Tidak Mengapa Menjadi Biasa-biasa Saja

Esai

“Menjadi orang yang biasa saja tidaklah buruk, saya bisa melakukan banyak hal tanpa harus terbebani sorotan atau standar orang lain.”

Saya merasa tahun ini adalah babak baru dalam hidup saya, akhirnya pandemi dua tahun telah usai, si kecil yang dulu masih saya timang-timang sudah beranjak remaja, dan bersiap-siap menempuh pendidikan di sekolah barunya, dan tak terasa saya pun memasuki usia 40-an. 

Orang bilang “Life begins at forty”, hidup dimulai saat usia 40, tapi apakah itu berlaku bagi saya? Jawabannya adalah tidak, kenyataannya saya belum jadi apa-apa, bahkan rumah pun masih menumpang orang tua. Namun di usia ini, saya merasa mulai mampu untuk berdamai dengan kondisi-kondisi yang tidak bisa saya kontrol dan lebih bisa memilah apa yang harus saya prioritaskan.

Di internet, media sosial dan layar kaca seringkali mempertontonkan kepada kita kesuksesan orang-orang di berbagai bidang, entah itu karir, kekayaan, pendidikan, penampilan, jutaan follower, ataupun pencapaian lainnya. Kepopuleran mereka acapkali mendapatkan pujian dan decak kekaguman dari masyarakat. Hal tersebut secara tidak langsung tertanam dalam benak kita, bahwa seharusnya hidup kita seperti itu juga. 

Untuk meraih pencapaian seperti orang-orang tersebut tentu dibutuhkan kerja keras. Hanya saja terkadang kita lupa ada juga faktor-faktor pendukung lainnya yang jadi penentu kesuksesan mereka. Anda tentu kenal dengan Maudy Ayunda yang sempat membuat heboh media, karena dilema yang dialaminya saat memilih kuliah di Stanford atau Harvard University. Kemudian, baru-baru ini, dia menikah dengan orang yang bisa dibilang berasal dari circle yang sama. 

Saya dan teman-teman bercanda mengomentari hal ini, saat menciptakan Maudy, Tuhan sedang murah hati sekali sampai-sampai semua dikasihkan ke dia. Ya benar, tidak semua orang lahir ke dunia ini dikaruniai privilege yang membuat dia mampu bertumbuh dan mencapai posisi atau prestasi di atas rata-rata manusia lainnya.

Pernah suatu ketika saya merenung, hidupku kok begini-begini saja ya? Usia sudah segini tapi belum punya apa-apa. Orang lain bisa kok saya tidak bisa. Apakah Anda pernah seperti itu juga? Ternyata nggak sedikit orang yang kehidupannya biasa saja seperti saya. 

Kalo dipikir-pikir ya, populasi orang biasa saja atau orang yang statusnya bukan siapa-apa itu lebih banyak daripada orang yang luar biasa. Prosentase orang yang berstatus luar biasa ini lebih kecil daripada yang biasa-biasa saja.

Kehadiran orang biasa seperti saya dan kebanyakan orang lainnya, bukan menjadi suatu masalah, malahan sangat penting lho. Kok bisa? Misalnya seorang aktor yang terkenal karena ketampanan dan kepiawaiannya memainkan suatu peran utama dalam film juga tetap membutuhkan kehadiran aktor lainnya sebagai pemeran pembantu atau figuran untuk menyukseskan film tersebut, belum lagi kehadiran sutradara dan kru-kru produksi lainnya. Sampai akhirnya film tersebut ditayangkan di bioskop, dan kita yang orang biasa ini, jadi penontonnya. 

Bukankah memang seperti itulah dalam hidup, ada orang-orang yang memperoleh ketenaran karena keberhasilan mereka mereka, tapi banyak juga orang yang harus menjalani perannya sebagai orang yang biasa-biasa saja. Terus berjuang melanjutkan hidup dengan status orang biasa adalah pilihan yang paling realistis menurut saya.

Menjadi orang yang biasa saja tidaklah buruk, saya bisa melakukan banyak hal tanpa harus terbebani sorotan atau standar orang lain. Entah itu standar penampilan, perilaku dan sebagainya. 

Saya mau bercerita, salah satu teman saya ada yang mendapatkan promosi kenaikan jabatan, dia mengatakan kalau dia merasakan beban tersebut. Di satu sisi, status dan kemampuan finansial meningkat, tapi konsekuensinya, tuntutan dari atasan maupun bawahan membuatnya tertekan. Kalau saya di posisi teman saya itu mungkin sudah stress. 

Suatu ketika, saya pernah melewatkan kesempatan untuk mendapatkan promosi, dan karena hal itu banyak orang yang menyayangkan keputusan saya. Terus terang, saya merasa menemukan ketenangan dalam menjalani status saya di kantor sebagai staf biasa tanpa embel-embel jabatan apapun. 

Dan itu yang lebih saya butuhkan saat ini, toh orang terdekat dan keluarga juga mendukung keputusan saya. Menerima jabatan berarti menyandang status dan tanggung jawab yang lebih tinggi dan mau tak mau orang sekitar kita pun akan punya ekspektasi yang lebih tinggi pula. Sampai saat ini pun saya tak menyesali keputusan saya itu.

Saya merasa lebih merdeka untuk menjadi diri sendiri, dan ternyata menjadi biasa bukan berarti diam saja dan membuang semua potensi diri. Justru di posisi saya yang biasa ini saya tertantang untuk mempelajari hal-hal baru, seperti mengambil kelas menulis dan kelas desain seperti saat ini. Jika nantinya saya tidak berhasil menjadi penulis atau seorang ilustrator yang handal juga tidak apa-apa.

Keberhasilan atau kegagalan adalah hal biasa yang dialami oleh semua orang. Roda kehidupan terus berputar, dan ujung perjuangan tiap orang tidak selalu sama, yang berhasil dan yang gagal tentu lebih banyak yang gagal, dan berakhir menjadi manusia yang biasa-biasa saja. 

Sungguh itu sesuatu yang normal, tidak ada yang salah menjadi orang biasa, dan Anda tidaklah sendiri. Setiap orang menjalani perannya masing-masing, jadi teruslah berjuang menjalani hidup sebaik-baiknya dan menebarkan manfaat. Jangan lupa bahagia ya. Semoga membantu!

Lutfiyah Aly. A longlife learner. Emak-emak pecinta kopi dan Kpop

[red/rien]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *