Akuilah Jika Kamu Sedang Tidak Baik-Baik Saja

ghibahin

“Ketika menyadari kalau kita sedang tidak baik-baik saja, artinya kita justru sedang berusaha memahami diri kita.”

Belakangan ini, kondisi yang tidak bisa diprediksi dengan adanya pandemi Covid-19, mendorong banyak orang untuk mulai mencari tahu lebih dalam seputar kegelisahan dan kecemasan yang dialami. Wacana mengenai kesehatan mental mulai menyeruak ke permukaan, sehingga tidak sedikit orang yang mulai menyadari pentingnya menjaga kewarasan.

Salah satu isu psikologis yang mulai muncul adalah serangan panik (panic attack) dan kecemasan (anxiety). Mulanya, dua isu tersebut terlihat sama dalam pemahamanku sebagai orang awam, namun ternyata aku keliru.

Kecemasan adalah reaksi diri atas ancaman yang ada di sekitar kita, yang mengakibatkan rasa gelisah, jantung berdebar, perut mulas, dan lain sebagainya. Jika direspon dengan baik, kecemasan bisa mendorong kita untuk lebih mempersiapkan diri pagar ancaman itu tidak terjadi. Sebagai contoh, kita bisa mempersiapkan bahan meeting dengan baik agar bos tidak marah, atau mulai diet sehat agar tidak terlalu cemas dengan potensi penyakit kronis. 

Serangan panik berbeda dengan kecemasan. Menurut Cathy Frank, M.D., Direktur Outpatient Behavioral Health Services di Henry Ford Hospital, kepanikan muncul tanpa alasan dan tidak dapat diprediksi. Kepanikan bukan merupakan reaksi atas situasi yang penuh dengan tekanan. Aku sendiri pernah mengalaminya.

Sesampainya di rumah malam itu, tiba-tiba aku merasakan detak jantungku yang berdebar demikian kencang, disusul kesulitan bernapas, dan keluar keringat. Padahal sebelumnya, selama perjalanan pulang ke rumah, aku merasa baik-baik saja, dan bisa bersenandung mengikuti lagu yang sedang diputar di radio mobil. 

Sesampainya di rumah, gambaran ambulans beserta suara sirine, berita update Covid-19 di televisi, dan bayangan teman yang juga terinfeksi virus tersebut, seketika berseliweran di kepala seperti slide video yang tak ada ujungnya. Saat itulah aku merasa virus itu sudah masuk ke dalam tubuhku dan aku akan segera mati. Ya, aku mengalami serangan panik.

Pernahkan kamu mengalami hal serupa? Dengan bimbingan via telepon dari sahabat yang kebetulan berprofesi sebagai psikolog, saat itu juga aku diarahkan untuk melakukan hal-hal berikut ini.

#1 Berjalan keluar rumah tanpa alas kaki

Saat berjalan tanpa alas kaki, aku diajak untuk merasakan sensasi benda apa saja yang kuinjak. Semua saraf di telapak kaki mengantarkan informasi ke otak, saat aku menginjak batu kecil, tanah, rumput yang basah karena baru saja turun hujan, dan lain sebagainya. Di sinilah otak yang yang awalnya terbang tidak terkendali, perlahan mulai membumi dan menyadari apa yang sedang terjadi.

#2 Bernapas dalam-dalam

Bernapas adalah aktivitas yang kita lakukan sepanjang waktu, sehingga terkadang kita tidak menyadari setiap tarikan dan hembusan napas yang kita lakukan. Hal ini menjadi semakin parah saat kita sedang panik. Pikiran yang mendadak tidak terkendali membuat kita lupa untuk menyadari aktivitas bernapas. 

Pada saat terserang panik, aku menghirup napas dengan menggembungkan perut, dan menghela napas dengan perlahan menarik perut ke arah dalam. Pada saat itu, otakku merasakan sensasi oksigen yang masuk penuh dengan rasa syukur, dan menghelanya kembali lewat mulut. Semua itu kulakukan dengan pengulangan berkali-kali, sampai kurasakan bahwa detak jantungku tidak sekencang di awal tadi.

#3 Melihat sekeliling

Saat pikiran sudah mulai membumi dan napas mulai bisa terkendali, aku diajak untuk menyadari apa saja yang ada di sekelilingku. Apa saja yang kulihat dan kudengar, kucoba untuk menceritakannya kepada diri sendiri. Saat itu aku melihat anak-anak yang sedang berlarian dan tertawa riang, serta jalanan yang basah karena hujan.

#4 Self talk

Saat pikiranku dan semua indra di badanku mulai terkendali, aku mulai berbicara kepada diriku sendiri. Seolah memaklumi apa yang baru saja terjadi tanpa menyalahkan atau menghakimi. Menyadari bahwa yang kualami barusan itu wajar-wajar saja, dan bisa dialami oleh siapa saja. Dengan demikian, beban yang ada di pundak dan pikiranku seolah terangkat, dan aku mulai merasa baik-baik saja. 

***

Pada prinsipnya, ketika menyadari kalau kita sedang tidak baik-baik saja, artinya kita justru sedang berusaha memahami diri kita. Menurutku, tidak ada yang salah dengan afirmasi diri “AKU BISA”, “AKU HEBAT”, “AKU BAIK-BAIK SAJA”. Namun ketika pada kenyataannya yang sedang dialami adalah kebalikannya, maka tugas kita adalah menerima kondisi tersebut dengan jujur dan apa adanya.

Jika kita menyangkal, maka itu kondisi tersebut justru bisa menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Kepingan-kepingan masalah yang belum tuntas justru akan muncul di saat kita sudah tidak bisa mengafirmasi diri karena kelelahan. Kuncinya adalah mengakui bahwa kita tidak baik-baik saja, menerima, menyadari, lantas berusaha mengatasinya dengan cara yang tepat. Selamat berproses. 

Grahono S. Condro, tinggal di Semarang.

[red/sk]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *