Perdebatan Konservatif Vs. Liberal dalam Keseharian Kita

“Konservatif atau liberal, keduanya punya kekuatan dan kelemahan masing-masing.”

Setiap hal dalam hidup ini agaknya senantiasa terbagi menjadi dua kutub pemikiran. Contohnya, ada pemikiran konservatif di satu sisi, dan pemikiran liberal di sisi lainnya. Sisi konservatif umumnya dihuni oleh kaum “orang tua” yang telanjur mapan dengan kebiasaannya. Mereka menganggap pemikirannya paling benar karena sudah teruji oleh zaman dan pengalaman. Mereka yakin bahwa pemikirannya murni tanpa kontaminasi, sehingga merasa bertanggung jawab untuk menjaga warisan para leluhur.

Sedangkan, kaum liberal umumnya dihuni oleh “anak muda” yang resah dengan stagnasi keadaan. Mereka menganggap bahwa hal-hal yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan zaman harus ditinggalkan. Menurut mereka, pemikiran-pemikiran usang membuat dunia tidak berkembang. Alhasil, mereka melakukan gebrakan-gebrakan pemikiran yang progresif untuk melawan “kebekuan” kaum konservatif. 

Dua tipe pemikiran ini sering kali berseteru, dan satu pihak merasa lebih benar daripada lainnya. Sering kali kita melihat mereka berdebat keras dan berdialektika dalam komunitasnya. Para “orang tua” bersitegang dengan kaum “anak muda” untuk menunjukkan siapa yang lebih benar. Perdebatan di antara mereka masuk ke semua bidang kehidupan manusia: politik, sosial, seni, pendidikan, ekonomi, dan juga komunitas terbesar manusia yakni agama.

Dalam bidang organisasi, misalnya, kaum konservatif meyakini bahwa organisasi yang baik itu seperti organisasi pada masanya, yakni bersifat kepengurusan paten, seperti dinasti yang berkuasa seumur hidup. Mereka menolak sistem organisasi periodik, di mana segala sesuatunya dirancang dan bergilir sesuai dengan waktu yang disepakati. 

Bentuk organisasi paten inilah yang ditolak oleh kaum liberal. Mereka menganggap bahwa salah satu cara untuk mencapai perubahan adalah dengan mengganti para penggeraknya. Bagi mereka, suatu sistem harus berjalan secara terukur dan demokratis. Pemegang otoritas harus berbatas waktu, dan segala keputusannya sangat bisa dianulir. Kekuasaan yang tak dibatasi oleh periode dan keputusan yang tak bisa digugat merupakan cikal bakal otoritarianisme.

Beralih ke pendidikan. Bidang ini relatif rumit dan selalu menjadi perdebatan pada level nasional. Kalangan konservatif menganggap bahwa pendidikan zaman dahulu adalah yang terbaik. Mereka mencoba memberi bukti dengan contoh banyaknya ilmuwan yang muncul dari hasil pendidikan zaman dahulu. Bahkan di antara mereka ada yang meyakini bahwa kurikulum pendidikan haram hukumnya untuk diubah.

Sedangkan kaum liberal menganggap bahwa pendidikan zaman terdahulu tak mampu lagi menjawab tantangan zaman. Dengan demikian, perubahan sistem pendidikan harus dilakukan agar muncul SDM unggul dan terbarukan. Bahkan ada juga wacana penghapusan materi ajar pendidikan agama. Sebabnya, agama dianggap sebagai ranah privat, jadi tidak tepat jika diajarkan di ranah pendidikan formal.

Perdebatan konservatisme vis a vis liberalisme semakin meruncing ketika masuk ke ranah agama. Liberalisme agama menjadi “musuh bersama” oleh kaum agamawan, terlebih kaum konservatif. Kedua kubu saling mengklaim bahwa pemahaman agama merekalah yang paling benar. Kaum agamawan konservatif mengklaim bahwa jalannya yang paling benar karena mereka mengamalkannya sesuai dengan ajaran Tuhan, tanpa ada penambahan maupun pengurangan.

Kaum konservatif ada dalam semua agama, termasuk agama Islam. Kaum konservatif Islam berpegang secara ketat terhadap ajaran agama, baik bersumber pada Al-Qur’an, hadis, maupun generasi salaf. Tradisi pemahaman seperti inilah yang dianggap sebagai pemahaman yang murni. Konservatisme agama menolak pemahaman, penafsiran, dan pembaruan dalam pemikiran maupun praktik keagamaan berdasarkan perkembangan zaman.

Para penganut konservatisme agama meyakini bahwa dengan berpegang teguh pada ajaran agama yang ketat, mereka bisa memenangkan diri dari perubahan zaman (yang dianggap dapat mengurangi keimanan). Mereka meyakini bahwa ajaran konservatif adalah kemurnian dalam beragama.

Ideologi konservatisme seperti ini ditolak oleh kaum liberal. Liberalisme dalam agama muncul sebagai lawan dari narasi konservatisme. Kaum liberal bersifat progresif dan menginginkan adanya perubahan pemikiran dalam beragama, sehingga pemahaman agama yang sudah tak relevan sebaiknya ditinggalkan. Bagi mereka, jika ingin agama berkembang, maka harus mendobrak kemandegan dalam praktik keagamaan.

Tumbuhnya pemikiran agama yang liberal mendapat penentangan yang keras dari kaum konservatif. Pada tahun 2001, berdiri Jaringan Islam Liberal (JIL). Organisasi ini tanpa tedeng aling-aling menamakan dirinya liberal. Salah satu pendirinya adalah Ulil Abshar Abdalla yang kemudian hari difatwa mati oleh FUUI. Kala itu, pergerakan JIL dianggap menggemparkan dunia Islam di Indonesia. Banyak yang pro, tapi juga lebih banyak yang kontra.

Pemikiran liberal Ulil Abshar Abdalla mencuat ketika menulis artikel berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Dia mengandaikan Islam seperti organisme yang terus tumbuh. Islam adalah agama yang harus terus berkembang, tidak seperti monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi. 

Di akhir artikel, dia mengajar para pembaca untuk mencari Islam yang lebih segar dan memenuhi kemaslahatan manusia. Akibat dari artikel ini, Ulil menjadi “musuh” banyak orang, tak terkecuali warga Nahdliyin sendiri. Bahkan dia saling berbalas artikel dengan Gus Mus, seorang tokoh NU yang juga merupakan mertuanya sendiri. 

Perdebatan antara konservatisme melawan liberalisme akan selalu terjadi. Masing-masing dari mereka yakin bahwa pendapatnya yang paling ideal, dan keduanya merasa bertanggung jawab untuk memberi sumbangsih kepada masyarakat.

Sebagai disclaimer, tulisan ringkas ini tidak ditujukan untuk menilai golongan mana yang benar di antara kaum konservatif atau liberal. Keduanya punya kekuatan dan kelemahan masing-masing. Maka dari itu, takarlah keduanya dalam porsi yang tepat. Dalam pikiran saya, kaum konservatif bertugas sebagai pasukan penjaga, sedangkan kaum liberal bertugas untuk menyambut tantangan zaman. 

Djoko Santoso. Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

[red/rien/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *