Gatotkaca dan Ironi-Ironinya

Esai

“Alih-alih diperkenalkan secara langsung oleh tradisi wayang, Gatotkaca justru lebih sering muncul berkaitan dengan figur-figur politik.”

Sejak menulis review film Satria Dewa Gatotkaca beberapa waktu lalu, saya jadi terhubung dan akhirnya bercakap dengan orang-orang yang juga antusias dengan film tersebut. Dari berbagai interaksi tersebut, saya tersadar bahwa rupanya Gatotkaca adalah tokoh pewayangan paling populer di Indonesia.

Gatotkaca begitu populer sehingga tidak hanya orang-orang yang antusias dengan pewayangan saja yang tahu, tapi bahkan bagi mereka yang awam pun, nama Gatotkaca sudah pasti tak asing. Bahkan bisa dibilang, bagi kaum awam ini, wayang ya Gatotkaca, seakan keduanya bersinonim.

Bagi yang sudah tak asing dengan namanya, tapi belum mengerti apa dan siapa Gatotkaca, akan saya jelaskan sedikit di sini. Gatotkaca adalah karakter wayang yang diadaptasi dari epos Mahabharata. Ia adalah putra Bima (salah satu dari Pandawa bersaudara). Ibunya, Arimbi (atau Hidimbi dalam versi India-nya), adalah raksasa penghuni hutan Pringgandani.

Dalam pewayangan Jawa, Gatotkaca adalah sosok yang luar biasa ideal. Dikisahkan bahwa saat masih bayi, ia dilemparkan ke dalam kawah Candradimuka, ditempa bersama pusaka para dewa, yang membuatnya sakti dan tak terkalahkan. Ditambah dengan kotang antakusuma yang membuatnya bisa terbang, Gatotkaca menjadi sosok yang—menurut istilah khalayak internet, hehe—crazily overpowered, sehingga tak sedikit yang menganggapnya sebagai padanan lokal dari Superman.

Gatotkaca identik dengan frasa “otot kawat, tulang besi” yang melambangkan kekuatan fisik dan keperkasaan. Semua hal ini membuat Gatotkaca secara instan menjadi representasi maskulinitas yang diidealisasi oleh masyarakat Indonesia.

Nah, akrabnya masyarakat Indonesia terhadap Gatotkaca sayangnya bukan berasal dari pertunjukan wayang. Penggemar wayang dari dulu hingga sekarang selalu segmented, sulit menembus arus utama perhatian masyarakat. Saya melihat, Gatotkaca menjadi populer justru karena sering disebut berkaitan dengan tokoh-tokoh penting, utamanya tokoh politik.

Presiden Sukarno, misalnya, diketahui amat menggemari sosok Gatotkaca yang gagah perkasa, dan menganggap karakter wayang ini mirip dengan dirinya sendiri. Saking gandrungnya dengan Gatotkaca, ia meminta Basoeki Abdullah, sang maestro lukis, untuk menggarap lukisan untuk dirinya, yang tersohor dengan judul “Gatutkaca dan Anak-Anak Arjuna Pregiwa-Pregiwati”.

Masa Orde Baru tak ketinggalan membuat Gatotkaca semakin populer. Nama Gatotkaca muncul sebagai kode nama prototipe pertama pesawat N250 rancangan IPTN, sebagai perlambang ksatria gagah yang terbang di angkasa.

Contoh lainnya, pada pemilu 2019 lalu, juga hangat topik Prabowo Subianto yang gemar berjoget ala wayang orang, yang ia sebut sebagai joget Gatotkaca. Dalam beberapa kesempatan lain, ia juga kerap memperbandingkan dirinya dengan Gatotkaca. Yang paling baru, Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah yang belakangan namanya sering disebut dalam bursa capres, terlihat turut serta dalam tari massal Gatotkaca yang digelar saat car free day di Surakarta pada Minggu, 26 Juli 2022, lengkap dengan kostumnya.

Alih-alih diperkenalkan secara langsung oleh tradisi wayang, Gatotkaca justru lebih sering muncul berkaitan dengan figur-figur politik. Agaknya, kekuatan, kegagahan, dan keperkasaan yang direpresentasikan Gatotkaca, adalah sifat-sifat maskulin yang masih dianggap harus ada dalam pribadi pemimpin ideal di mata masyarakat Indonesia. Makanya, tak mengherankan apabila para politisi selalu merujuk pada Gatotkaca untuk membangkitkan idealisasi tersebut.

Sosok Gatotkaca yang serba ideal ini mungkin terasa agak aneh bila jika dipandang oleh bangsa yang melahirkan epos Mahabharata, yakni India. Di India, nama Gatotkaca berarti periuk botak, yang merujuk wujud Gatotkaca yang setengah raksasa dan punya kepala besar yang tak berambut. 

Berbeda dengan pewayangan Jawa, Gatotkaca versi India sering digambarkan lebih sederhana. Sebagai sosok setengah raksasa (dalam bahasa India-nya, rakshasha sering diterjemahkan sebagai demon/setan), ia berbadan besar, mampu terbang, menghilang, dan mengubah tubuhnya menjadi amat besar, sesuai kemampuan bangsa raksasa. Pakaiannya pun khas raksasa, biasanya digambarkan berbahan kulit macan dengan ornamen taring atau bahkan tulang belulang binatang.

Mungkin, dalam dunia pewayangan Nusantara dulu sudah ada kecenderungan untuk menggambarkan sosok ksatria protagonis dengan fitur fisik yang ideal (catat, ya, ini hanya untuk ksatria protagonis). Coba bayangkan jika kita menganut gambaran Gatotkaca ala India tadi, mungkin para politisi jadi enggan untuk mempersonifikasikan dirinya sebagai Gatotkaca yang botak dan sulit dibilang rupawan itu, meskipun sama-sama heroiknya dengan Gatotkaca versi Jawa. Hehehe.

Gatotkaca versi India juga tak terlalu terkesan berdarah biru, meskipun ayahnya seorang bangsawan. Kunti, Ibu Bima, mengizinkan Bima tinggal bersama Hidimbi sebagai suami istri, hanya sampai anaknya lahir. Walaupun tak disebutkan alasannya, bisa diduga bahwa penyebabnya karena Hidimbi berasal dari bangsa raksasa, jelas berbeda kasta dengan Bima dan keluarga Pandawa.

Artinya, setelah Gatotkaca lahir, ia justru ditinggal oleh ayahnya. Setelahnya, Gatotkaca hanya bertemu Bima dalam kesempatan yang sekadar kebetulan. Walaupun hanya sekali-dua kali bertemu, tak menghalangi Gatotkaca untuk berbakti sebagai anak. Ia menggabungkan diri ke dalam pasukan saat ayah dan paman-pamannya berperang melawan para Kurawa dalam Perang Bharatayudha.

Di sinilah ironinya, demi menunjukkan bakti kepada ayahnya, Gatotkaca ikut terseret dalam urusan politik orang tuanya. Ironi ini, meski sering diabaikan, sebenarnya dapat kita rasakan dalam berbagai versi kisah Gatotkaca.

Ironi tidak berhenti di sini. Belum lama tiba di medan perang, Gatotkaca diarahkan oleh Kresna, yang masih sepupu ayahnya, untuk melawan Karna, kakak ayahnya yang berpihak pada Kurawa. Kresna, yang mengetahui bahwa Karna memiliki senjata pemberian Dewa Indra—yang meski hanya bisa dipakai satu kali tapi bisa menentukan hasil peperangan—ingin menjadikan Gatotkaca bagian dari strategi untuk menetralkan senjata tersebut.

Keesokan harinya, kesaktian Gatotkaca membuat Karna dan pasukan Kurawa kocar-kacir. Karna yang terdesak, tidak punya pilihan lain selain membidikkan senjata pemberian Dewa Indra tadi kepada Gatotkaca. Dan demikianlah senjata yang tak mungkin meleset itu mengakhiri hidup Gatotkaca.

Meski amat heroik, nasib Gatotkaca sesungguhnya bisa dibilang tragis. Sudah cuma sesekali bertemu sosok ayah, ketika ingin berbakti malah “ditumbalkan” demi kepentingan politik keluarga. Sungguh sebuah ironi.

Daripada mengesankan hal-hal maskulin dan macho tadi, cerita Gatotkaca justru mengingatkan saya pada anak-anak yang masa depannya terkorbankan demi ambisi orang tua.

Banyak kita lihat kasus seorang anak yang terpaksa mengorbankan cita-cita demi menuruti keinginan orang tuanya. Ada yang mesti melanjutkan dinasti politik, melanjutkan bisnis, atau ada yang orang tuanya sekadar tidak suka dengan passion si anak.

Sayangnya, dunia memang dikuasai para orang tua. Anak-anak muda yang cenderung menginginkan perubahan dan gagasan-gagasan baru, dipaksa kalah oleh kepentingan para senior, ya orang-orang tua ini. Sementara, membangkang dari perintah bisa mengakhiri karir yang dibangun susah-susah.

Karenanya, jangan sampai anak-anak kita bernasib seperti Gatotkaca. Ia memang gugur sebagai ksatria yang gagah berani, tapi jangan lupa bahwa sebenarnya tangan para orang tualah yang menghabisinya.

Bhagaskoro Pradipto, pemuja keheningan dan ketoprak Jl. Haji Royani.

[red/red]

One thought on “Gatotkaca dan Ironi-Ironinya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *