Site icon ghibahin.id

Haruskah Mereka Masuk Pesantren?

“Tak bisa dimungkiri, terasa berat hati ini untuk merelakan anak pergi ke tempat yang jauh, dalam waktu yang juga tak singkat.

Saya baru saja menapakkan kaki ke halaman masjid pesantren tempat saya dulu menuntut ilmu agama. Mau tak mau, memori datang berkelebat. Layaknya kisah Aang dalam Avatar The Last Air Bender, kisah saya di pesantren juga lumayan berliku dan penuh warna. 

Kisah belajar, kisah berteman, kisah dengan senior, hingga kisah asmara, semua berpadu membentuk pribadi saya hingga saat ini. 

Suasana pesantren masih sangat sama dengan dahulu. Ada dinding kaca masjid yang pantulannya seakan memaksa saya membenahi songkok, ada burung gereja yang tidak pernah malu berlindung di bawah atap masjid, hingga buah mangga yang tertulis nama santri.

Suasana ini begitu mengingatkan saya akan masa lalu. Terhitung 12 tahun lamanya saya pernah berada di pesantren itu, tepatnya empat tahun belajar dan delapan tahun mengajar. Kalau dikalkulasi sepertiga umur saya habis di pesantren. Cukup lama memang (Iya, iya… saya sudah tua. Puas?).

Masa lalu yang terkenang itu cukup untuk membuat pipi saya memerah. Untungnya, kulit saya berwarna sawo mentah dan agak kehitam-hitaman karena oksidasi, sehingga pipi saya ya tetap begitu-begitu saja warnanya. 

Kini saya sudah berkeluarga, dengan dua putra. Pertanyaan berulang-ulang menggelayut di benak saya, “Akankah mereka juga akan masuk ke pesantren?” Sungguh, tidak sederhana mencari jawabannya. Tak bisa dimungkiri, terasa berat hati ini untuk merelakan anak pergi ke tempat yang jauh, dalam waktu yang juga tak singkat. Walaupun tujuannya demi pendidikan si anak sendiri. 

Jika ditelusuri, saya belajar ke pesantren adalah karena tradisi keluarga. Bapak saya adalah jebolan beberapa pesantren di Kediri. Saya pun juga satu dari empat bersaudara yang semuanya adalah jebolan pesantren yang saya kunjungi ini. Mungkin, orang tua saya memasukkan saya ke dalam pesantren ini karena rasa cintanya kepada kiai.

Saya banyak mendengar ceramah agama dari para mubaligh dan cendekiawan tentang begitu agungnya para pemuda yang berkenan belajar di pesantren, atau tentang para orang tua yang dijanjikan banyak pahala dan balasan kebaikan karena mengikhlaskan anaknya meninggalkan rumah untuk belajar di pesantren. 

Mendengar itu semua itu, saya semakin gamang. Mungkinkah saya mampu untuk mangkir dari tradisi dan rasa cinta tersebut? 

Kini, saya menerima informasi dari lebih banyak orang. Berbagai pandangan alternatif selain menyekolahkan anak di pesantren pun santer saya dengar. 

Salah satunya dari Iqbal Aji Daryono, mentor menulis online tersohor se-nusantara itu pernah mengungkapkan kalimat sederhana, “Masa kebersamaan dengan anak adalah waktu yang singkat.” Tentu saya dapat menebak bahwa Mas IAD, sapaan akrabnya di medsos, agaknya tidak akan menyekolahkan putra-putrinya di pesantren. 

Pendapat satunya lagi berasal dari Hasanudin Abdurrahman yang secara tegas mengatakan bahwa ada paradoks orang tua dalam memondokkan anaknya ke pesantren: orang tua menginginkan anaknya untuk hidup mandiri, tapi orang tuan malah enggan mandiri dalam mendidik anaknya.

Kedua, Abdurrahman enggan memasukkan anaknya ke pesantren untuk menghindari pelecehan seksual, yang isunya kian santer belakangan ini. Masih banyak pendapat lainnya yang tentu punya landasannya masing-masing, dan saya bisa menyalahkannya.

Masa kebersamaan orang tua-anak adalah masa yang singkat. Itu benar. Dan orang tua yang mendapat tudingan tidak mampu mendidik anaknya mandiri itu bisa jadi benar. Tetapi, kan, tidak sepenuhnya begitu. Hmmm.

Jadi bagaimana?

Saya tidak tahu. Kehidupan saya mencapai titik yang sekarang ini juga karena didikan pesantren. Kini saya mendapatkan privilege membaca Al-Quran dengan kemampuan angen-angen sak maknane, juga berkat pesantren. Dan … hei, bukankah itu cukup berharga terutama bagi saya sebagai muslim? 

Hmmm. Tapi, jauh dari lubuk hati, saya begitu ingin membersamai putra-putra saya, melihat mereka berkembang sedemikian rupa, bergerak cepat atau lambat, berlarinya dan duduknya. Saya ingin lebih banyak meluangkan waktu dengan mereka.

Masih terasa betul dalam ingatan, masa awal saya masuk pesantren adalah awal saya berpisah lebih jauh dengan orang tua. Setelah itu, saya akhirnya lebih suka menghabiskan waktu di pesantren berminggu-minggu hingga berbulan-bulan tanpa pulang sekalipun. Akankah itu juga akan terjadi kepada saya dan anak-anak saya? Sungguh saya tidak mampu membayangkannya.

Tapi jika tidak menyekolahkan mereka ke pesantren bukankah saya terlalu egois juga? Mementingkan keinginan sendiri daripada kebutuhan masa depan anak-anak saya? 

Saya limbung. Saya hanya berharap, kelak bisa menjadi orang tua yang bijak bestari dan penuh demokrasi. Saya berharap, ketika saat itu tiba saya bisa berdiskusi dengan mereka, mempertimbangkan baik buruknya, manfaat ke depannya, dan lain sebagainya. Hingga akhirnya mereka bisa memutuskan sendiri apa yang benar-benar mereka inginkan.

Namun, entah bagaimana nanti. Jika suatu saat saya gemas dengan perkembangan dan pertumbuhan mereka, atau tak sanggup lagi melihat mereka terus asyik dengan gadget-nya, mungkin tak ada cara lain selain memasukkan mereka ke pesantren. 

Ah, entahlah. Sepertinya kelimbungan saya belum akan berakhir. 

Ahmad Natsir. Pernah nyantri dan semoga tetap santri.

[red/rien/bp]

Exit mobile version