Site icon ghibahin.id

Menyongsong Sunset di Tanah Monarki: Surat Duka untuk Jogja dan Paduka Raja

Esai

Foto oleh Rafli dari Pexels

“Tapi jargon tinggal jargon. Apalagi kalau bicara kenyamanan. Konflik antar suku agaknya sudah menjadi annual event yang tak pernah redup.”

Sakderengipun, ingsun nyuwun agunging duka bilih wonten kekirangan.

Oh Jogja, tanah tumpah darahku. Karepmu ki piye?! Ke mana keagungan yang sederhana itu? Di mana mahkota yang pernah membuatmu istimewa? Kalau jubah indahmu hanya lagu “Jogja Istimewa”-nya Marzuki, betapa telanjang engkau hari ini? Sudah lelahkah dirimu menjadi mercusuar Tanah Jawa? Atau memang Jogja tak lebih dari sebuah provinsi kecil di pesisir selatan Jawadwipa?

Mungkin terlalu sering saya membelejeti kota kelahiran leluhur saya ini. Tapi bagaimana lagi, Jogja memang sedang lucu-lucunya. Setiap waktu, ada saja headline berita tentang Jogja. Bukan melulu perkara event dan pentas musik, tapi justru berita sedih yang memuakkan.

Kota Pendidikan sudah jadi cerita lama zaman Orba. Kini Jogja dikenal sebagai kota klitih. Diolok sebagai simulasi GTA San Andreas. Mending begal, jelas tujuannya. Nyatanya, kaum nom-noman Jogja lebih memilih untuk membabat kepala orang sebagai cara hangout. Opo tumon? Kota yang dipercaya oleh jutaan orang tua untuk mendidik anaknya kini menjadi simbol kejahatan jalanan?

Kota yang ramah? Memang, masih tersirat senyum tipis penduduk lokal untuk para wisatawan. Ya selama para wisatawan ini siap untuk dikuras dompetnya. Dari makanan sampai tempat parkir menjadi alat untuk memalak pengunjung. Jogja itu murah, syarat dan ketentuan berlaku.

Tapi apa masih ada senyum tulus yang tersisa? Ada, di sudut kota yang kemepyar ini. Senyum yang terdesak oleh ketimpangan sosial. Tergusur karena mesti mengalah menjual tanah demi beli beras. Rumah kecil penuh senyuman itu kini berubah menjadi tiang pancang pondasi hotel mewah. Kalau tidak, harus tergusur oleh pembangunan estetika. Karena tanah mereka dilabel Sultan Ground dan dengan begitu pantas diminta minggat.

Sembada, handayani, binangun, projotamansari, dan berhati nyaman. Begitulah masing-masing daerah di DIY ingin dikenal. Tapi jargon tinggal jargon. Apalagi kalau bicara kenyamanan. Konflik antar suku agaknya sudah menjadi annual event yang tak pernah redup. Tidak usah bicara Babarsari. Di jalan kampung saja akan terdengar makian, “Wooo, plat B asu!” Nyaman bagi warga lokal? Warga lokal yang mana? Toh, tetap saja kena sensus “KTP mana bos?”

Oh Jogja, masih banyak kekecewaanku padamu. Bahkan masalah UMR saja sudah malas aku ungkit-ungkit lagi. Ayolah, gumregah! Bangkit! Mosok daerah yang diistimewakan malah lebih mawut dari daerah lain? Bukankah keistimewaanmu menjadi kaca benggala daerah lain untuk tumbuh? Lha, kamunya sendiri malah mletre.

Sunset di tanah monarki. Surya yang gemilang itu mulai meredup di ufuk barat. Dan ini bukan sesuatu yang bisa dimaklumi. Jogja kini hampir mirip Jalan Kaliurang KM 5–7, alias remuk tapi masih saja dibanggakan. Apakah Jogja memang meredup? Ke mana cahaya semesta yang katanya benderang menyinari dampar kencana Kraton?

Oiya, ada Ngarso Dalem.

Sembah bekti, Ngarso Dalem. Anu, saya sudah ngomyang ngalor ngidul tentang Jogja. Sebagai pengayom kami para kawula, kami merindukan Jogja yang dulu. Sederhana namun mengayomi rakyat. Murah namun tetap berbudaya. Ya yang selama ini dibahas-bahas untuk membanggakan Jogja dulu.

Mau kemana lagi kami mengadu? Kalau mau demo, kan sekarang tidak boleh di nol kilometer atau di depan DPRD. Kalau mau cerewet di media sosial, nanti diserang masyarakat Narimo ing Pandum. Mau protes ke Kantor Gubernur, kena zona larangan demonstrasi. Kami mau topo pepe, mengadu aspirasi ke Sinuhun langsung, alun-alunnya dipagar dan diurug pasir. Panas, jhe, Ngarso Dalem.

Maka saya, mewakili yang sepakat, mohon dengan sangat. Mohon Ngarso Dalem segera menegur Gubernur kami. Jogja seperti dalam mode autopilot. Terbang entah ke mana tanpa kejelasan. Menyongsong kota warisan budaya UNESCO, tapi kawulanya malah sedang babak belur. Kan tidak lucu, perwakilan UNESCO bocor ban karena jalan yang penuh lubang. Apalagi kena klitih, amit-amit.

Oh Jogjaku, dan Sinuhun Ngarso Dalem, demikian surat duka ini saya sampaikan. Saya tidak berharap banyak surat ini akan dibaca. Dibaca sekalipun, belum tentu sunset tadi menjadi sunrise. Akhir kata, salam narimo ing pandum dalam ketimpangan!

Prabu Yudianto. Naracela di tanah Monarki.

[red/bp]

Exit mobile version