Site icon ghibahin.id

Ingin Anak Sukses? Ikutilah Perkembangan Anak dengan Sabar

Esai

Foto oleh Sunvani Hoàng dari Pexels

“Kepada siapa mereka akan curhat kalau bukan kepada orang tuanya? Oleh sebab itu, orang tua harus menjadi pendengar yang baik bagi anaknya.”

Minggu lalu, saya melihat beberapa teman Facebook mengunggah meme yang bertuliskan “Gerakan Stop Pamer Nilai Rapor”. Memang sih, saat itu musimnya anak sekolah menerima rapor semester 2. Namun kemunculan meme-meme ini ternyata tidak membuat sebagian orang tua urung mengunggah nilai rapor anaknya di media sosial. 

Saya tidak dalam posisi setuju atau tidak setuju dengan aksi upload nilai rapor tersebut. Itu pilihan masing-masing individu dan sah-sah saja. Saya malah tertarik membahas kalimat berikutnya dalam meme tersebut, yang berbunyi: “Setiap anak adalah berbeda. Setiap anak adalah hebat. Tidak ada produk Allah yang gagal”. Untuk kalimat yang terakhir ini saya setuju. Setiap anak memiliki “keunikan” masing-masing karena perkembangan mereka berbeda-beda. 

Masalahnya adalah mampukah orang tua dengan sabar mengikuti perkembangan anak-anaknya? Ketika melihat anak orang lain sukses, seringkali orang tua membanding-bandingkan dengan pencapaian anaknya. Orang tua menjadi gerah ketika melihat anak orang lain lebih sukses. 

Hindari Egoisme Orang Tua

Kejadian di atas pernah membuat saya berdebat kecil dengan istri, soal peringkat kelas anak kami yang kedua. Ceritanya, pertengahan Juni lalu, saya mengambil rapor milik kedua anak saya. Guru wali kelas 1 menjelaskan bahwa anak saya termasuk anak yang cerdas. Di kelas, ia suka menggambar, dan saya diminta oleh gurunya untuk mendukung hobi anak saya itu. Saya ingin sekali menanyakan peringkat anak saya.

“Apakah saya bisa mengetahui peringkat kelas anak saya, Bu?”

“Mohon maaf, Pak. Sesuai dengan kebijakan sekolah, peringkat kelas tidak kami tunjukkan tapi kalau Bapak menghendaki, nanti saya informasikan lebih lanjut” jawab wali kelas anak saya.

Sesampainya di rumah, saya menceritakan kejadian saat mengambil rapor tadi kepada istri saya. Saya meminta istri saya men-japri guru wali kelas 1 via WA untuk menanyakan peringkat kelas. Tanpa banyak kata, istri saya segera melakukannya. Betapa terkejutnya saya ketika mendengar nada suara istri saya sedikit meninggi. Usut punya usut ternyata anak saya hanya peringkat 5 dan istri saya tidak bisa menerimanya begitu saja.

Saya mengerti mengapa istri saya bersikeras bahwa anaknya harus ranking 1. Hal itu terjadi karena dia yang mendampingi belajar kedua anak saya. Jadi, dia merasa tahu kemampuan mereka. Selain itu, dia mengukur kemampuan mengajar wali kelas anak saya dari “kaca mata”-nya yang juga sebagai seorang guru. 

Dalam kondisi yang dialami oleh keluarga saya tadi, terlihat jelas bahwa orang tua terjebak dalam egoisme sesaat. Orang tua hanya melihat kondisi anak dari satu sisi saja, yaitu kesehariannya di rumah. Memang benar, jika seorang anak di rumah belajar dengan tekun, ikut les ini dan itu. Tetapi apakah orang tua tahu seratus persen perkembangan anak di sekolah? Nah, inilah yang harus disadari.

Membina Komunikasi antara Orang tua dan Guru

Orang tua dan guru harus saling memahami job description-nya. Ketika anak di sekolah maka pendidikannya menjadi tanggung jawab sekolah. Begitu pula setelah pulang sekolah, pendidikannya menjadi tanggung jawab orang tua.

Orang tua tidak bisa mengklaim sepihak bahwa dirinya sudah mendidik anak dengan baik di rumah, sehingga pantas untuk menggugat hasil di sekolah yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pihak yang mengetahui persis perkembangan anak di sekolah adalah gurunya. 

Sebaliknya, guru tidak bisa menyalahkan bagaimana orang tua mendidik anaknya di rumah. Oleh sebab itu, ada baiknya kedua pihak berkomunikasi untuk membicarakan perkembangan anak. Seperti kasus anak saya yang ternyata mendapat peringkat 5 di kelas, padahal sudah belajar dengan tekun. Setelah berkomunikasi dengan wali kelasnya, ternyata diketahui bahwa persaingan nilai antar siswa sangat ketat dengan selisih nilai yang tipis sekali. Tidak mungkin semua anak menjadi peringkat 1, kan? 

Memotivasi dan Mengapresiasi Anak

“Sebenarnya peringkatmu sudah bagus, tapi di kelas 2 kamu harus belajar lebih giat lagi agar hasilnya lebih baik.” Itu yang saya katakan kepada anak saya setelah menerima rapor. Orang tua memang harus mengapresiasi dan memotivasi anaknya bagaimanapun situasinya. Dalam kalimat yang saya utarakan tadi, saya menghindari untuk memberi penekanan bahwa ia harus ranking 1. Alih-alih demikian, saya menekankan bahwa ia bisa mendapatkan hasil yang lebih baik jika lebih rajin belajar. 

Hal ini saya lakukan semata-mata agar dia tidak merasa terbebani dengan suatu target dan akhirnya merasa tertekan. Belum lagi kalau si anak tidak bisa memenuhi target yang telah ditetapkan orang tuanya. Pasti dia merasa sedih, kecewa, dan bersalah. 

Lalu timbul pertanyaan, bukankah dengan adanya target, anak menjadi lebih fokus belajar? Saya sepakat bahwa target ditetapkan agar anak fokus belajar, tetapi buatlah target tersebut serealistis mungkin. Biarkan mereka tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuannya. Biarkan juga mereka menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, namun tetap dalam pengawasan orang tua dan guru.

Mendengarkan Keluh Kesah Anak

Salah satu alasan mengapa anak saya tidak ranking 1 adalah karena dia mengerjakan soal tes sendiri tanpa dibantu oleh siapapun. Saya mencoba menanyakan langsung hal tersebut pada anak saya. Dia dengan tegas dan lugas (malah belakangan berani bersumpah segala) bahwa dia mengerjakan sendiri. 

Saya mencoba mendengarkan keluh kesah yang disampaikan anak saya. Kepada siapa mereka akan curhat kalau bukan kepada orang tuanya? Oleh sebab itu, orang tua harus menjadi pendengar yang baik bagi anaknya.

Dalam mendengar keluh kesah pun, orang tua harus sabar. Mengapa demikian? Kalau nilai rapor anaknya bagus, tidak masalah bagi orang tua. Tapi bagaimana kalau nilai anaknya jelek? Seringnya orang tua bawaannya emosi saja. Nah, ini yang menjadi masalah. 

Seringkali, yang terjadi adalah anak belum selesai mengeluarkan uneg-uneg sudah keburu dipotong oleh orang tua. Selanjutnya, apa yang terjadi? Mudah sekali ditebak. Si anak akan ngambek tidak mau melanjutkan ceritanya. Apapun yang mereka keluhkan, orang tua harus dengan sabar mendengarkan.

Mendampingi Anak

Setelah curhat si anak selesai, barulah kita mengetahui dan menganalisis apa sebenarnya yang menjadi masalahnya. Tidak sampai di situ saja, tugas orang tua yang paling penting adalah melakukan pendampingan terhadap anaknya. Pendampingan ini bentuknya bermacam-macam, bisa dalam bentuk mendampingi belajar, mendampingi bermain, hingga berdiskusi tentang suatu masalah.

Dalam hal ini, yang terpenting adalah anak merasakan kehadiran orang tua dalam setiap masalahnya. Anak jangan sampai takut berbicara dengan orang tua hingga sampai memendam sendiri masalahnya. Dengan perhatian dari orang tua, dia akan merasa nyaman, tidak sendiri, dan mendapat dukungan. Oleh karenanya, kehadiran keluarga juga berperan menentukan kesuksesan anak, selain peran guru di sekolah yang juga tidak kalah pentingnya.

Rudy Tri Hermawan. Penulis dan pendidik, tinggal di Blora.

[red/bp]

Exit mobile version