Site icon ghibahin.id

Kurikulum Pendidikan Berbasis Tujuan Penciptaan Manusia

ghibahin

Photo by Pixabay: https://www.pexels.com/photo/woman-reading-book-256455/

“Tugas kita bukanlah untuk mengajarkan segala hal kepada mereka tetapi membantunya memiliki perjumpaan dengan sebanyak mungkin pengalaman dan gagasan di bumi ini.”

Beberapa bulan yang lalu saya membaca berita bahwa Kemendikbud Ristek telah meluncurkan kurikulum merdeka yang disiapkan untuk tingkat SMA. Kurikulum Pendidikan di negara kita sudah berganti beberapa kali, hingga membuat orang tua seperti saya kerap bingung dengan apa sebenarnya tujuan pendidikan negara Indonesia. 

Salah satu tujuan nasional kita yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Rasanya masih perlu digali dan dikritisi, kecerdasan semacam apa yang dicita-citakan oleh leluhur bangsa, apakah setiap pergantian kurikulum yang dibuat sudah sejalan dengan tujuan tersebut. 

Saya jadi merenung, rasanya tak mungkin bila para bapak pendiri bangsa berpikir bahwa kecerdasan di sini hanya sedangkal kecerdasan intelektual. Tentu tak luput dari perhatian mereka berbagai kecerdasan lain yang konon banyak dibicarakan dalam masyarakat kita seperti kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual, dan yang lainnya. 

Namun kondisi ekonomi serasa mendorong arah pendidikan kita hingga menjadi utilitarian, semua ditimbang berdasarkan fungsi, termasuk manusia itu sendiri. Manusia dinilai berdasarkan kegunaannya, kemampuannya, sumbangsihnya, atau manfaatnya. Hal ini membuat manusia kehilangan jati dirinya, tujuan awal manusia diciptakan. 

Tentu kita perlu menanyakan hal ini kepada Sang Pencipta, apa sebenarnya tujuan Dia menciptakan manusia. Kita patut bersyukur ada kitab suci dan berbagai tulisan para filsuf yang memberi petunjuk tentang hal ini, hingga seharusnya kita tak perlu mengaminkan kalimat Voltaire yang mengatakan bahwa ras manusia telah kehilangan manual aslinya.

Bila rancangan awal tujuan manusia diciptakan itu telah kita pegang, tentunya kita tak lagi serampangan dalam mengganti-ganti kurikulum dan arah kebijakan bagi pendidikan anak-anak kita. 

Bukan lagi pendidikan yang ditujukan untuk sekedar mempersiapkan anak terjun ke dunia kerja, terampil ini dan itu, memiliki beragam spesifikasi, namun arah langkah pendidikan kita berayun menuju cita-cita yang jauh lebih penting dari sekedar profesi.

Aneka pakar dan ahli pendidikan tak lagi dengan mudahnya menawarkan metode ini dan itu untuk mendidik anak-anak kita dengan iming-iming prestasi. Jika menengok tujuan Allah menciptakan manusia, kita mendapat pemahaman akan mandat budaya dan mandat Injili yang dia sematkan dalam diri tiap insani. 

Tujuan Penciptaan Manusia

Manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah untuk menjadi rekan kerja-Nya dalam memelihara dan mengusahakan bumi serta memberitakan kabar baik keselamatan dari-Nya. Tentu dalam mendidik, pertama-tama kita harus memandang pribadi yang kita didik itu seperti memandang rupa Allah. 

Anak-anak itu berharga dan mulia bukan karena dia mampu melakukan apa, namun hakikatnya dia diciptakan demikian. Ingatan membawa saya pada kenangan saat menyaksikan pertandingan Paralympic beberapa tahun silam. 

Para atlet penyandang disabilitas itu tetap berharga dan mulia walau seperti apapun kondisi mereka. Bahkan ketika mereka bukanlah seorang atlet, mereka tetaplah berharga dan mulia.

Ketika kita telah berpijak pada pondasi yang benar, tentu arah pembangunan kita tak akan melenceng dari sana. Kita kini paham bahwa manusia itu begitu menakjubkan dengan potensi yang tak terbatas karena dia dicipta serupa Sang Kuasa. 

Hasrat Berelasi

Manusia berhasrat untuk mengenal dan berelasi dengan penciptanya. Tentu hasrat itu datangnya dari Allah. Maka tujuan tertinggi pendidikan kita seharusnya sejalan dengan hasrat yang telah Tuhan suratkan, yaitu untuk mengenal-Nya dan menyembah-Nya. 

Dengan demikian, kita kemudian tahu apa yang semestinya kita suguhkan dalam usaha pendidikan kita, bukan lagi untuk membangun “materi” tetapi rohani dan akal budi. Manusia itu makhluk yang berelasi. Secara alamiah dia rindu dan mampu menjalin relasi, baik dengan penciptanya maupun sesamanya, baik secara langsung maupun melalui karyanya. 

Memandang kepada karya cipta Allah akan melahirkan rasa kagum dan takut pada-Nya, membawa kita pada penyembahan dan pujian bagi-Nya. 

Memandang pada karya cipta sesamanya, membawa manusia menyelami hati dan pikiran sesamanya, belajar dari pengalaman sesamanya, dan buku menyajikan karya manusia itu dari berbagai tempat dan abad. Relasi dengan Allah akan menolong kita peka pada tuntunan-Nya, hingga kita yakin melangkah melakukan kehendak-Nya. 

Tentu kita akan menjadi rekan kerja yang sangat baik dalam mengelola bumi ini ketika kita berpaut pada-Nya. Berelasi dengan sesama manusia akan memampukan kita bekerja sama dan melanjutkan karyanya saat sesama kita telah tiada. 

Tentu kita harus mengasup gagasan-gagasan, pemikiran para pendahulu dari benak-benak terbaik yang mewujud dalam sastra dan karya seni.

Perjumpaan dengan Pengalaman yang Kaya

Seperti yang saya sebut di atas bahwa manusia memiliki hasrat dan kemampuan untuk berelasi, maka inipun sejalan dengan gagasan CM “Pendidikan adalah sains tentang relasi-relasi”. Inilah landasan kita mempercayai pentingnya kurikulum yang kaya, yaitu bahwa secara alamiah manusia mampu mengembangkan relasi dengan pelbagai pengalaman dan pengetahuan. 

Sehingga tugas kita bukanlah untuk mengajarkan segala hal kepada mereka tetapi membantunya memiliki perjumpaan dengan sebanyak mungkin pengalaman dan gagasan di bumi ini. 

Keragaman mata pelajaran memberikan penyegaran. Sejarah, hasta karya, olah raga, matematika, biologi, fisika, geografi, puisi dan sastra, serta yang lainnya, sungguh menggugah selera tatkala disajikan bergiliran dalam porsi sesuai usia, sama sekali tak membosankan. 

Justru yang membuat jengah dan anak eneg untuk mengunyah adalah ketika makanan serupa yang disajikan berulang dalam porsi besar, seenak apapun itu, lama kelamaan kita tak lagi mampu menikmatinya. Jam belajar singkat adalah kuncinya, agar anak tetap berminat dan tak penat.

Sedemikian banyak mata pelajaran yang kita rencanakan untuk disajikan, tentu tak semua langsung menjadi miliknya. Anak perlu mencerna dan menyerapnya. Proses ini akan terjadi saat anak kita menceritakan kembali apa yang dijumpainya, dituturkan lewat bahasanya baik lisan maupun tertulis. 

Ceramah, penjelasan maupun pertanyaan pancingan tak diperlukan untuk membantunya, karena mereka terlahir lengkap dengan kemampuan untuk mencerna dan menyerap gagasan. 

Semua usaha guru untuk lebih banyak mengajar, justru hanya menghambat anak berelasi dengan gagasan yang tersaji.

Eliani Angga Safitri, ibu rumah tangga homeschooler dari dua anak yang baru saja pulang dari negara Inggris menemani suami melanjutkan pendidikan pasca sarjana.

[red/nuh-zhr]

Exit mobile version