. Kita bisa bandingkan dari sisi Return on investment-nya. Jadi Return on investment (ROI) adalah rasio antara keuntungan atau kerugian dari suatu investasi berbanding dengan jumlah uang yang diinvestasikan. Dengan demikian kita bisa menyimpulkan apakah investasi kita menguntungkan atau tidak.

Ketika memilih Pertalite, kita mendapatkan keuntungan secara instan, sebagai konsekuensi dari harganya yang murah. Sialnya nilai oktan Pertalite yang rendah, bisa menyebabkan jumlah residu yang cukup banyak. Efek jangka panjangnya adalah bisa mengakibatkan munculnya kerak di ruang bakar. Hal ini selain akan menurunkan performa kendaraan, juga berpengaruh pada umur engine. Kalau benar seperti itu, artinya secara ROI menggunakan Pertalite tidak menguntungkan. 

Nah loh, kok urusan memilih bahan bakar jadi ribet begini yah.

Sebenarnya ribet atau tidak, kembali lagi kepada cara pandang seseorang. Buat orang yang bermental miskin pasti ribet, karena mereka sukanya hal-hal yang instan. Orang bermental miskin selalu merasa tidak memiliki, selalu kekurangan dan keinginan yang tidak terpenuhi. Cara pandang inilah kemudian yang melahirkan banyak persoalan di tengah masyarakat. 

Misalnya bagaimana money politics tetap jadi jalan ninja yang paling efektif untuk untuk meraup suara. Mengapa ada masyarakat yang suaranya bisa ditukar dengan uang? Jawabannya adalah karena mental miskin. Masyarakat dengan mental miskin pasti akan lebih tertarik dengan uang seratus ribu yang dibayar hari ini, daripada visi misi dan arah kebijakan seorang kontestan bila ia menang. 

Pemilihan Pertamax versus Pertalite hanya salah satu contoh, bagaimana cara pandang mempengaruhi tindakan seseorang. Sementara dalam hidup ini, setiap saat kita dihadapkan pada pilihan-pilihan. Mulai dari persoalan pribadi sampai persoalan politik. 

Cara pandang seseorang yang bermental miskin, mungkin akan berubah setelah membaca literatur ilmiah atau penjelasan yang logis. Namun beda cerita bagi seseorang yang beneran miskin. Omong-kosong cost per use-nya pertamax “menang” dibanding Pertalite. Atau Return on invesment-nya lebih menguntungkan.

Apa daya kalau di kantong hanya cukup untuk beli Pertalite. Malu juga kan kalo beli pertamax tapi cuma setengah liter. Mau tidak mau kita harus beli Pertalite, meski harus ngantri sambil panas-panasan. Itulah jawaban kenapa antrian Pertalite tetap panjang.

Roy Waluyo. Pengajar yang suka menulis, tinggal di Bogor

[red/yes]

Exit mobile version