Site icon ghibahin.id

Masih Perlukah Negara Menyelenggarakan Pendidikan Dasar?

Namun, masih banyak ditemukan SD Negeri yang bahkan perpustakaan tak punya, kelas seadanya dan buku-buku lebih cocok dijadikan bungkus gorengan.

Rekan saya membagikan kisah tidak menyenangkan di halaman Facebook tentang bagaimana pengalaman anaknya yang baru satu minggu sekolah. Putranya berada di kelas 3  sebuah Sekolah Dasar Negeri. Sang guru memberi tugas untuk mewarnai gambar ikan. Anak ini pun memberi warna sesuai imajinasinya. Alhasil, contoh warna yang sudah diberikan oleh guru tidak dia patuhi. Hingga berbuah penilaian buruk dari sang guru.

Hal serupa juga dialami rekan saya yang lain. Anaknya diminta untuk tidak mencoret-coret buku tulis dengan menggambar. Padahal anak ini masih kelas 2 SD. Gambar-gambarnya pun dinilai buruk dengan perkataan yang menjatuhkan anak.

Sebaliknya,  pengalaman yang jauh berbeda dialami oleh keponakan saya sendiri yang sengaja disekolahkan di SD swasta. Alasannya karena SD swasta membuka jam sekolah lebih sore. Berhubung  ibunya bekerja dan pulang sampai sore, maka dia mencari sekolah dengan jam pelajaran yang lebih lama.

Di SD swasta ini, keponakan saya ini bebas mau memberi warna apa pun pada gambarnya dan tidak harus sesuai dengan pakem yang ada. Dia bisa mewarnai ikan dengan warna cerah, bahkan langit dengan warna emas. 

Dia pun dibebaskan saat ia sudah selesai mengerjakan latihan soal  untuk menggambar apa pun di buku tulisnya. Saya sering menemukan buku tulisnya penuh gambar tokoh animasi karangannya sendiri. Gurunya pun tidak marah sama sekali. Wadah kreasi serta ruang imajinasi diberikan porsi yang besar. Tidak ada guru yang memarahi dengan ucapan menjatuhkan.

Perbedaan kualitas institusi pendidikan dasar yang dimiliki pemerintah dengan swasta meliputi tidak hanya masalah sarana prasarana, namun juga hingga pada kualitas SDM-nya. Menariknya, kesenjangan ini tampak dimaklumi hingga hampir tidak ada peningkatan kualitas yang signifikan dari Sekolah Dasar Negeri selama kurang lebih sepuluh tahun.

Trend menyekolahkan anak usia dini serta anak pada tingkat pendidikan dasar ke sekolah swasta tidak hanya tersegmentasi pada kalangan keluarga menengah atas, namun juga keluarga menengah. 

Seorang penjual bubur langganan saya menyekolahkan anaknya ke sekolah dasar milik yayasan yang dikenal cukup luas. Saat saya bertanya alasannya dia menjawab bahwa sekolah negeri tidak bisa memberikan kualitas pembelajaran yang baik ditambah guru-gurunya juga kurang memperhatikan siswanya. 

Bagaimana dengan biayanya? Penjual bubur ini mengatakan jika untuk masalah pendidikan dasar dia tak keberatan untuk bekerja lebih keras demi memenuhi biaya pendidikan anaknya. Alasan senada juga dimiliki oleh penjual karak yang setiap pagi berjualan di pasar besar di wilayah saya. Dengan keyakinan tinggi dia menyekolahkan anaknya di SD swasta. Dia meyakini bahwa pendidikan yang berkualitas itu tidak didapat di sekolah negeri yang gratis. Baginya sekolah gratis tidak dapat menyediakan layanan kualitas yang baik. Dia juga tidak keberatan untuk bekerja lebih keras mendapatkan uang yang lebih demi pendidikan anaknya.

Di wilayah saya sendiri, sekolah dasar negeri sudah banyak yang tutup. Dalam satu kelurahan minimal ada satu SD Negeri yang ditutup atau dijadikan satu dengan SD Negeri lain karena jumlah kuota siswa yang tidak bisa terpenuhi. 

Jadi, saya tidak terlalu terkejut saat ada SD Negeri yang bahkan cuma mendapat satu siswa pada tahun ajaran baru ini. Beberapa wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur bahkan ada yang hingga tiga tahun pelajaran tidak mendapatkan siswa sama sekali.

Sudah sebegitu burukkah kualitas SD Negeri hingga layak ditinggalkan? Tentu saja terlepas berbagai kondisi SD Negeri yang jumlahnya semakin berkurang, saya masih meyakini ada beberapa SD Negeri yang bertahan dengan kualitasnya. Tetapi, layaknya pemerintah tidak bisa menutup mata untuk tidak mengakui bahwa SD Negeri semakin ditinggalkan oleh masyarakat dan SD swasta semakin kebanjiran peserta didik. 

Kultur kerja para guru hingga senioritas yang sulit untuk diubah membuat SD Negeri sulit untuk berkembang. Ini tentu kultur yang masih begitu melekat pada PNS. Bahan ajar yang serba minimalis serta buku-buku yang tidak menarik membuat proses pembelajaran seolah hanya mengikuti syarat formal yang penting jalan.

Kecenderungan penurunan daya tarik SD Negeri sesungguhnya telah terasa sejak kurun waktu sepuluh tahun ini. Namun hingga saat ini ternyata masih ditemukan kesenjangan pelayanan yang begitu besar antara SD Negeri dan swasta.

Pendidikan dasar sudah selayaknya menempati prioritas penting untuk diperhatikan. Baik dari kualitas pelayanan guru, integritas guru dan dedikasi mengajar hingga penyediaan sarana prasarana yang mendukung peningkatan motivasi belajar anak. Namun, masih banyak ditemukan SD Negeri yang bahkan perpustakaan tak punya, kelas seadanya dan buku-buku lebih cocok dijadikan bungkus gorengan.

Saya mungkin tidak dapat menawarkan formula yang tepat karena memang begitu kompleksnya permasalahan yang harus diatasi pada pendidikan dasar. Namun, setidaknya dari masing-masing dinas sebagai kepanjangan tangan pemerintah mampu mengupayakan untuk memperkecil kesenjangan kualitas pelayanan SD Negeri dengan SD swasta. Atau sebaiknya penyelenggaraan pendidikan dasar diberikan sepenuhnya saja pada pihak swasta? Pemerintah cukup memberi subsidi pendidikan, kemudian pihak swasta yang mengelolanya.

Karena toh, jika pembenahan sudah dilakukan namun oknum yang mencoba menggali keuntungan tetap masih ada dan orang-orang yang memegang tampuk kebijakan itu-itu juga, maka pendidikan dasar yang diselenggarakan pemerintah ya begini-begini saja. Ya to?

Hanifatul Hijriati, Guru di Sragen

[red/rien]

Exit mobile version