Penari Dini Hari

“Dialah yang selama ini membuat hidupku berwarna dengan beragam ide yang terus mengalir dari kepalanya yang mungil, seakan tak pernah kehabisan cerita.”

Untukmu yang tak pernah tahu siapa aku.

Kata orang, kau hanyalah sebungkus kenangan tanpa kesan. Seperti batang tebu yang hanya perlu sekali isap, kemudian ditinggalkan sebagai sepah yang tak lagi menjejakkan rasa. Jelas tak setara dengan dirinya yang selalu berwarna, ceria, dan luar biasa. 

Namun, aku tak setuju. Bila ada yang bertanya apakah lebih baik kenangan tentangmu dibuang saja karena tak berguna, sudah pasti aku akan menolaknya. Menurutku kau justru menyimpan terlalu banyak rasa, yang sayangnya, hingga hari ini pun masih menjadi misteri yang terlalu sulit aku definisikan.

Aku melihatmu tanpa sengaja pada pagi yang belum sempurna, dengan rekah cahaya yang masih berebutan dengan gulita di cakrawala. Aku tengah bersandar di jendela apartemen berlantai tiga puluh dua, persis di seberang apartemenmu yang berlantai lebih rendah. 

Aku memang tak terlalu jelas melihat wajahmu, namun postur tubuhmu yang semampai terbayang dalam apartemenmu yang benderang. Aku sendiri sengaja tak menyalakan lampu setelah terbangun dini hari itu.

Insomnia sialan ini sudah terlalu lama mengikutiku. Aku hanya bisa terlelap sebentar sebelum tengah malam dan terbangun dini hari tanpa bisa tidur lagi. Sejak dia yang selama ini membuat hidupku berwarna telah pergi membawa hatiku, aku ditingalkannya sendiri berkawan insomnia sialan ini.

Mulanya aku tak terlalu memperhatikanmu. Kau dengan kegiatanmu meliuk-liukkan tubuh di depan jendela pada dini hari itu, menurutku sangat aneh. Mengapa kau tidak tidur saja pada jam di mana kebanyakan orang tengah bergelut dengan mimpinya masing-masing? Apakah kau juga penderita insomnia sepertiku? 

Namun semakin kuamati, gemulai tubuhmu mulai mengingatkanku padanya. Dia juga suka menari sepertimu, meskipun tak pernah melakukannya pada waktu yang aneh sepertimu yang menari dini hari.

Dia juga punya perawakan yang langsing sepertimu. Tariannya pun serupa tarianmu. Sayang sekali aku tak bisa melihat wajahmu. Jarak jendela apartemen kita telalu jauh. Apartemenmu di tower A, sedangkan aku di tower B. Di bawah sana, di antara kedua tower apartemen kita, ada kolam renang berukuran olimpiade dan taman bermain anak-anak yang dipisahkan dengan jalan setapak. Beberapa gazebo dibangun sebagai arena bersantai. 

Cukup menyenangkan berjalan-jalan di setapak itu pada sore hari, ketika sekumpulan baby sitter tengah cekikikan sambil menunggu anak yang diasuhnya bermain di taman atau berenang. Meskipun sejak dia pergi, aku tak lagi melakukannya.

Jalan-jalan di taman memang hanya kulakukan untuk menemaninya saja. Dia, istriku itu, adalah manusia paling ceria yang pernah kukenal. Dialah yang selama ini membuat hidupku berwarna dengan beragam ide yang terus mengalir dari kepalanya yang mungil, seakan tak pernah kehabisan cerita.

Dia sangat ramah kepada para baby sitter itu. Terkadang dia juga ikut duduk di gazebo bersama mereka, berpura-pura tengah menunggui ‘anak kami’ berenang.

Hah, anak kami? Seandainya anak kami benar-benar ada, tentu dia tak akan pergi meninggalkan aku. Istriku terlalu mencintai anak-anak, namun aku tak bisa membuatnya menimang anaknya sendiri.

Namun salah siapa bila batangku tak mau berdiri? Aku juga ingin menjadi laki-laki normal. Namun lelaki bajingan yang suka merabaiku di kamar mandi ketika aku kelas satu SD telah membuatku jijik melihat kemaluanku sendiri.

Sebelum pergi, istriku memang tak ceria lagi. Diam-diam aku sering melihatnya memegang perutnya sendiri dengan wajah mendamba. Lalu pada suatu pagi, ia pergi begitu saja. Memikirkannya membuat aku terserang insomnia.

Insomnia ini menyiksaku. Bukan hanya membuat tubuhku rusak, namun pikiranku juga. Aku sering memikirkan hal-hal yang tidak wajar. Namun sejak melihat sosokmu di jendela waktu itu, insomnia ini tak terlalu menyiksaku lagi. Aku yang hampir mati bosan melewati dini hari hanya berdua bersama insomniaku saja, mendadak kau temani.

Aku kemudian sering membayangkanmu sebagai putri berambut panjang yang tertawan di menara kerajaan, seperti cerita yang pernah kubaca ketika aku masih belia, dan membayangkan diriku sendiri sebagai pangeran berkuda putih yang membebaskanmu.

Aku memang tukang berkhayal. Namun kaulah yang membuat khayalanku semakin menjadi-jadi. Di lain waktu, aku membayangkanmu sebagai bintang di gugusan Bimasakti, dan aku adalah planet mini yang mendamba untuk memantulkan cahayamu.

Seringkali aku membayangkanmu sebagai bangau yang gemulai dengan aku sebagai ikan yang menggelepar di paruhmu. 

Berkat dirimu, aku mulai mencintai insomniaku. Aku menunggu terbangun di dini hari, ketika belum ada penghuni apartemen lain yang sudah memulai hari, selain kau dan aku.

Aku senang bisa berdiri di depan jendela dengan tirai yang tersibak sempurna, dalam kegelapan apartemenku, menonton atraksimu.

Kau selalu ada di sana, meliuk-liuk dengan penuh energi di dalam unit apartemen bertipe studio yang terang benderang, sendirian. Tak pernah kulihat orang lain berada di dekatmu. Hingga hari ini. 

Dini hari tadi, aku terbangun dengan rasa dingin di kakiku karena terlupa mengecilkan AC semalam. Karena kebiasaan, aku segera menyibak jendela dan menatap unit apartemenmu.

Betapa terkejutnya aku ketika melihatmu tak lagi sendirian. Ada sosok lain bertubuh tambun yang tengah meliuk-liukkan tubuhnya bersamamu. Namun tarianmu hari ini tak seindah biasanya. Tubuhmu tampak menghentak-hentak saja tanpa irama, terlempar ke sana ke mari tanpa kendali. 

Sosok tambun itu terlihat mengikuti gerakanmu, mengguncang-guncang tubuhmu, memelukmu dan menghempaskanmu di jendela hingga wajahmu menekan kaca. Sekilas aku melihat dia, istriku, dalam dirimu. Hanya sedetik, sebelum sosok tambun itu kembali menarik kepalamu dan menghempaskanmu ke lantai. 

Sejak saat itu, aku pernah tak melihatmu lagi.

Margaretha Lina Prabawanti. Cerpenis dari Salatiga.

[red/han]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *