Site icon ghibahin.id

Satria Dewa Gatotkaca, Proyek Ambisius yang Menghibur Meski Banyak Lubang

“Secara keseluruhan, Hanung setidaknya berhasil menggarap film ini dengan pendekatan keluarga, sehingga mudah dinikmati oleh segala lapis usia.”

Proyek film Satria Dewa Gatotkaca sebenarnya sudah saya dengar sekitar akhir 2018 lalu, kira-kira bersamaan dengan awal promo film Gundala. Saat itu ada ekspektasi besar penggemar film terhadap dua semesta pahlawan super Indonesia, yakni semesta Bumi Langit, tempat Gundala, c.s. bernaung—dan semesta Jagad Satria Dewa, yang menaungi Gatotkaca dan karakter adaptasi pewayangan lainnya.

Gundala sendiri akhirnya sukses tayang pada Agustus 2019, dengan sambutan yang cukup positif. Skor 71% di Rotten Tomatoes jelas pencapaian yang bisa dibanggakan. Karena itulah, ada standar yang cukup tinggi yang setidaknya harus bisa digapai Satria Dewa Gatotkaca (selanjutnya disebut SDG).

Tidak seperti Gundala, proyek SDG bisa dibilang cukup terseok-seok, mulai kabar perbedaan visi yang menyebabkan sutradara Charles Gozali digantikan oleh Hanung Bramantyo, hingga pandemi dua tahun belakangan. Setelah berbagai setback, akhirnya SDG ditayangkan serentak pada Kamis, 9 Juni 2022 kemarin.

Sebagai penggemar film, saya punya rasa penasaran terhadap film ini. Sekalian, sambil mencari kegiatan anak saya yang libur kenaikan kelas, maka saya langsung membeli tiket nonton persis pada hari premiernya. Saat menonton, perasaan saya sukses dibikin campur aduk oleh film ini, karena kekhawatiran saya terbukti sedikit demi sedikit.

Ketika diumumkan bahwa Hanung Bramantyo resmi membesut SDG, rasanya sulit untuk tidak skeptis. Pasalnya, penggarapan film action adalah dunia yang sama sekali berbeda dibandingkan genre drama, yang sudah menjadi keahlian Hanung. Apalagi, SDG bukan film action biasa, ia adalah film superhero. Dan tentu saja, film superhero diharapkan punya adegan kelahi yang spektakuler, hal yang sejauh ini belum pernah dimiliki Hanung dalam filmografinya.

Mungkin karena alasan itu juga, Cecep Arif Rahman dan Yayan Ruhian mendapatkan peran dalam film ini. Rasa-rasanya, kedua nama tadi telah menjadi syarat utama kesuksesan film yang mengedepankan adegan laga. Atau setidaknya, mungkin itulah yang diharapkan dari keduanya dalam penggarapan film ini.

Kita tahu reputasi Hanung, banyak menghasilkan film-film prestisius yang penjualan tiketnya selalu laku. Hanung agaknya memang telah mengantongi resep paten untuk membuat film yang renyah, mengharu biru, dan digemari berbagai golongan penonton.

Namun terkadang justru itulah masalahnya. Dalam “resep film pasti laku” ala Hanung, tampak adanya hal-hal yang mesti terkorbankan. Entah itu akurasi detil-detil dalam film, motif para tokoh, skrip, atau perintilan lainnya yang mestinya juga penting. Dalam kasus film ini, hal-hal yang mestinya bisa diberi intensitas lebih justru tak tersentuh, membuat film ini tak punya banyak adegan yang epic dan memorable bagi penonton.

Apa yang diharapkan dari film-film Hanung setidaknya adalah kemudahan bagi penonton untuk mengikuti alur cerita dari penyampaian yang ringan dan runtut. Sayangnya, Hanung tampak keteteran dengan banyaknya latar belakang yang mesti diceritakan. Hal ini sebenarnya bisa dimaklumi, mengingat SDG adalah film adaptasi komik yang gagasannya tak mudah untuk dihidupkan dan dijelaskan tuntas ke dalam satu film.

Sebagai gambaran (semoga ini bukan spoiler, hehehe), garis besar cerita dalam film ini adalah terusan konflik Mahabharata yang ternyata benar-benar terjadi, menurunkan gen Pandawa dan gen Kurawa pada masyarakat Astinapura. Gen Pandawa dipercaya bersifat memberi, cenderung baik dan unggul. Sebaliknya, gen Kurawa bersifat mengambil dan digambarkan antagonis.

Orang-orang dengan gen Kurawa ingin membalas dendam atas kekalahannya pada perang Bharatayudha, berusaha menihilkan orang-orang dengan gen Pandawa. Dan di sinilah peran Yuda (Rizky Nazar), seorang pemuda yang ber-gen Gatotkaca (bagian dari Pandawa), untuk menghentikan pertumpahan darah dan melindungi orang-orang dengan gen Pandawa.

Semakin panjang saya mengetik latar belakang cerita ini, semakin saya rasakan lubang-lubang yang membutuhkan penjelasan lebih jauh. Gagasan bahwa sifat baik dan buruk manusia ditentukan oleh gen turunan, bisa mengundang banyak pertanyaan. Terutama bagi yang percaya bahwa sifat manusia lebih ditentukan nurture daripada nature.

Gagasan bahwa Kurawa tidak selalu jahat dan Pandawa tidak selalu baik—yang hanya disampaikan selewatan saja—justru mempersulit penjelasan mengapa gen-gen turunan Pandawa dan Kurawa ini mesti meneruskan perseteruan purba. Beban untuk menjelaskan logika pada latar belakang semesta Satria Dewa ini membuat plotnya sulit fokus dan jadi kehilangan intensitas yang diharapkan pada film superhero.

Tapi mungkin memang demikianlah beban film adaptasi. Film-film adaptasi komik DC dan Marvel pun butuh waktu panjang untuk membuat gagasan-gagasan dalam semestanya menjadi lebih membumi dan masuk akal. Apalagi bagi filmmaker Indonesia yang butuh banyak jam terbang untuk membuat film-film sejenis ini, sehingga perkara plot dan gagasan ini bisa dikesampingkan sebentar.

Yang paling disayangkan dari film ini, meski mengambil latar kota Astinapura yang fiktif, namun tetap gagal melepaskan diri dari kecenderungan Jakarta-sentris dalam film-film Indonesia. Dialog dengan gaya gue-elo sepanjang film membuat saya bertanya-tanya apakah cerita ini berlatar Astinapura atau Jakarta.

Sebagai film yang mengadaptasi kisah pewayangan, tak sedikit referensi kebudayaan Jawa yang disebutkan dalam film ini, yang sayangnya diucapkan dengan kurang meyakinkan karena mayoritas dialog terdengar amat “Jakarta”. Skrip bergaya gue-elo ini mungkin dianggap lebih menarik buat penonton, lebih gaul, tapi membuat pengucapan referensi Jawa tadi terkesan seperti aksen palsu yang biasa kita saksikan dalam tontonan berformat FTV.

Kehadiran Cecep Arif Rahman dan Yayan Ruhian sayangnya juga tak banyak meninggalkan kesan. Cecep yang memerankan Pandega, tidak mendapatkan screentime yang signifikan. Peran Beceng yang dibawakan Yayan, meski mendapat screentime yang sedikit lebih banyak, sebetulnya tidak punya latar belakang dan fungsi yang vital dalam keseluruhan cerita. Semacam tempelan untuk meletakkan adegan kelahi saja.

Adegan gelut antara keduanya juga tidak diolah dengan baik, sehingga gagal meninggalkan kesan yang bisa dibawa pulang, kecuali sound design bunyi pukulan yang terdengar berlebihan. Untungnya, perkara fighting scene ini agak terselamatkan oleh penggarapan CGI pada pertarungan klimaks Gatotkaca, yang untuk ukuran Indonesia kualitasnya jelas wajib diacungi jempol.

Secara keseluruhan, Hanung setidaknya berhasil menggarap film ini dengan pendekatan keluarga, sehingga mudah dinikmati oleh segala lapis usia. Sesuai dengan momentumnya, film ini cocok ditonton bersama keluarga untuk mengisi waktu liburan sekolah.

Bagaimanapun, film ini punya banyak poin positif. Salah satunya, jika SoHib penggemar kisah pewayangan, film ini bisa menjadi jalan masuk untuk memperkenalkan wayang lebih luas lagi kepada anak-anak. Jika dulu ada komik R.A. Kosasih, maka sekarang butuh usaha lebih besar untuk membuat wayang tetap relevan, yakni lewat film fantasi bertabur adegan laga dan CGI yang mewah.

Satria Dewa Gatotkaca adalah momentum yang menjaga agar kisah pewayangan tetap hidup dalam keseharian kita. Meski punya banyak komentar, saya berharap film ini ramai ditonton, sehingga ada cukup modal untuk memproduksi sekuel yang mampu menutup lubang-lubang tadi. Film Indonesia dengan genre fantasi dan action seperti ini masih sangat jarang, sehingga kehadirannya menjadi penting dan mesti didukung untuk memperkaya khazanah perfilman kita.

Bhagaskoro Pradipto, penulis dan penikmat film.

[red/rien]

Exit mobile version